Apa sih istimewanya kelinci?


Saya mau cerita mengenai seekor kelinci biasa, yang tidak istimewa. Bukan jenis ras tertentu, hanya keturunan dari kelinci yang dijual murah di pasar tradisional Bogor. Tidak bersuara, juga tidak memiliki kemampuan khusus seperti anjing. Nama kelinci itu Josh, dan dia adalah sahabat keluarga kami. Oh iya, foto si sebelah ini adalah 'foto pernikahan' orangtua Josh, Sentaro dan Pank-Pank.


Memang entah kenapa, dari dulu sejarah keluarga kami selalu diwarnai oleh hewan peliharaan yang tidak bersuara: kura-kura, ikan dan kelinci. Tapi justru karena mereka tidak bersuara, sepertinya saya diajar untuk mendengarkan.


Terutama dengan seekor kelinci bernama Josh itu.


Untuk menceritakan kisah Josh, saya harus kembali ke delapan tahun lalu, ketika seorang anak SMP menghabiskan hari-harinya di RS Carolus, berulangkali demamnya kambuh disertai ruam-ruam merah tanpa sebab yang jelas. Kakak dari anak perempuan itu datang membawa segepok komik baru untuknya-SENTARO.


Komik itu bercerita mengenai kelinci yang namanya…ya,Sentaro. Komik itu menghibur anak perempuan yang sakit di hari-hari opnamenya. Kakaknya yang setia menjagai dan ikut tidur di rumah sakit juga ikut suka sama Sentaro. Lalu, mereka sekeluarga berjanji, jika anak perempuannya pulih mereka akan merayakannya dengan jalan-jalan ke Bogor.


Beberapa waktu berlalu, dan mereka benar-benar ke Bogor. Mereka pulang membawa sepasang kelinci, jantan dan betina. Kelinci yang jantan dinamai Sentaro karena belang di tubuhnya persis Sentaro di komik. Kelinci betina dinamai Beruko berkat inspirasi yang jatuh dari langit.


Beberapa hari berlalu, Beruko jatuh sakit dan mati.


Sentaro hidup menemani keluarga itu bertahun-tahun. Jasanya yang terbesar: gigih meneror manja pada kakak perempuan yang (tadinya) benci pada hewan. Ia juga tabah menghadapi hari-hari banjir ala Kelapa Gading yang dahsyat. Ditinggal mengungsi juga pernah. Saking bahagianya saat keluarga itu kembali, Sentaro berlari mengitari mereka sampai malam, seakan tak percaya bisa ketemu lagi.


Sentaro memang tinggal di loteng. Saat anggota keluarga itu bangun di pagi hari dan mengeluarkan suara, otomatis Sentaro akan turun dari tangga dan ikutan sibuk di bawah. Saat semua orang pergi tidur, ia naik lagi ke lotengnya yang gelap.


Satu hari, Sentaro lolos dari pagar rumah. Pencarian selama dua hari tidak membuahkan hasil. Pembantu keluarga itu menemukan keanehan perilaku pada karyawan-karyawan apotik dekat rumah. Mendadak mereka hobi memetiki daun. Investigasi berlanjut. Kakak-beradik menanyai tante2 pemilik apotik. Ia tampak gugup tapi nggak ngaku. Satu malam kakak perempuan melabrak karyawan mencurigakan itu dan…Sentaro pun kembali ke rumah.



Setelah ia dewasa nyaris tua, Sentaro dikawinkan dengan kelinci betina bernama Pank-Pank; milik teman sekolahnya kakak perempuan. Lalu lahirlah Josh beserta lima bayi kelinci lain. Saat usianya baru sebulan, wabah diare menerpa. Seperti biasa, mereka langsung ngibrit ke dokter hewan yang untungnya berpraktik nggak jauh dari rumah mereka. Lima kelinci itu mati.


Pank-Pank melahirkan lagi tidak lama kemudian, kali ini ada 7 bayi. Tapi mereka semua tidak bertahan lama karena lahir prematur. Pank-Pank juga mati kerena pendarahan.


Tinggallah Sentaro dan Josh, bapak-anak yang kadang mesra kadang berantem sampe lompat tinggi banget. Mereka ikut pindah rumah bersama keluarga itu dan ikut pindah lagi ke rumah lama yang sudah direnovasi.


Satu hari rumah mati lampu. Lilin-lilin dipasang. Kedua kelinci itu dengan konyolnya mendekat penasaran dan mengendus lilin itu. KUMIS MEREKA TERBAKAR!!! Dengan panik mereka lari sambil menepuki kumisnya. Untuk waktu yang lama, kumis mereka jadi panjang-pendek dan keriting.


Tahun-tahun berganti, satu hari Sentaro hilang tanpa jejak. Kali ini beneran. Hilang aja, seakan ia memang tidak pernah ada. Dan memang ia tidak pernah ditemukan lagi. Kakak-beradik sedih berhari-hari.


Josh, anak Sentaro menemani keluarga itu selama 6,5 tahun. Josh sangat berbeda dari Sentaro yang kalem. Meski mewarisi fisik ayahnya, Josh memiliki sifat ibunya. Kelinci preman.


Josh nggak suka dielus-terkadang ia menggigit balik jika jengkel. Josh suka membawa pergi makanannya. Josh galak dan judes. Josh beberapa kali menggigit jari orang asing sampai berdarah. Tapi, jika didiamkan, Josh mendekat sendiri. Saat natal, Josh selalu suka melempar-lempar hiasan natal di kaki pohon sampai berantakan.


Tapi Josh bisa manis juga. Saat ditinggal menginap ke luar kota untuk pertama kalinya, Josh dititipkan pada teman ibunya. Tiap hari selama 3 hari, orang itu datang ke rumah untuk memberi makan Josh. Ternyata Josh tidak mau makan dari orang asing. Tiga hari full ia mogok makan dan baru mau makan saat melihat keluarga itu pulang.


Terkadang Josh bikin malu. Ia punya hobi menyelip ke bawah pagar lalu kabur ke rumah Pak Is, tetangga mereka. Pak Is yang pensiunan sering harus memulangkan Josh. Keluarga itu jadi tidak enak. Tapi Josh selalu kembali. Tahu-tahu saja ia tiduran santai ala Cleopatra di keset pintu masuk atau asyik menggaruki kayu-kayu di halaman Pak Is. Josh tampak sekaan lebih betah main di sana.


Suatu hari setelah natal sebelum tahun baru, Josh tidak mau makan. Ada luka di mulutnya. Ia sakit. Josh ternyata berkelahi dengan tikus. Tapi di hari-hari libur itu, dokter hewan tutup. Dengan cemas keluarga itu menanti 2 Januari tiba.


Kembali ke dokter hewan langganan, kondisi Josh sudah parah. Dia nggak bisa berdiri tegak. Ia disuntik. Tidak membaik. Besoknya disuntik lagi plus diinfus. Malamnya Josh kejang-kejang. Ia tampak sengsara, saat itu anak perempuan yang nggak rela jika Josh mati, malah berdoa agar Josh dibebaskan dari penderitaannya.


Dan doa itu dikabulkan.


Iya, itu deh cerita soal sahabat keluarga saya, Josh, Sentaro, dan Pank-Pank. Rupanya, kata dokter hewan, Josh yang sudah tua tidak kuat menerima pengobatan itu. Sampai sekarang melihat kotak makan dan kandang yang kosong itu, saya masih teringat pada mantan penghuninya. Meski saya dan kakak menghabiskan banyak air mata (dan tisu) pada hari kematian Josh, kami tidak kapok memelihara kelinci lagi. Kehilangan hewan peliharaan itu sedih sekali, tapi kami memiliki 6,5 tahun yang menyenangkan bersama mereka-dan fakta itu nggak boleh dilupakan saat kita merasakan sakitnya ditinggal pergi.


Satu hal lagi. Ini adalah amarah yang saya rasakan ketika membereskan kandang, obat, dan kotak makan Josh, satu hari setelah kematiannya. Selama kami bolak-balik ke dokter, kami bertemu orang-orang yang memandang remeh pada seekor kelinci biasa. Mereka sendiri menggendong ajing-anjing mahal ala Paris Hilton, tentunya dengan perhiasan, dan memandang sebelah mata pada Josh. Mereka meremehkan Josh-padahal saya nggak akan pernah mau menukar Josh dengan hewan ras kelas tinggi, yang harganya entah berapa juta itu.


