TAKSI MAU KEMANA

drapdrapdrapdrapdrapdrap.
BLAM.
“Jalan Pak,”
Taksi kuning yang cerah menembus kegelapan malam, berjalan meninggalkan pelataran mall yang penuh kelap-kelip. Aspal basah berkilat dingin, lampu jalan pasti menggigil karena harus tegak di tengah kota malam yang baru disiram hujan mendadak. Hujan di tengah musim kemarau.
“Mau kemana, Mbak?”
Penumpang itu diam saja. Esha melirik kaca spion. Perempuan muda dengan rambut hitam lurus sepunggung dan memakai terusan broken white selutut bersandar di kursi dengan wajah menghadap kaca. Ia begitu tersedot entah oleh apa yang ia lihat di luar, karena jelas-jelas pertanyaan Esha tidak digubris.
“Maaf Mbak…mau kemana?”
Perempuan muda menoleh, jantung Esha mencelos sesaat. Hampir jam sebelas malam, ia berhadapan dengan sebuah wajah pucat dengan bercak-bercak hitam pemulas mata membelah, membentuk jejak air mata. Mata bengkak dan merah. Dibandingkan wajah itu, rasanya para personel KISS jadi imut-imut banget. Astaganaga, semoga Esha tidak sedang menjadi bagian dari kisah horror nyata tentang supir taksi berpenumpang gaib.
Si kuntilanak menatap kaca depan dengan mata kosong. Oh, bukan. Mata itu tidak kosong, mata itu berisi sesuatu-tapi apapun yang ia lihat, tidak ada di jalanan depan sana. Satu detik yang panjang, Esha merasa sedang terjatuh ke dalam bola mata hitam tanpa dasar.
“Nggak tau, Pak.”
Akhirnya ia menatap Esha, benar-benar menatap Esha.
“Loh, Mbak mau kemana?”
“Saya nggak tahu, Pak.”
Lampu merah menyala. Esha memanfaatkan kesempatan ini untuk memutar badannya 180 derajat. Setelah hari yang panjang dan melelahkan, setelah berkilometer-kilometer jalanan macet dan pengendara motor yang buas, setelah sekian masalah yang telah terjadi hari ini…Esha benar-benar tidak punya tenaga dan kesabaran lagi untuk melayani penumpang yang kurang waras.
“MBAK INI MAU KEMANA???”
Kuntilanak broken white itu kelihatan sama lelahnya dengan Esha.
“Pak…eh, Mas…jalan aja terus…”
“Iya, jalan kemana? Jalan lurus sampe bensin saya abis?”
“Jalan, Mas.”
“Loh gimana ini…”
“Jalan Mas, Jalan!”
“Jalan gimanaa?”
TIIIN…TIIN…TIIN
“Lampunya udah ijo, Mas…”
Sambil tancap gas, Esha menghela sebuah nafas yang sangat berat, dalam, dan panjang.
“Mbak rumahnya di daerah mana?”
“Saya nggak mau pulang, Mas.”
“Apa saya kembali saja ke mall tadi?”
“Nggak.”
Sebuah getar pedih terdengar dalam suaranya.
“Terus Mbak mau kemana?”
“Saya nggak tahu.”
“Astagaaa…Mbaak! Aduhaduhaduuuuh biyuuung…apa mbak nggak kasihan sama saya? Aduh gimana ini…”
Si kunti jelas tidak tampak tergerak sedikit pun melihat kekalutan Esha.
“Mas…terakhir kali tertawa…sebabnya apa?”
“Ini apa hubungannya? Saya harus setir kemana ini???”
“Terserah, jawab dulu pertanyaan saya.”
Nafas Esha terasa makin suntuk.
“Tadi siang, waktu saya lihat anak kecil di restoran.”
“Masa gitu aja ketawa?”
“Bukan gitu Mbak…saya dipanggil sama orangtua anak itu. Mereka sekeluarga minta dijemput dari restoran itu. Waktu nunggu, saya lihat kejadian lucu.”
“Mas kalo cerita nggak jelas, nggak lengkap lagi. Nggak ihklas ya, Mas? Ayo, cerita dong ke saya semuanya, dari awal sampai habis.”
“Mbak, saya ini bukan pendongeng-“
“Tenang Mas, saya pasti bayar. Saya bahkan lebih rela bayar mas atas satu cerita bagus dari pada perjalanan malam ini.”
Esha mendelik. Tapi ia memutuskan untuk melanjutkan ceritanya. Apapun yang bisa membuat ia mendepak kuntilanak ini dari dalam taksinya.
“Tapi Mbak janji dulu ya?”
“Apa?”
“Habis ini Mbak turun dari taksi saya?”
“Iya.”
“Ceritanya begini, Mbak…si ayah meletakkan uang tip di atas meja dan mereka sekeluarga sudah bersiap pergi. Anaknya, umur sekitar 5 tahun, tiba-tiba menjerit: ‘Papa, uangnya ketinggalan!’”
Kuntilanak terikikik kecil. Kali ini Esha bener-bener ketakutan.
“U-udah ya, Mbak? Saya menepi di depan yaa?”
“Eh, nggak mau!”
“MBAK KAN UDAH JANJIII!!”
“Apa tugas seorang supir taksi? Mengantar penumpangnya bukan?”
