drapdrapdrapdrapdrapdrap.
BLAM.
“Jalan Pak,”
Taksi kuning yang cerah menembus kegelapan malam, berjalan meninggalkan pelataran mall yang penuh kelap-kelip. Aspal basah berkilat dingin, lampu jalan pasti menggigil karena harus tegak di tengah kota malam yang baru disiram hujan mendadak. Hujan di tengah musim kemarau.
“Mau kemana, Mbak?”
Penumpang itu diam saja. Esha melirik kaca spion. Perempuan muda dengan rambut hitam lurus sepunggung dan memakai terusan broken white selutut bersandar di kursi dengan wajah menghadap kaca. Ia begitu tersedot entah oleh apa yang ia lihat di luar, karena jelas-jelas pertanyaan Esha tidak digubris.
“Maaf Mbak…mau kemana?”
Perempuan muda menoleh, jantung Esha mencelos sesaat. Hampir jam sebelas malam, ia berhadapan dengan sebuah wajah pucat dengan bercak-bercak hitam pemulas mata membelah, membentuk jejak air mata. Mata bengkak dan merah. Dibandingkan wajah itu, rasanya para personel KISS jadi imut-imut banget. Astaganaga, semoga Esha tidak sedang menjadi bagian dari kisah horror nyata tentang supir taksi berpenumpang gaib.
Si kuntilanak menatap kaca depan dengan mata kosong. Oh, bukan. Mata itu tidak kosong, mata itu berisi sesuatu-tapi apapun yang ia lihat, tidak ada di jalanan depan sana. Satu detik yang panjang, Esha merasa sedang terjatuh ke dalam bola mata hitam tanpa dasar.
“Nggak tau, Pak.”
Akhirnya ia menatap Esha, benar-benar menatap Esha.
“Loh, Mbak mau kemana?”
“Saya nggak tahu, Pak.”
Lampu merah menyala. Esha memanfaatkan kesempatan ini untuk memutar badannya 180 derajat. Setelah hari yang panjang dan melelahkan, setelah berkilometer-kilometer jalanan macet dan pengendara motor yang buas, setelah sekian masalah yang telah terjadi hari ini…Esha benar-benar tidak punya tenaga dan kesabaran lagi untuk melayani penumpang yang kurang waras.
“MBAK INI MAU KEMANA???”
Kuntilanak broken white itu kelihatan sama lelahnya dengan Esha.
“Pak…eh, Mas…jalan aja terus…”
“Iya, jalan kemana? Jalan lurus sampe bensin saya abis?”
“Jalan, Mas.”
“Loh gimana ini…”
“Jalan Mas, Jalan!”
“Jalan gimanaa?”
TIIIN…TIIN…TIIN
“Lampunya udah ijo, Mas…”
Sambil tancap gas, Esha menghela sebuah nafas yang sangat berat, dalam, dan panjang.
“Mbak rumahnya di daerah mana?”
“Saya nggak mau pulang, Mas.”
“Apa saya kembali saja ke mall tadi?”
“Nggak.”
Sebuah getar pedih terdengar dalam suaranya.
“Terus Mbak mau kemana?”
“Saya nggak tahu.”
“Astagaaa…Mbaak! Aduhaduhaduuuuh biyuuung…apa mbak nggak kasihan sama saya? Aduh gimana ini…”
Si kunti jelas tidak tampak tergerak sedikit pun melihat kekalutan Esha.
“Mas…terakhir kali tertawa…sebabnya apa?”
“Ini apa hubungannya? Saya harus setir kemana ini???”
“Terserah, jawab dulu pertanyaan saya.”
Nafas Esha terasa makin suntuk.
“Tadi siang, waktu saya lihat anak kecil di restoran.”
“Masa gitu aja ketawa?”
“Bukan gitu Mbak…saya dipanggil sama orangtua anak itu. Mereka sekeluarga minta dijemput dari restoran itu. Waktu nunggu, saya lihat kejadian lucu.”
“Mas kalo cerita nggak jelas, nggak lengkap lagi. Nggak ihklas ya, Mas? Ayo, cerita dong ke saya semuanya, dari awal sampai habis.”
“Mbak, saya ini bukan pendongeng-“
“Tenang Mas, saya pasti bayar. Saya bahkan lebih rela bayar mas atas satu cerita bagus dari pada perjalanan malam ini.”
Esha mendelik. Tapi ia memutuskan untuk melanjutkan ceritanya. Apapun yang bisa membuat ia mendepak kuntilanak ini dari dalam taksinya.
“Tapi Mbak janji dulu ya?”
“Apa?”
“Habis ini Mbak turun dari taksi saya?”
“Iya.”
“Ceritanya begini, Mbak…si ayah meletakkan uang tip di atas meja dan mereka sekeluarga sudah bersiap pergi. Anaknya, umur sekitar 5 tahun, tiba-tiba menjerit: ‘Papa, uangnya ketinggalan!’”