Mungkin semua biaya yang kami keluarkan untuk pengobatan seekor kelinci yang bisa dibeli kodian di pinggiran jalan memang nggak seimbang kalo dihitung secara logis. But, trust me, it was worth it. Satu hal yang perlu sekali untuk diingat saat kita mengundang seekor hewan masuk ke dalam hidup kita: mereka adalah sabahat, bukan aksesoris.

Formulir adalah selembar kertas tengil yang ingin mengorek-ngorek informasi pribadi seseorang.

Kenapa saya dengan sotoy-nya mengatakan begitu?

Begitu banyak formulir yang pernah saya isi dalam hidup ini-dari sekedar undian supermarket sampai pendaftaran kuliah, saya selalu merasa gemas oleh banyaknya hal tidak penting yang ditanyakan entah dengan alasan apa. Alasan paling logis yang bisa saya temukan ya cuma itu. Tengil.

Sebenarnya, mayoritas formulir yang ada dalam hidup kita bisa dipangkas jadi satu lembar saja. Data diri kita yang paling krusial kan paling-paling nama-KTP-alamat-HP?

Ngapain formulir lomba gambar tanya-tanya agama?

Ngapain formulir perpustakaan nanya-nanya pendidikan?

Kalo saya dan kakak suka sebel pada formulir-formulir absurd yang meminta kami menuliskan suku bangsa. Dilema pun datang-mau jawab apa? Biasanya saya bilang Indonesia, titik. Karena memang itulah saya. Indonesia tanpa embel-embel. Kalau mau embel-embel, ceritanya panjang. Tapi kemarin saya nggak bisa ngeles ketika sedang mengisi formulir psikotes.

Formulir itu dipegang oleh tester saya, dan saya cukup buka mulut karena semua datanya diisikan oleh tester yang malang tersebut.

Lalu datanglah pertanyaan-pertanyaan yang entah apa hubungannya dengan tes psikologi:

Agama?

Kristen

Kristen apa?

Kristen Protestan

Suku bangsa?

Indonesia

(diam)

Apa?

Indonesia

(menaikkan kedua alis) ha?

Iya, CINA! Eh, Indonesia keturunan.

Tapi mungkin seharusnya saya nggak menghakimi ketidakbergunaan hal-hal di atas dalam formulir karena terkadang mereka punya fungsi yang tidak disangka-sangka.

Waktu mendaftar dokter kulit beberapa waktu lalu, percaya atau nggak formulirnya sampe berlembar-lembar bagaikan soal ujian masuk PNS. Termasuk isian agama dan suku bangsa. Bahkan ada pertanyaan tentang nama kampus dan…hobi. Jadi inget diari-diarian masa SD. Mungkin mereka kuatir saya punya hobi yang merusak kulit wajah seperti main layangan jam 12 siang, barangkali.

Nah, ceritanya setelah dokter kulit selesai mencangkul muka saya, ia mulai berceramah mengenai pemakaian sederet obat; dari yang krim sampai antibiotik. Pokoknya ribet banget-siapa sih manusia di Jakarta yang sibuk ini yang punya waktu untuk cuci muka jam 3-5 sore? Masa saya harus membawa botol-botol itu ke kampus dan cuci muka di WC?

Dokter kulit saya mendadak terdiam agak lama membaca map rekam medik saya. Ternyata biodata saya ada di situ.

“Hmm…kamu apa?” Dia berbicara pelan nyaris untuk dirinya sendiri saja.

Saya melongo.

Loh, saya manusia-emangnya saya nggak kelihatan seperti manusia? Kenapa dia nanya saya apaan???

“Ooh…nggak sholat, kan?” Dokter kulit mengalihkan pandangan dari biodata saya.

“Naah, jadi kamu bisa dong cuci muka di kampus, pas temen-temen kamu lagi sholat.”

Oh, sekarang saya jadi tahu gunanya formulir itu. Supaya saya bisa disuruh cuci muka pas temen-temen saya lagi sholat.

Di dunia yang dibanjiri oleh multivitamin, isotonic, minuman berenergi, suplemen makanan dan kawan-kawannya…pernahkah kamu merasa menjadi sakit dan merasa lelah adalah…dosa?

Sepertinya sukses adalah milik orang yang bisa kerja 24 jam sehari, yang tanggalan di meja kerjanya item semua. Merekalah yang dianggap hebat, bibit unggul, uberminche, the super race.

Barangkali ini cuma keluhan orang penyakitan yang sirik seperti saya, sih. Memelihara penyakit auto-imun dalam tubuh membuat saya sering paranoid. Saya nggak tahu mana yang lebih menakutkan-penyakit saya atau diri saya sendiri. Sering saat saya beraktivitas, perasaan saya mendadak nggak enak dan saya ketakutan sendiri. Takut jatuh sakit. Saya merasa setolol petani yang lari terbirit-birit karena melihat orang-orangan sawah yang ia bikin sendiri.

Tapi kalo dipikir-pikir saya juga udah kapok check in-check out rumah sakit. Saya nggak tahan kalo dosis kortikosteroid saya harus dinaikkan lagi. Saya nggak mau lagi menanggung efek samping obat. Dokter dan keluarga emang sering wanti-wanti saya biar jangan terlalu lelah dan jangan beraktivitas di bawah matahari.

Ada begitu banyak hal ingin saya lakukan dalam hidup ini. Ada pekerjaan-pekerjaan yang terpaksa harus saya tolak karena alasan kesehatan.

Terkadang hal-hal seperti itu membuat saya merasa seperti pecundang.

Pelawak Timbul Meninggal Dunia”


Kaget banget ketika berita itu sampai ke telinga saya. Harusnya saya nggak kaget karena dari beberapa minggu sebelumnya majalah Tempo udah memberitakan perihal dirawatnya pelawak senior Timbul di rumah sakit. Tapi toh nyatanya saya kaget.

Timbul bagi saya selalu sosok yang sama: seorang bapak yang ramah, senyum lugu yang jujur, dan tawa yang siap meledak kapan saja. Sedikit banyak Timbul jugalah ‘guru’ budaya saya, sosok yang menyuapi saya dengan sepotong adat Jawa Tengah.

Lahir, hidup, dan besar di Jakarta tanpa akar budaya yang jelas memang terkadang membuat saya merasa iri dengan teman-teman saya yang ‘berbudaya.’ Teman Batak dengan perkumpulan keluarganya yang berpesta secara teratur, teman Solo yang keluarganya bikin ruwatan untuk buang sial ketika ia baru putus cinta, teman Semarang yang fasih berbahasa Jawa halus…akh, meski mereka sering mengeluhkan betapa ribet, aneh, konyol, dan membosankannya semua ritual/kepercayaan keluarganya itu, menurut saya mereka orang-orang yang beruntung. Setidaknya mereka memiliki fondasi yang jelas-manusia kan tidak hidup dari bisnis, uang, kuliah, maupun the so-called hal-hal rasional lain. Sosiolog Edward T. Hall sendiri ngomong kalo budaya adalah alat yang membuat manusia survive di dunia ini.

Oh iya, kembali ke saya deh. Saya nggak punya budaya yang jelas-hal ini terkadang membuat saya merasa seperti layangan putus. Saya sama-sama terbang seperti layangan lain, tapi saya nggak tahu kemana harus pulang. Dibilang Cina, saya nggak ngerti apa-apa soal budayanya, dibilang Jawa juga jauh. Jakarta? Barangkali.

Iya, kami sekeluarga tergolong super cuek pada hal-hal yang berbau adat. Orangtua saya mungkin bisa digolongkan penduduk keturunan yang mbalelo dari adat. Keluarga besar ibu saya (termasuk dia) lahir dan besar di Purbalingga, fasih berbahasa Jawa. Tapi satu hal yang membedakan ibu saya dengan kakak-kakaknya, ia malah nggak bisa bahasa Mandarin karena semua sekolah Cina ditutup pas ketika ia akan masuk ke sana. Ia lantas merantau ke Jakarta untuk kuliah hukum dan tinggal di sini sampai sekarang. Berkat pertemuannya dengan ayah saya, barangkali. Ayah saya juga seorang Cina Indonesia, yang lahir di daerah Parung, dekat kota Jakarta.