“Tapi kan dari tadi-“
“Antar saya ke tempat itu.”
“Kemana?”
“Ke restaurant tempat anak kecil itu.”
Esha sudah tidak mau berdebat. Masih untung tempat itu nggak terlalu jauh dari jalanan ini. Gimana kalau restaurant itu ada di Depok atau Cibubur? Mati kan, Esha?
Esha menggerundel kesal.
“Masa orang naik taksi nggak punya tujuan sih?”
Ia merasakan si kunti bergerak mendekat dan kini tubuhnya condong ke bangku Esha. Ia berbicara pelan, di dekat telinga Esha.
“Tujuan Mas kemana?”
Esha sudah kehabisan akal untuk menyahuti penumpang tidak waras.
“Mas…Ez…Ez..Eza…”
Perempuan itu memicingkan mata, berusaha membaca identitas Esha yang tertempel di dashboard.
“Ezaliel.”
“Esalial?”
“Ezaliel.”
“Yasailal?”
“Ezaliel. E-Z-A-L-I-E-L!”
“Iya, Mas Yesailil mau kemana?”
Esha pasrah.
“Saya mau pulang, Mbak.”
“Habis pulang mau kemana?”
“Ya-pulang. Sudah Mbak, saya cuma mau pulang.”
“Iya, setelah pulang Mas mau kemana?”
“Setelah pulang, saya mau berangkat kerja besok pagi!”
“Setelah berangkat besok Mas mau kemana?”
“Astaga, ya tergantung penumpang saya mau kemana! Tugas saya cuma mengantar!”
“Setelah Mas mengantar penumpang, Mas mau kemana?”
“Saya mau pulang lagi!”
“Setelah pulang lagi, Mas mau kemana?”
“Mbak mau mempermainkan saya, apa???”
“Nggak Mas, tolong jawab pertanyaan saya, saya bingung.”
“Lho, justru saya yang bingung!”
“Jawab saja Mas, saya mohon.”
Esha mendesah.
“Saya mau pulang ke rumah orang tua di Sumatra. Pada saat itu, saya berharap udah punya banyak uang untuk membelikan mereka tanah sendiri dan…mungkin kami sekeluarga akan hidup dari bumi, seperti yang sudah dilakukan leluhur kita dulu.”
“Setelah itu Mas tidak akan kemana-mana lagi?”
“Aduh, saya betul-betul tidak tahu, Mbak. Tolong jangan tanya lagi.”
Esha merasa dadanya begitu berat. Mendadak kata ‘pulang’ yang begitu sering ia dengar dalam taksinya menjadi duri kaktus yang menyakitkan dan ingin dia buang.
Kapan terakhir kali ia merasa seperti ini? Ah iya.
Hari yang tidak beruntung itu. Hari ketika ia di-drop out dari fakultas hukum. Tidak ada biaya. Tidak mau pulang. Ternyata calon penegak keadilan bangsa Indonesia harus berada di sini. Entah mau kemana. Tergantung penumpang.
Esha menghentikan taksinya di depan sebuah pusat perbelanjaan kecil agak dekil, tepat di depan plang gelap bertuliskan Kafe Ceria-menempel tepat di samping arena permainan anak.
“Sudah sampai, Mbak.”
“Nama saya Avi.”
Ia membuka pintu taksi lebar-lebar dan mengeluarkan kakinya, tapi tidak bergerak kemanapun. Avi hanya menatap nanar pada kesunyian pusat perbelanjaan yang sudah tutup. Tangan kurus itu merogoh sekotak rokok mild menthol lalu memantik satu.
Esha mencibir dalam hati.
Rokok mild. Mau ngerokok tapi takut mati.
Entah kenapa Esha membiarkan saja mereka berdua tenggelam dalam kota yang dingin. Angin malam merasuki diri tiap orang yang menolaknya.
Esha melihat Avi berjalan menjauh, menghampiri sebuah pusat permainan yang telah tutup. Bom-Bom Car diikat. Kuda-kuda komidi putar ditutup terpal. Dari jendela, ia dapat melihat pendar lampu mesin permainan yang tetap menyala meski lampu ruangan sudah mati. Mesin ring basket berkelip-kelip. Kotak permainan jepit boneka menyala terang, membuat tumpukan boneka beruang biru dan merah jambu tampak jelas. Untuk sesaat hanya ada Avi, Esha, taksi, dan lampu yang berkelap-kelip. Esha baru tahu Jakarta bisa sesepi ini. Semuanya terasa tidak berarti.
Lewat tengah malam.
“Mas, ke Apartemen Permai.”
25 menit perjalanan berlalu dan mereka sampai. Avi mengeluarkan begitu banyak lembaran uang kertas seratusribuan. Jauh di atas angka yang tertera pada argometer.
“In-ini...”
“Mas ini sopir yang payah. Nggak sabaran, suka nyelonong lampu merah mentang-mentang jalan sudah sepi. Saya nggak bayar Mas untuk jasa taksinya. Tapi ini semua karena Mas udah temenin saya ngobrol.”
“Oh, ya…makasih banyak, Mbak Avi.”
Avi membuka pintu taksi dan berdiri. Ia ragu sejenak untuk berjalan dan mendadak ia melongok ke dalam taksi.
“Tapi Mas belum sampai kan?”
BLAM.
drapdrapdrapdrapdrapdrap.