Kuntilanak terikikik kecil. Kali ini Esha bener-bener ketakutan.
“U-udah ya, Mbak? Saya menepi di depan yaa?”
“Eh, nggak mau!”
“MBAK KAN UDAH JANJIII!!”
“Apa tugas seorang supir taksi? Mengantar penumpangnya bukan?”
“Tapi kan dari tadi-“
“Antar saya ke tempat itu.”
“Kemana?”
“Ke restaurant tempat anak kecil itu.”
Esha sudah tidak mau berdebat. Masih untung tempat itu nggak terlalu jauh dari jalanan ini. Gimana kalau restaurant itu ada di Depok atau Cibubur? Mati kan, Esha?
Esha menggerundel kesal.
“Masa orang naik taksi nggak punya tujuan sih?”
Ia merasakan si kunti bergerak mendekat dan kini tubuhnya condong ke bangku Esha. Ia berbicara pelan, di dekat telinga Esha.
“Tujuan Mas kemana?”
Esha sudah kehabisan akal untuk menyahuti penumpang tidak waras.
“Mas…Ez…Ez..Eza…”
Perempuan itu memicingkan mata, berusaha membaca identitas Esha yang tertempel di dashboard.
“Ezaliel.”
“Esalial?”
“Ezaliel.”
“Yasailal?”
“Ezaliel. E-Z-A-L-I-E-L!”
“Iya, Mas Yesailil mau kemana?”
Esha pasrah.
“Saya mau pulang, Mbak.”
“Habis pulang mau kemana?”
“Ya-pulang. Sudah Mbak, saya cuma mau pulang.”
“Iya, setelah pulang Mas mau kemana?”
“Setelah pulang, saya mau berangkat kerja besok pagi!”
“Setelah berangkat besok Mas mau kemana?”
“Astaga, ya tergantung penumpang saya mau kemana! Tugas saya cuma mengantar!”
“Setelah Mas mengantar penumpang, Mas mau kemana?”
“Saya mau pulang lagi!”
“Setelah pulang lagi, Mas mau kemana?”
“Mbak mau mempermainkan saya, apa???”
“Nggak Mas, tolong jawab pertanyaan saya, saya bingung.”
“Lho, justru saya yang bingung!”
“Jawab saja Mas, saya mohon.”
Esha mendesah.
“Saya mau pulang ke rumah orang tua di Sumatra. Pada saat itu, saya berharap udah punya banyak uang untuk membelikan mereka tanah sendiri dan…mungkin kami sekeluarga akan hidup dari bumi, seperti yang sudah dilakukan leluhur kita dulu.”
“Setelah itu Mas tidak akan kemana-mana lagi?”
“Aduh, saya betul-betul tidak tahu, Mbak. Tolong jangan tanya lagi.”
Esha merasa dadanya begitu berat. Mendadak kata ‘pulang’ yang begitu sering ia dengar dalam taksinya menjadi duri kaktus yang menyakitkan dan ingin dia buang.
Kapan terakhir kali ia merasa seperti ini? Ah iya.
Hari yang tidak beruntung itu. Hari ketika ia di-drop out dari fakultas hukum. Tidak ada biaya. Tidak mau pulang. Ternyata calon penegak keadilan bangsa Indonesia harus berada di sini. Entah mau kemana. Tergantung penumpang.
Esha menghentikan taksinya di depan sebuah pusat perbelanjaan kecil agak dekil, tepat di depan plang gelap bertuliskan Kafe Ceria-menempel tepat di samping arena permainan anak.
“Sudah sampai, Mbak.”
“Nama saya Avi.”
Ia membuka pintu taksi lebar-lebar dan mengeluarkan kakinya, tapi tidak bergerak kemanapun. Avi hanya menatap nanar pada kesunyian pusat perbelanjaan yang sudah tutup. Tangan kurus itu merogoh sekotak rokok mild menthol lalu memantik satu.
Esha mencibir dalam hati.
Rokok mild. Mau ngerokok tapi takut mati.
Entah kenapa Esha membiarkan saja mereka berdua tenggelam dalam kota yang dingin. Angin malam merasuki diri tiap orang yang menolaknya.
Esha melihat Avi berjalan menjauh, menghampiri sebuah pusat permainan yang telah tutup. Bom-Bom Car diikat. Kuda-kuda komidi putar ditutup terpal. Dari jendela, ia dapat melihat pendar lampu mesin permainan yang tetap menyala meski lampu ruangan sudah mati. Mesin ring basket berkelip-kelip. Kotak permainan jepit boneka menyala terang, membuat tumpukan boneka beruang biru dan merah jambu tampak jelas. Untuk sesaat hanya ada Avi, Esha, taksi, dan lampu yang berkelap-kelip. Esha baru tahu Jakarta bisa sesepi ini. Semuanya terasa tidak berarti.