Singkat kata sejak kecil saya dan kakak nggak pernah dikenalkan dengan bahasa Mandarin ataupun ritual-ritual sembahyangan ataupun hari-hari rayanya. Terkadang kalo dipikir agak heran kenapa orangtua saya bisa begitu padahal keluarga besar mereka masih memegang teguh segala perkara adat-terkadang sampai membuat saya merasa mendapat tontonan baru di pesta-pesta kawinan sodara. Tapi saya nggak nyesel atau ngiri juga sih. You can’t lose what you never had, right?

Oke, oke, sekarang kembali ke Timbul. Saya agak bingung mau memulai darimana, tapi pertama saya akan cerita soal kenangan masa kecil dulu.

Begini, ada satu hal yang berkesan dalam benak saya sejak SD sampai sekarang. Satu kali seminggu, ibu saya menyetel RCTI di tengah malam untuk nonton Ketoprak Humor dan saya, kakak, dan ibu akan nonton begadang sampe jam 3-4 pagi. Di hari lain kami bisa dimarahi jika tidur malam-malam dan ibu bisa masuk angin kalo begadang. Tapi akhir minggu semua berbeda. Kalo ayah saya sih…dia nggak tahan melek dan biasanya tidur tak lama setelah tirai merah panggung dibuka.

Well, saat-saat Ketoprak Humor adalah bagian hidup saya yang tak terlupakan. Semua jadi indah dan menyenangkan. Rumah kecil yang berantakan jadi nyaman dan hangat. Ibu yang sibuk bisa tertawa bersama kami sampai pagi. Ada perasaan tenang yang aneh ketika menonton acara itu, seakan setitik akar Jawa saya digelitik sedikiiit…padahal sebagian bahasanya tidak saya mengerti. Saya jadi nebeng sedikit budaya yang barangkali dimiliki ibu saya. Saat Timbul tertawa, saya pasti tertawa. Saya hapal betul, Timbul selalu berperan sebagai pelayan, biasanya bersama Marwoto (pelajaran stratifikasi sosial pertama saya). Lalu ada kotak-kotak hadiah yang dilempar penonton ke panggung. Setiap minggu saya melihat hal yang sama, setiap minggu pula saya tersenyum geli.

Satu adegan yang paling tidak terlupakan adalah saat Timbul, Marwoto, dan..akh, saya agak lupa yang satunya, (sepertinya Aris) bertengkar mengenai sapi.

Bagaimana jika sapimu masuk-masuk kebunku?

Bagaimana jika sapimu begini-begitu?

Di akhir adegan mereka dilerai oleh pelawak ketiga itu, dan ternyata….sapi yang diperebutkan itu belum ada, baru ‘seandainya- menang-undian-terus-dapet-duit-buat-beli-sapi.’

Lalu ada juga gaya khas Timbul yang tidak sengaja menyolok matanya sendiri atau jarinya yang tidak bisa keluar dari lubang telinga setelah mengorek kuping. Para batur ini membuat dunia ketoprak jadi cerah dan menyenangkan. Para karakter bangsawan maupun penjahat yang berkostum gagah nan mewah malah lebih sering terlihat kalut, serius, atau marah. Dan bahkan otak anak SD saya kala itu bisa memahami bahwa dalam sebuah pementasan, selalu ada dua pihak: baik dan jahat. Kedua belah pihak pun memiliki punakawan sendiri-sendiri. Dan di akhir tentu saja yang baik yang menang.

Oh iya. Selain Ketoprak Humor, saya juga suka melihat Timbul di Srimulat. Lewat komedi, lewat tawa, terkadang saya merasa agak ‘Jawa.’ Ketoprak Humor, suara gamelan, lalu boso Jowo ngapak-ngapak, mendoan, dan kunjungan ‘paksa’ tiap April ke kampung halaman ibu membuat saya merasa terkadang budaya Jawa yang mencari dan mendapatkan saya, bukannya saya yang mencarinya.

Timbul, it would’ve been nice to have met you.

Saya mendapat softcopy komik doraemon yang menarik dari seorang teman, yang disebut-sebut sebagai edisi terakhir Doraemon. Kita nggak pernah tahu siapa yang menggambar komik ini, darimana asal persisnya, apakah ini dibuat oleh penerbitan resmi doraemon atau hanya karya fans amatir yang suka berkhayal.

Kami nggak pernah tahu. Softcopy itu saya kopi dari usb teman sekampus, yang mengopinya dari usb kakaknya, yang mengopinya dari usb temannya, yang mendapat itu dari seorang teman lain lagi. Pokoknya asal-usul file ini sudah hilang dalam dunia per-download-an.

Kita semua pasti kenal Doraemon. Bagi saya, doraemon adalah teman masa kecil. Sampai sekarang pun saya dengan otak dewasa saya masih menyukai sosok robot kucing itu. Rasanya juga bukan kebetulan kalau sampai sekarang komik doraemon masih eksis di pasaran-bahkan baru aja sepuluh edisi perdananya dicetak ulang dengan format baru dan dijual per paket. Merchandise doraemon juga masih laku di pasaran.

Aneh sih, tadinya saya pikir doraemon-nya saya akan menjadi seperti Tongki atau Susan. Umurnya hanya satu generasi. Tapi ternyata nggak, Doraemon sudah berjalan melintasi generasi dan masih menjadi sahabat yang sama untuk anak-anak. Dan juga orang dewasa seperti saya, yang pernah mengenal Doraemon waktu kecil dan tidak pernah melupakannya sejak itu.

Kenapa Doraemon abadi? Saya nggak tahu apakah hal yang saya rasakan ini bisa jadi tolok ukur untuk fenomena Doraemon secara keseluruhan. Doraemon adalah sosok juruselamat, yang bisa mengatasi masalah apapun, tanpa harus menjadi marah-marah seperti orangtua atau menyebalkan seperti teman seumur.

Masa kecil seringkali membingungkan, begitu banyak hal yang tidak pasti (tentunya pada skala anak kecil). Siapa sih yang nggak pernah menjadi Nobita pada masa kecilnya? Nilai jelek dimarahi orang tua, teman-teman yang menyebalkan, jenuh sekolah, males ngerjain PR…di saat itu Doraemon seakan masuk menjadi sahabat, menjadi mesias yang menyelamatkan kita dari semua masalah berkat kantung ajaibnya. Kita semua terhanyut dan tertawa bersama Nobita, Doraemon dan teman-teman. Dan mungkin sekarang adik-adik di bawah kita juga sedang melakukan hal yang sama.

Kemarin saya baru baca di Kompas Minggu 22 Februari tentang messianisme. Gejala-gejala sekte, dukun cilik, dan kawan-kawan yang sering kita dengar disebut sebagai gejala messianisme-masyarakat rindu akan sosok juruselamat di tengah situasi krisis yang serba tidak pasti ini. Katanya sih ini gejala yang emang biasa muncul saat hidup lagi nggak pasti, misalnya aja legenda sosok ‘Ratu Adil’ atau ‘Satria Piningit’ (saja ngejanya bener nggak sih?)

Saya kutip dikit kata-kata dari artikel itu, ya

“Secara teologis dan filosofis, ada kerinduan terdalam manusia akan penyelamatan.”

Kutipan di atas berasal dari Sindhunata, dia pernah menulis disertasi tentang pengharapan mesianik masyarakat Jawa abad 19 sampai awal abad 20 waktu kuliah di Jerman.

Mungkinkah hal yang sama juga ada di otak anak-anak? Apakah secara naluriah mereka juga merasakan kerinduan itu?

Ketika manusia dewasa mencari penebusan dari sosok-sosok seperti politikus karismatis, pemuka agama, dukun cilik atau apapun… apakah merasa merasakan ‘penebusan’ dari sosok Doraemon? Ya ampun saya merasa tolol banget menulis seperti ini!

Tapi, saya pikir begitu.

Doraemon memenuhi syarat: baik, lucu, bisa mengatasi semua masalah. (meskipun begitu, kalo suatu hari punya anak, saya berharap sosok sahabat yang lebih dekat dengannya adalah manusia, bukan robot kucing apalagi komputer).

Inilah satu hal yang bikin komik kopian saya menarik. Saya menangis ketika membacanya. Ya, nangis. Bodoh ya, tapi saat saya memandang mata sosok Doraemon lagi setelah sekian tahun melupakannya, tiba-tiba saya jadi anak kelas 4 SD lagi, yang males, lugu, dan cuma mikirin main aja. Ya, waktu itu saya sering berharap Doraemon itu benar-benar ada. Minimal, salah satu alat ajaibnya saja, deh.

Dalam strip-strip komik hitam-putih itu, ceritanya Doraemon rusak sehingga ia mati. Nobita dipaksa untuk hidup tanpa Doraemon. Nobita dipaksa mampu membela diri sendiri, belajar tanpa alat ajaib dsb. Ternyata bagi Nobita, kehilangan terbesarnya bukanlah pada keajaiban masa depan yang dibawa Doraemon, tapi ternyata pada sosok si kucing itu sendiri dan segala kenangan petualangan mereka.

“Setiap kali aku diusili, kamu memikirkan aku seolah itu masalahmu sendiri…aku tidak pernah bilang dengan benar, tapi sebetulnya aku sangat senang, lho.”

Hidup tanpa Doraemon ternyata malah membuat Nobita jadi pintar. Ia rajin belajar sampai-sampai mengalahkan Dekisugi. Lalu, 35 tahun kemudian, Nobita sudah menjadi professor yang terkenal dan istrinya adalah Shizuka. Dekisugi sendiri menjadi presiden. Ternyata semua perjuangan Nobita untuk belajar sampai menjadi professor adalah agar ia bisa menghidupkan kembali Doraemon. Hahaha, kalo udah gini bingung ya, siapa mesiasnya siapa.

Siapa sih yang nggak ingin diselamatkan? Cewek-cewek pasti pernah sekali dalam hidupnya mengkhayalkan ksatria berkuda putih datang menyelamatkannya. Kita rindu presiden yang bisa jadi superman, kita rindu akan sebuah sosok yang bisa membebaskan kita dari semua ketidaknyamanan hidup yang kita rasakan. Tapi mesias sudah pernah datang dan sudah menebus kita. Bagaimana mungkin kita merindukan sosok yang nyata-nyata sudah ada??? Apakah lebih mudah bagi kita untuk mencari sosok lain sebagai mesias, sosok yang lebih sesuai dengan syarat-syarat kita?

Ah, harusnya tulisan ini nggak jadi seaneh ini. Tapi ijinkan saya tutup tulisan ngalor-ngidul ini dengan sebuah permainan kata-kata: Tidak semua yang tidak kelihatan itu tidak ada.

Libur semesteran saya berubah menjadi rangkaian tur kesehatan-jatuh dari pelukan satu dokter ke dokter lain. Sungguh menyebalkan.

Dari sebelum libur, saya udah harus mondar-mandir dokter gigi.

Terus lanjut dokter kulit.

Terus dokter paru.

Terus dokter kulit lagi.

Terus dokter internist.

Ditutup oleh internist lagi.

Sekarang saya udah sehatan, tapi liburnya juga udah selesai. Rasanya saya ingin mengeluh sepanjang hari tentang betapa nestapanya hidup saya.

Satu titik yang paling menjatuhkan mental saya adalah sakit terparah yang datang pada minggu terakhir liburan sampai minggu pertama kuliah (yep, saya bolos seminggu!)

Ceritanya, sejak dua minggu sebelumnya saya batuk nggak sembuh-sembuh. Sirup obat batuk, dari yang tradisional Cina sampe pabrikan Eropa udah saya telen semua. Nihil.

Tiap malem saya kurang tidur, karena batuk-batuk mulu. Akibatnya, badan jadi nggak fit. Akibatnya lagi, penyakit SLE (systemic lupus erythematosus) yang emang udah lama saya idap jadi ikutan terpancing dan merongrong.

Tepat di hari ulang tahun saya, yang juga (seharusnya) merupakan hari pertama kuliah, saya terkapar dengan sukses. Seminggu itu saya demam, sakit kepala, sakit tulang, lemes, batuk…komplit. semua rencana bubar grak-dari ngerayain ultah sama anak kampus dan gereja, mengkoordinir rapat, makan malem sama keluarga, pokoknya semua gatot. Hari itu adalah kali pertama saya sakit di hari ulang tahun. Ternyata, rasanya…sediiiih sekali. Saya malah mendapat hadiah berupa dinaikkannya dosis obat kortikosteroid saya yang tadinya udah tinggal sedikit. Bukannya bebas obat, saya malah balik ke dosis awal yang amit-amit banget. Jadilah seminggu itu saya merasa down-udah sakit, bawaannya pengen marah, ngamuk, dan nangis cakar-cakar tanah. Kacau, pokoknya.

Setelah beberapa waktu berlalu dan saya mulai sehatan dan kuliah lagi, akal sehat saya kembali. Ternyata saya nggak se-fit dulu lagi. Yang namanya sakit itu emang bikin capek mental. Tapi saya malu juga sama diri sendiri-belakangan saya jadi pengeluh yang menyebalkan. Saya berusaha nerima kalo ngeluh juga nggak bakal mengubah apapun.

Memang hari-hari lalu, mentang-mentang penyakit lupus saya lagi ‘tidur,’ saya sering sembrono. Nggak jaga kesehatan. Saya lupa kalo saya bukan orang normal. Sebenarnya saya nggak pengen menjadikan lupus saya sebagai excuse. Sebenarnya saya pengen ini-itu. Tapi saya harus terima-saya bukan orang normal secara fisik.

Sekarang saya coba untuk melihat sakit saya sebagai sebuah cara Tuhan untuk menyuruh saya istirahat.

Pfiufh....

Ada berita baru dari Fili-dan ada kunjungan kedua ke dokter kulit.

Beberapa hari lalu saya ketemuan sama Fili lagi-makan2 bakmi di mall. Fili tampaknya mendapat pencerahan masalah asmara dari kakak lelakinya.

No more Didi, forever!

How come?

Fili tiba di sebuah titik dimana ia merasa lelah mencintai. Memang mencintai Didi itu bener-bener usaha yang nggak balik modal; boro-boro balik modal, mudarat malah.

Lantas Fili menuturkan kisah Didi pada kakaknya. Lalu di bawah ini adalah ringkasan wejangan dari sang kakak, seperti yang diceritakan ulang Fili ke saya hari itu:

“Kamu itu perempuan, Fil. Di dunia ini perempuan jumlahnya lebih banyak dari laki-laki-kamu nggak punya banyak pilihan.”

Iya, bener tuh Fil! Belum lagi ditambah sekian porsi pria yang homo-homo, habis pasaran kita, Fil!

Saya nggak tahan untuk nggak nyamber.

“Jangan pernah menghabiskan waktu kamu terlalu banyak pada satu pria, Fil.”

Ya ampun Fil, aku kan udah ngomong dari dulu kalo Didi itu aneh! Seandainya aja kakak kamu ada di sini sekarang, sumpah pasti aku ajakin salaman…

“Pokoknya gini, Fil. Saat kamu menyukai seseorang dan melakukan pendekatan sama dia, tanya pada diri kamu sendiri: dia suka sama aku nggak, ya? Kalo nggak, segeralah pergi. Jangan terlalu lama fokus pada satu pria…”

Mmm, menarik, menarik…lucu juga pemikiran seperti itu keluar dari mulut seorang pria. Mungkin simpel aja-ia memakai otak logisnya dan lagi bicara statistik. Tapi mungkin ada satu hal yang agak terlewatkan. Kalo denger pendapat kakaknya Fili, dunia jadi terasa seperti sebuah rat race dimana para wanita berlomba memperebutkan sebuah komoditas bernama pria, yang jumlahnya makin menyusut-antara supply dan demand udah nggak seimbang lagi jumlahnya. Fakta emang bicara kalo jumlah cowok di dunia lebih sedikit dari ceweknya. Hhmmmph…tertarik untuk ikut dalam permainan?

Saya sendiri punya otak yang aneh kalo udah nyangkut urusan cowok. Saat ini saya lagi konsen ke tugas-tugas kampus, mulai mikirin rencana magang semester depan, ngelarin naskah fiksi, ngurus pembukaan perpus gereja, dan yang terpenting dan tergenting adalah membuat proyek film documenter pendek untuk syarat kelulusan ujian internasional. Nah, di tengah rutinitas begini, saya jadi sering lupa kalo lagi naksir seseorang. Awal-awal heboh, terus ditinggal sibuk, eh tau-tau bosen dan hilang deh semua eforia itu. Sekalinya pernah deket sama cowok, mendadak saya kabur jauh-jauh karena ketakutan. Rasa-rasanya saya straight, tapi berhubungan dekat dengan sosok lelaki membuat saya merasa paranoid, tercekik…dan akhirnya saya lari dengan tidak senonoh.

Udah deh, nggak usah ngomongin relationship dulu, masih kecil ini hahaha

Oiya, saya pengen laporan soal kunjungan ke dokter kulit. Gila ya, dengan kesadaran 100% saya datang kembali ke dokter horror itu dan membiarkan dia mencangkuli muka saya.

Rupanya kunjungan saya yang pertama sangat berkesan di hati dokter kulit. Dia langsung mengingat saya sebagai ‘pasien yang menangis.’

Seperti yang udah saya rasain dari awal, kembalinya saya lebih karena gemas dan tertantang. I have to finish what I’ve started. Saya mau liat, bakal sejauh apa ini semua.

Agenda hari ini membereskan jerawat di pipi. Mula-mula sang dokter menawarkan untuk ngerjain satu pipi dulu. Saya yang males mondar-mandir (mondar-mandir ke dokter dan mondar-mandir bayar tagihan) dengan gagah berani meminta kedua pipi saya dihabisin aja sekalian. Lagian dipikir-pikir aneh juga kalo saya kelinteran dengan muka merah sebelah. Hajar, bleh!

Alamak, sakitnya…

Tapi anehnya, saya hanya menangis irit-irit. Mungkin karena saya udah tau apa yang bakal saya hadapi kali, ya. Saya juga udah bertekad nggak mau pake heboh kaya dulu lagi sih.

Dokter kulit saya heran.

“Kamu kok berani sekali, ‘Dik..”

“Hehehe”

“Padahal…sakit ya?”

“Hehehe”

“Tahan ya ‘Dik, tahaan…”

Kurang ajarnya, lama-lama si dokter malah mengingatkan saya betapa menyakitkannya proses ini.

“…ya, kalo mau nangis juga nggak apa-apa, kok. Emang sakit ya… ”

“Mmph”

“Pasti sakit, lah…orang kita aja mencetnya ngeluarin tenaga…ugh,ugh…”

What?? Kata-kata yang sangat menyejukkan suasana…

Bisa-bisanya dia ngomong begitu dengan jarum di muka saya dan sarung tangan karet penuh darah.

Pulang ke rumah, mami histeris dan nggak mau liat muka saya sampe beberapa waktu

Sejauh apa kamu akan berkorban untuk merawat kulit wajah? Sejauh facial sebulan sekali? suntik botox? operasi?

Saya tergolong perempuan sembrono yang nggak terlalu peduli dengan perawatan wajah seheboh ‘perempuan normal’ yang saya tahu. Cukup pergi ke mini mart seberang rumah, ambil pencuci muka dan toner, beres perkara.

Sejak masuk remaja bertahun-tahun lalu, muncul titik-titik seperti jerawat tak berwarna di pipi, dagu, dan dahi saya. Saya juga nggak terlalu ambil pusing soal itu, meski teman dekat, kakak, dan ibu menyarankan untuk ke dokter kulit. Saya nggak merasa terganggu oleh bintik-bintik ini.

Bertahun-tahun bintik ini konsisten menghiasi wajah saya, tanpa bergeming. Mereka tidak memerah maupun menghilang. Tidak meradang maupun membaik. Malah, memasuki masa kuliah, kok jadi tambah banyak? Saya mulai sedikit terusik. Aneh.

Ya, sudahlah, satu kali berkat bujukan kakak saya menemaninya ke seorang dokter kulit untuk berobat. Setelah urusan dia beres, giliran muka saya diteropong dengan sebuah lup sebesar tampah. Diagnosa yang keluar: saya berjerawat tapi tidak berpori-pori. Akibatnya ya gini, jerawat itu nggak bisa kemana-mana, nggak bisa keluar. Solusinya mengerikan: ‘isi’ jerawat itu harus dikeluarkan, dengan jarum satu per satu. Coba saya ulang lagi: dengan jarum satu per satu. Saya langsung ngacir-no, thanks deh! Saya nggak mau dibikin susah sama muka sendiri, yang penting masih nggak malu-maluin kok kalo dibawa jalan. Si dokter menyerah dan hanya memberi pengobatan luar dengan berbagai krim. Setelah sekitar sebulan pemakaian, jerawat saya membaik-beberapa menghilang dan mayoritas mengecil. Tapi, setelah obat itu habis, situasi kembali seperti semula. Saya pikir-what the heck-masa hidup saya yang bebas komitmen harus jadi ketergantungan sama obat dokter kulit? I’ll live with it, then. Biarin. Lagian dipikir-pikir perawatan kulit kok mahal banget, mending duitnya buat makan-makan, belanja buku, sama borong DVD bajakan-lebih kerasa gunanya, lebih ngefek.

Sekitar setahunan berlalu, sang ibu makin sering berkomentar soal muka saya. Anak gadis kok mukanya gitu, anak gadis harus dirawat…ia sering menasehati saya, plus berjanji akan memberi suntikan dana untuk perawatan. Sepertinya ia agak cemas harga pasaran anaknya di dunia perjodohan jadi turun.

Belakangan muncul sebuah titik cerah (tentunya bukan di wajah saya); sahabat baik kakak saya mereferensikan seorang dokter kulit yang (katanya) nggak main jarum. Alkisah, di wajahnya mendadak muncul jerawat mirip seperti saya; lalu ia diberi krim dan antibiotik oleh dokter kulit x di daerah y (masih inget persamaan aljabar?) yang sama dengan jerawat lenyap…. dalam semalam!!!! Waw, dokter ini pasti Sangkuriang!!!

Maka saya dan kakak pun bertandang ke tempat praktik the-so-called dr. Sangkuriang ini. Ia berpraktik di sebuah klinik super mewah-super kinclong-super modern di kawasan Kelapa Gading. Sambil menunggu giliran, saya dan kakak mengamati pasien-pasien yang berseliweran. Mayoritas remaja dan ibu-ibu, dan ternyata cukup banyak pasien pria. Saya agak bergidik melihat patung-patung Adonis yang menanti perawatan di sini-yang jelas suatu hari nanti saya nggak bakal mau mendapat suami yang mukanya lebih cantik dari saya. Kakak saya menyadari satu hal lain dari situasi ini-semua manusia di sini sama sekali nggak tampak membutuhkan dokter kulit. saya memandang berkeliling dan…hell, it’s true!

Semua orang di sini lebih cocok ditaruh di lobi hotel atau mall-berkilau, gaya dan…kulitnya sempurna. Saya dan kakak yang santai ber-jeans dengan muka bersih dari make-up malah jadi berasa salah tempat. Ini dokter kulit bukan, sih? Apa yang mereka lakukan di sini? Rasanya yang paling berhak ada di sini itu cuma saya dan kakak saya, deh…ooh, mungkin sebaiknya saya panggil sekuriti untuk mengusir manusia-manusia indah yang kesasar ini? Tapi sebelum saya sempat melaksanakan niat jahat itu, nomor urut saya udah dipanggil.

Maka, masuklah saya ke ruangan dr. Sangkuring. Ternyata ia tampak seperti versi horror dari mamanya Sheila Marcia Joseph. Feeling saya mendadak nggak enak. Mrindingi.

“Difoto dulu yaa?”

Seorang suster mungil menghadang saya dengan kamera digital pocket.

Apaa???

“H-hah?”

“Difoto dulu yaa?”

“Difoto?”

“Iya, biar tahu perkembangannya…”

“Oh, oke.”

Dengan pose memegang kartu status, saya diambil pasfotonya-situasi ini sungguh konyol dan setengah mati saya menahan gelak tawa saya tapi semua orang begitu serius sehingga saya yang jadi nggak enak body. Tapii…please, deh; saya ke dokter kulit dan hal pertama yang mereka lakukan adalah meminta saya berpose narapidana seperti ini?

Setelah itu, dengan pose berbaring dr. mama SMJ menganalisa mukanya memakai lampu yang menyilaukan. Celakanya, analisa dia sama dengan dokter sebelumnya. Ternyata jenis jerawat saya beda dengan teman kakak saya itu; kalau dia namanya jerawat eksim yang muncul karena reaksi cuaca panas, sedangkan saya adalah jerawat milium yang muncul entah karena apa. Nasib, mungkin. Dan lagi-lagi saya mendengar kata itu: dengan jarum satu per satu.

Apaa? Apaaaaa?????

Saya siap-siap cabut ketika kakak saya malah menyemangati dokter itu untuk menyiksa saya.

“Iya, udah lama tuh begitu…emang harus dikeluarin semuanya..”

Saya menatap kakak dengan pandangan putus asa memohon.

Tidaak…tidaaak…

“Ayolah biar beres…”

Dokter dan suster itu menutup mata saya, mengolesi muka saya dengan alkohol dan mulai melakukan ritual sadistic itu.

Sakitnya bukan main dan saya menangis tersedu-sedu. Capek-capek pulang ujian dari kampus…kenapa saya nggak istirahat aja sihh di rumah???

Setelah proses itu selesai (saking banyaknya dan karena saya mengingatkan dr. mama SMJ bahwa saya ada presentasi besok, pengangkatan milium saya dicicil jidat dulu), saya masih nggak bisa berhenti nangis, badan saya gemetar dan mendadak AC ruang praktik terasa sedingin kutub. Dalam keadaan seperti itu, dr. mama SMJ masih sibuk menjelaskan rutinitas perawatan pasca pengangkatan milium yang super ribet-saya berusaha mencerna tapi otak saya nggak bias diajak mikir, jadi saya iya-iya saja.

“Nah, pagi-pagi cuci muka pake x, astringentnya yang ini di seluruh wajah dan moisturizer…tapi hari ini dan besok jangan pake astringent dulu, langsung moisturizer aja setelah cuci muka…”

“I-iya..”

“Siangnya, di kampus, kamu cuci muka ya…pake pencuci muka ini, itu…”

“I-iya..”

“Malam sebelum tidur cuci muka lagi, pake astringent yang biasa, tapi abis itu jangan pake moisturizer lagi, pake astringent khusus jerawat yang ini…”

“I-iya..”

“Astringent yang khusus jerawat pakenya ditepok-tepok di daerah yang yang berjerawat aja..jangan lupa kalo cuci muka pake air dingin yaa..”

“Ap-pa? Oh, iya, iya..”

Saya masih keliatan syok saat ngantri obat di counter bawah. Saya memergoki orang-orang menatap aneh pada luka-luka di dahi saya yang masih basah-rasanya saya jadi naik darah. Welllll…hellooooo??? Ini kan dokter kulit??? Apa anehnya muka saya dipreteli seperti ini? Dasar orang-orang cantik menyebalkan! Benci, benci, benciiii!!! >,<

Kakak saya berusaha menghibur dan menabahkan hati saya dengan mengulang pepatah lama: beauty is pain, beauty is pain, beauty is pain.

Right.

Tapi ini terlalu jauh. Saya nggak pernah membayangkan akan rela melakukan hal ini demi muka. Kenapa setelah pain ini saya malah merasa lebih jelek dari sebelumnya???

Beberapa hari berlalu dan luka itu menghilang. Saya menatap diri saya di cermin dan mendapati dahi saya bersih sama sekali. Rasanya aneh, bintik itu sudah begitu lama ada di sana, sehingga terasa seperti bagian dari diri saya saja. Saya meraba dahi yang rata dan teringat ucapan sahabat sekampus saya, seorang model sekaligus dancer dari Semarang yang rada medok.

“Kalo mau cantik itu emang harus sakit, ngerti?”

Dia sama sekali tidak menunjukkan simpati atas keluhan saya.

Saya juga inget teman lain yang agak-agak se-ideologi sama saya

“Kalo jadi elo, gue nggak bakalan balik, deh.”

Saya teringat janji kunjungan berikutnya untuk melakukan pengangkatan milium di pipi.

Untuk apa saya melakukan ini? Apakah saya tidak puas dengan diri saya sendiri dan ingin jadi cantik? Apakah tanpa milium di wajah saya jadi lebih cantik? Apakah kalau saya ‘cantik’ hidup akan jadi lebih mudah? Semua masalah saya hilang?

Selama ini saya cukup puas dengan diri saya yang seperti ini-ordinary girl, nggak cantik tapi juga (moga-moga) nggak jelek. In fact, saya belum pernah ketemu perempuan yang jelek.

Tapi ada sesuatu yang menggelitik dalam diri saya untuk menuntaskan pengobatan ini. Sesuatu yang menantang saya.

Ah, saya bingung.

Should I go back???

kalo dipikir2, udah berapa seragam berlalu dalam hidup kita?

mungkin kita pertama mulai dengan seragam TK.

seragam SD

seragam SMP

seragam SMU

setelah ada seragam, mendadak kita bukan lagi anak lain yang lari-lari telanjang di bawah hujan

kita bukan anak lain yang bajunya tidak pernah serasi atas bawah karena semuanya sumbangan

kita jadi orang berbudaya, disiplin, rapi dan berkelas.

kita jadi beda dari orang lain yang dianggap tidak boleh disamakan dengan kita oleh entah siapa

lalu…

lalu ada perubahan aneh yang dibawa oleh rok kotak-kotak biru, kemeja putih lengan pendek, dan vest yang serasi dengan rok.

saya mau cerita soal seragam paduan suara anak waktu saya masih kecil, sekitar SD.

menyanyi waktu itu bikin saya bahagia-kegiatan akhir minggu di luar sekolah yang menyegarkan.

kalo biasa dilarang bicara keras-keras di kelas, di paduan suara disuruh mengeluarkan suara keras.

saya nggak pernah absen latihan-sampai satu kali rumah kebanjiran dan saya tidak dapat dapat hadir ke pertemuan rutin.

ternyata pada pertemuan itu mereka membuat seragam.

Hari yang ditunggu-tunggu tiba, hari pementasan, dimana kami akan menyanyikan lagu yang sudah lama dilatih, di depan orang banyak dan yang terpenting, di depan orang tua kami.

Saya malu karena tidak punya seragam.

Saya lari dan sembunyi di parkiran,

jalan-jalan ditiup angin sore, saya hanya sendiri,

menghadapi badai psikologis pertama seorang bocah kurus.

saya masih inget jantung yang berdebar terlalu keras, dan untuk pertama kali saya bingung dengan diri sendiri

semua sudah rapi dengan seragam, saya jadi benci diri sendiri melihatnya

saya nggak mau maju, nggak mau nyanyi, nggak mau ada di tempat ini

saya terus berputar dan berputar seperti gasing bingung kehilangan arah

saya ingat sore yang sejuk itu

mendadak tangan saya dijambret orangtua yang marah-saya harus naik pentas, saya dicari oleh kondektur -eh- konduktor paduan suara.

saya malu sekali saat dipaksa duduk di tempat untuk paduan suara

mereka bukan lagi teman-teman latihan saya

mereka adalah anggota paduan suara anak, dan saya bukan.

saat kami maju ke panggung, seorang bocah laki-laki tidak tahan untuk tidak berseru kaget karena mengira saya nggak ikut nyanyi sore itu.

saya ingat berdiri di panggung, mendadak lupa lagu itu, membuka mulut yang kering tanpa suara

saya ingin sekali menangis pada sore yang sejuk itu tapi saya nggak menangis

nah, rasanya itu pengalaman pertama saya menahan tangis.

Love is a Pain in the Butt…no?

Baru-baru ini seorang teman mengajarkan saya hal baru tanpa sengaja.

Teman saya ini, sebut saja namanya Fili (nama disamarkan untuk privasi-hihihihi rasanya kaya lagi nulis berita kriminal ;D )

Dia seorang mahasiswi di Jakarta, dan sudah berbulan-bulan jatuh cinta pada seorang cowok di kampusnya. Ah, klise ya? But such things happen, right?

Nah, kebetulan karena kami berteman dekat, dia sering cerita soal sang pujaan hati ini-sebut saja namanya Didi (kaya sampo bocah itu, loh..)

Fili dan Didi bertemu di kelas sebuah mata kuliah, dan jrangjrengjrong…teman saya falling in love. Awalnya standar-cinta platonik tanpa adanya prospek cerah . Sekedar gregetan hepi kalo liat mukanya. Dengerin curhatnya juga jadi males karena teman saya bersikap malu-malu kucing dan bingung-bingung merpati. Akhirnya, setelah beberapa lama, dan semua teman-teman kompak mengomporinya untuk melakukan pendekatan, teman saya maju juga. Yang lucu, network cewek satu kampusnya pun ikutan kompak jadi mata2 gratisan-mereka rajin memberi laporan harian via sms atau lisan tentang Didi ada dimana, Didi lagi ngapain, Didi dulunya sekolah dimana, Didi lagi ada gosip ada…dan Didi-Didi lainnya.

Akhirnya, berkat jasa peminjaman catatan non resmi antarmahasiswa, Fili dan Didi sekarang berteman. Ternyata, mereka makin deket. Didi rajin membantu Fili belajar, dan mereka jadi makin intens SMSan, bahkan sampai telpon2an hingga larut malam. Itu pasti masa-masa paling membahagiakan bagi Fili, apalagi Didi sampai curhat-curhatan segala pada Fili. Lama-lama muncul beberapa sifat Didi yang menurut saya agak aneh untuk ukuran cowok. Didi terlalu sensitif dan ngambekan…celakanya Fili sahabat saya adalah gadis yang sensitif juga dan melankolis akut. Mood Fili sering dipengaruhi sikap Didi. Sikap Didi yang bisa tiba-tiba dingin sering membuat Fili bingung, feeling guilty dan uring-uringan seharian. Padahal nanti ternyata nggak ada apa-apa. Sia-sia stres sendiri. Tapi ya, biar gimana mereka tetap dekat.

Dari keseluruhan cerita Fili, kami semua udah still yakin kalo Didi emang punya rasa ama Fili, soalnya selain komunikasi yang udah intens banget, Didi sering bersikap hati-hati kalo lagi jalan sama temen cewek lain; dia bakal langsung menjelaskan ini-itu, seakan takut Fili cemburu.

Wah, tinggal tunggu tanggal main, nih…batin saya.

Eh, makdikipe…perkembangan yang terjadi selanjutnya justru di luar dugaan. Satu kali Didi ‘curhat’ ke Fili kalo dia lagi jatuh cinta dengan seorang gadis. Sebagai ‘sahabat’ yang baik, tentu saja Fifi pasrah dan iya-iya aja terhadap omongan Didi. Hati Fili hancur, dan dia menceritakan tragedi ini kepada dua orang sahabat terdekatnya di kampus, yang merupakan bagian dari ‘tim sukses’ Fili. Hanya dua orang tersebut.

Beberapa hari kemudian, Didi mendatangi Fili dengan amarah membara. Ia mendengar berita bahwa pujaan hatinya yang ia taksir diam-diam telah mengetahui perihal perasaan Didi lewat seorang teman. Dan ia menyalahkan Fili karena merasa hanya menceritakan ini pada Fili. Untuk beberapa waktu, Didi mendiamkan Fili dan marah padanya, meski Fili sudah meminta-minta maaf. Sampai sekarang tidak ada yang pernah tahu dari mana si gadis itu mendengar gosip tentang perasaan Didi.

Time heals, kata orang. Dan itu berlaku juga pada Didi dan Fili. Perlahan-lahan hubungan mereka membaik meski tidak seperti dulu. Fili masih mencintai Didi seperti yang sudah-sudah, meski ia sempat ‘ditembak’ oleh seorang cowok lain bernama Bobo (perlukah saya klarifikasikan kalo ini nama palsu juga?) yang ia kenal di gereja. Usia Bobo beberapa tahun lebih tua dari Fili, seorang arsitek yang sangat perhatian pada Fili (Bobo adalah tipe cowok yang masih mengirim hadiah boneka pada Fili sebagai permintaan maaf hanya karena ia merasa kurang mendengarkan Fili di telepon semalam). Saat mereka berpisah di bandara karena Bobo akan melanjutkan studinya ke luar negeri, ia menyatakan perasaannya itu. Fili menolak Bobo dengan halus, karena…karena apa lagi, coba? Ya, dia cinta Didi. Didi forever.

Satu kali, terjadi slek lagi antara Didi dan Fili. Sebenarnya ini lagu lama: Fili bercanda, tapi Didi terlalu sensitif dan menanggapinya serius (saya kenal Fili hampir sepuluh tahun-percayalah, dia orang yang sangat menjaga kata-katanya dan bisa bercanda pada tempatnya). Peristiwa kali ini menyentuh batas ketabahan Fili. Fili lelah, dan seperti biasa dia curhat pada Bobo lewat SMS dan email. Dan tebak apa yang dilakukan Bobo kemudian? Ia menelepon Fili dari luar negeri dan mencoba peruntungannya lagi. Di saat Fili sedang down karena Didi, ia menembak Fili untuk kedua kalinya. Fili bukannya jatuh cinta pada Bobo, ia jatuh iba. Ia paham betul rasanya mencintai seseorang tanpa balasan. Dan ia lelah terus mengharapkan Didi. Ia menerima Bobo.

Saya senang sekali ketika ia menceritakan ‘kabar gembira’ ini di sebuah kedai es krim. Akhirnya Fili mendapatkan seorang pria yang sempurna, yang nggak akan pernah nyakitin dia. Saya gembira, semua temannya gembira. Satu-satunya orang yang tidak tampak gembira ya cuma Fili itu sendiri. Dengan wajah beku yang aneh, ia memandang es krimnya dan membuang muka. Tidak ada antusiasme, tawa, bahkan senyum senang; boro-boro saya mau nodong minta traktir. Ya ampun apa yang salah sih dari Bobo? Mapan, dewasa, perhatian, pinter, seiman? Ibu mana yang nggak cengengesan hepi kalo melihat anak gadisnya pulang ke rumah menenteng cowok tipe begini? Memang tidak ada yang salah dari Bobo. Bobo benar-benar komoditas berkualitas tinggi di Pasar Perjodohan Nasional. Tapi…begitulah.

Setelah peristiwa itu saya tidak bertemu Fili untuk waktu yang lama, kami sama-sama disibukkan oleh project kampus dan ujian akhir semester. Satu malam yang suntuk, Fili SMS.

hay pinkpiggy…gw lg sedih nih...
ud lama y qta ga ktm..stlh final ktmuan yuk? pengen curhat byk..

hah? sdih kenapa?iyaya, ktmuan yuk stlh final kelar! ;D

wah panjang bgt ceritanya. gue ud putuss..

Saya terkesiap. Kehilangan pria se-perfect Bobo memang menjadi kerugian besar yang tak ternilai harganya.

Dengan sigap saya mengirimkan SMS penghiburan. Tapi SMS saya ternyata salah alamat. Fili tidak sedih sama sekali perihal urusannya dengan Bobo. Fili ternyata sedang sedih memikirkan dilema Didi. Yeah, the same old Didi. Didi yang sama dengan yang dulu. Apa sih bagusnya Didi? Didi lagi-Didi lagi. (saya mulai bersenandung: Didi..Didi…Didi sampoku. Setiap kumandi, dididi…)

Lah, mungkin saya yang emang nggak bisa ngerti. Saya belum pernah jatuh cinta serius sepanjang hidup saya yang dua puluh satu tahun ini. Saya nggak ngerti aja. Seorang Fili yang baik, pinter dan asik membuang percuma waktunya untuk memikirkan seorang pria yang lebih bete-an daripada saya kalo lagi PMS.

Tapi saya inget satu hal. Saya inget mata Fili. Saya inget bibir Fili. Saya inget pipi Fili. Saya inget muka Fili. Semua tampak begitu bersinar, bahagia dan cerah jika ia sedang menceritakan Didi. Fili bahagia. Tapi kan Bobo sempurna??? Nah, saya juga heran. Bobo punya segalanya di mata Fili, cuma satu hal yang ketinggalan. Perasaaan. Perasaan itu nggak ada, dan ternyata nggak bisa dibuat ada. Fili udah belajar soal satu hal ini. Dan saya belajar bahwa pasangan sempurna bukanlah pria yang ideal, tapi pria yang kita cintai. Perhatikan aja orang tua kita. Orang tua saya jelas tidak mendapat pasangan yang ideal, tapi mereka mendapat pasangan yang tepat. Ternyata itu yang penting. Sukur kalo kapan-kapan saya ketemu sama orang seperti itu.






“Dayu“


KARYA GILROY BEZALIEL EVAN YOEWONO, PEMENANG TUNGGAL LOMBA FOTO http://www.eyeka.asia/





Saya bukan mau cerita-cerita soal fotografi. Saya mau cerita soal bangun pagi, buka koran dan dikejutkan oleh foto ini. Tepatnya, oleh model dalam foto ini. Namanya adalah Ida Ayu Pradnya Laksmi Devi, tapi kami di SMP dulu biasa memanggilnya Dayu, seperti judul foto ini.


Foto Dayu menjadi bahasan di koran pagi itu karena fotografernya memenangkan perlombaan fashion photography yang merupakan kerjasama antara British Council Indonesia dan EYEKA Asia (organisasi internasional penghubung raksasa industri dengan ‘young talented artists, photographers, and video makers’). EYEKA (yang ternyata dibaca: eye and ka) ini pertama berdiri di Perancis, lalu bercabang sampai ke Singapura, Indonesia, dan sebentar lagi ke Australia. Pemenangnya sungguh beruntung karena sayembara ini berhadiah jalan-jalan ke London Fashion Week!!


Mengutip tulisan Arbain Rambey di Kompas Selasa, 3 Februari 2009 lalu:


“Foto ini menyisihkan 1.687 foto lain yang semuanya luar biasa. Karena semua pesaing sangat pekat olah digitalnya, foto ”Dayu” yang tampil sederhana tapi kuat karakternya dan sangat Indonesia ini langsung menyita perhatian juri yang antara lain dua fotografer ternama, Darwis Triadi dan Jerry Aurum.”


Ingatan saya kembali ke masa lalu, ke sebuah SMP swasta di daerah Pulomas. Waktu itu adalah hari pertama sekolah setelah libur kenaikan kelas yang panjang. Hari itu saya dan teman-teman menjadi murid SMP tingkat dua dan masuk kelas baru. Hari itulah saya mengenal Dayu. Dengan tubuh yang sangat tinggi, rambut tebal dan kulit yang hitam legam, ia jadi berbeda dari semua murid di sekolah ini. Ia duduk sendiri di bangku paling depan. Saya sendiri tidak terlalu ‘ngeh’ pada awalnya karena saya masuk kelas itu bersama dua orang sahabat dari kelas sebelumnya, sehingga waktu itu pikiran saya lebih ke mengobrol bareng mereka daripada berkenalan dengan teman baru. Saat bel berdering dan kami harus duduk, saya baru sadar apa yang salah. Bangku sekolah ini ditata dua-dua. Artinya, salah satu dari kami bertiga harus mengalah pergi. Waktu itu hanya ada satu bangku yang kosong-bangku di sebelah Dayu. Ia sendiri tampak duduk tenang, tidak terganggu oleh berisiknya remaja-remaja 2 SMP yang berceloteh, seakan ia memiliki semestanya sendiri. Dan karena bangku Dayu pun tidak jauh dari tempat duduk kroni-kroni saya, maka dengan santai saya apakah bangku di sebelah Dayu kosong (sebenarnya ini basa-basi banget karena jelas-jelas bangku itu kosong), duduk di sebelahnya dan berkenalan.


Sejak itu kami berempat berteman.


Saya baru pernah punya teman seperti Dayu. Dayu sangat berbeda dari semua teman yang ada di lingkungan saya sebelumnya. Jika foto di atas disebut memiliki karakter yang kuat, saya rasa Dayu punya andil juga dalam membentuk karakter foto itu. Dayu adalah teman yang menyenangkan dan meski saya tidak pernah melihat dia melakukan hal-hal seperti memegang ular berbisa atau lompat dari jurang, saya merasakan keberanian menguar dari dirinya.


Saya begitu terkesan oleh Dayu selama masa SMP. Saya juga nggak tahu kenapa. Kami sering pulang bareng karena Dayu kerap nebeng di mobil antar jemput saya untuk di-drop di ujung jalan sekolah kami. Tidak seperti teman-teman lain yang rumahnya dekat dengan sekolah dan selalu diantar jemput, rumah Dayu amat jauh di Bekasi dan tiap hari ia menempuh perjalanan naik bis sendiri plus jalan kaki yang lumayan (bisnya nggak turun pas di depan sekolah). Ia tampil lebih bersahaja dibanding teman-teman lain, tapi sepertinya Dayu memang tidak membutuhkan apa-apa lagi untuk melengkapi dirinya. Meski berbeda, saya tidak ingat Dayu pernah minder. Ia selalu menegakkan kepalanya dan tidak pernah terpengaruh omongan orang. Terkadang Dayu bercerita tentang Bali, pura, makna namanya, juga tentang anjing Bali.


Satu kali, saya mendapat hadiah ulang tahun berupa diary cantik yang bisa diisikan biodata teman-teman. Maka saya mengedarkan diary itu ke seluruh kelas dan meminta mereka mengisinya. Termasuk Dayu. Saya ingat sekali, ketika itu Dayu menuliskan kata ‘model’ di kolom cita-cita. Teman-teman lain menertawai dirinya, terutama cowok-cowok, mereka menganggap Dayu mengada-ada. Dayu tampak sebal, tapi ia tidak menanggapi dengan balas mengejek orang-orang. Ia kembali menyibukkan diri dengan bacaannya, seperti biasa ia tidak bisa diganggu oleh situasi. Saya melihat ketenangan Dayu, keteguhan dirinya, dan otak 2 SMP saya yang waktu itu belum pernah diajak mikir panjang tiba-tiba merinding. Serta-merta saya ngomong aja ke dia: “Yaa, gw percaya, lo bisa jadi model.” Dayu hanya tersenyum dan mengangguk. Ya, itu memang sudah jadi fakta untuk dirinya. Dia tahu apa yang dia mau, dan siap untuk mencapainya.


Menjelang kelulusan, kami semua sibuk oleh berbagai urusan ujian nasional dan tes masuk SMU. Kebetulan saya dan Dayu waktu itu sudah pisah kelas, jadi kami jarang mengobrol juga. Tapi saya nggak bakal lupa hari itu, hari ketika pengumuman ujian masuk SMU sekolah kami keluar. Banyak murid yang mendaftar untuk masuk SMU kami, karena selain cukup bagus, tentunya lebih praktis karena tidak perlu pindah-pindahan. Hari itu, pulang sekolah, saya melihat Dayu berdiri di balkon depan kelasnya, berwajah kalut. Saya belum pernah liat Dayu seperti itu. Saya mendekati Dayu dan mengajaknya bicara. Ternyata ia memikirkan sahabat sekelasnya yang tidak diterima di SMU kami. Dayu bercerita dengan suara gemetar mengenai perjuangan yang sudah dilakukan sahabatnya itu untuk bisa diterima. Saya terperangah dan kebingungan. Saya nggak tahu harus gimana, nggak tahu harus bilang apa. Saya baru pernah berhadapan dengan situasi seperti ini, saya baru liat ada orang yang sesedih ini padahal bukan dia yang mengalami hal buruk. Saya hanya ber ‘ooo’ seperti orang tolol, lalu jadi bingung dan salting sendiri. Dayu telah menghadapkan saya pada sejenis emosi yang namanya empati, dan saya baru belajar tentang makna sesungguhnya dari empati hari itu.Saya baru tahu orang bisa sedih karena sahabatnya sedih.


Ah, masa SMP. Kalo diinget-inget rasanya seperti baru kemarin, tapi kalo dipikir-pikir sebenarnya udah lama juga-orang udah enam tahun berlalu kok. Setelah lulus, Dayu pindah ke Bali dan karena belum jaman HP, kami putus kontak. Sekitar kelas 2-3 SMU saya pernah denger gossip dari cowok-cowok kalo mereka melihat Dayu di acara pemilihan model di TV, ia masuk nominasi untuk mewakili daerah Bali meski nggak menang. Ketika jaman Friendster booming, saya mencoba melacak Dayu, tapi ternyata di Indonesia ada ratusan orang bernama Dayu atau Ida Ayu (ya, iyalahh..). Yaa...selebih itu, nggak pernah lagi saya denger soal Dayu. Dayu tinggal dalam kenangan buku tahunan SMP saja. Dayu terkubur makin dalam diantara segala tugas kuliah. Dayu hampir terlupakan. Sampai suatu pagi di awal Februari, saat dimana saya membuka koran Kompas untuk menemani sarapan pagi.


Dayuuu...where are youuu??


;D