Lewat tengah malam.
“Mas, ke Apartemen Permai.”
25 menit perjalanan berlalu dan mereka sampai. Avi mengeluarkan begitu banyak lembaran uang kertas seratusribuan. Jauh di atas angka yang tertera pada argometer.
“In-ini...”
“Mas ini sopir yang payah. Nggak sabaran, suka nyelonong lampu merah mentang-mentang jalan sudah sepi. Saya nggak bayar Mas untuk jasa taksinya. Tapi ini semua karena Mas udah temenin saya ngobrol.”
“Oh, ya…makasih banyak, Mbak Avi.”
Avi membuka pintu taksi dan berdiri. Ia ragu sejenak untuk berjalan dan mendadak ia melongok ke dalam taksi.
“Tapi Mas belum sampai kan?”
BLAM.
drapdrapdrapdrapdrapdrap.
BAB 1
LATAR BELAKANG
Jalanan sering bersikap tidak ramah bagi mereka yang terburu-buru. Siang itu saya hampir terlambat untuk sebuah janji yang sangat penting, dan celakanya jalanan macet berat. Mobil saya merayap pelan tanpa harapan. Jam pulang kantor? Bukan. Jam berangkat kantor? Bukan. Jam makan siang? Juga bukan.
Lama setelahnya saya baru menyadari apa yang terjadi. Sepasang mobil yang mengalami kecelakaan terparkir ringsek di pinggir jalan-bukan di jalanan tempat mobil saya merayap, melainkan di jalur sebelah yang berlawanan arah.
Memang bukan berita baru. Kecelakaan mobil, demonstrasi, dan kawan-kawannya selalu membuat macet, di semua jalur. Jalur pertama: terhalang, jalur kedua: kepingin nonton. Begitulah kita. Kita ingin menjadi yang pertama untuk tahu. Setelah itu? Kita ingin bercerita. Bayangkan apa yang akan saya bicarakan setelah sampai nanti dan bertemu dengan teman saya “Eh, tau nggak, tadi gue liat apa di jalan…”
Sebenarnya rasa penasaran alami ini tidak selalu hal yang buruk. Saat saya mengerjakan paper ini, ledakan bom terjadi di Hotel JW Marriot dan Ritz-Carlton. TV dan radio ramai oleh informasi simpang-siur, tidak ada yang jelas. Ahkirnya, siapa yang menyediakan gambar-gambar eksklusif peristiwa ini? Para karyawan Mega Kuningan yang baru tiba di tempat kerjanya dan segera mendekati lokasi setelah mendengar suara ledakan.
Semester lalu, dosen saya bercerita kalau manusia tidak dirancang untuk menyimpan rahasia. Jika kita memegang sebuah informasi berharga, bohong besar kalau bibir kita tidak pernah ‘gatal’ ingin berkicau. Menyimpan rahasia dalam waktu lama (katanya) bisa membuat kita tersiksa. Kalau menurut Dan Gillmor, “we are a society of voyeur and exhibitionist.” Ah, jangan-jangan itu salah satu faktor yang membuat popularitas Citizen Journalism makin meroket hari-hari ini.
Apa itu Citizen Journalism? Saya akan menceritakan kembali apa yang dikatakan oleh Wikipedia. Pada dasarnya, Citizen Journalism (atau sering juga disebut Street/Participatory/Public/Grassroots Journalism/Jurnalisme Partisipasi) adalah sebuah konsep dimana anggota masyarakat memainkan peran aktif dalam mengumpulkan, menganalisa dan menyebarkan informasi atau berita. Public atau citizen journalism juga dikaitkan dengan hyperlocalism karena komitmennya yang luar biasa pada isu-isu lokal, yang ‘kecil-kecil’ (untuk ukuran media besar), sehingga luput dari liputan media mapan.
Dari definisi ini saja, kita dapat mengetahui bahwa siapapun bisa menjadi jurnalis dalam konteks Citizen Journalism. Belakangan jumlah dan perkembangan jurnalisme partisipasi memang meroket-menurut saya, ada dua faktor yang memicunya:
- Perkembangan teknologi informasi
Hampir setiap orang sudah memiliki peralatan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang citizen journalist berkat kemajuan teknologi yang ramah untuk konsumen tapi juga memiliki fitur canggih ala profesional-biasanya disebut alat ‘prosumer’ alias professional for consumer. Contohnya: kamera digital pocket. Bahkan, kalaupun gambar Anda nggak bagus-bagus amat, jika memang memiliki news value yang dahsyat, stasiun TV tidak akan keberatan untuk membelinya. Contoh: video amatir seputar bencana alam yang biasa diputar televisi, yang biasanya blur/pecah dan goyang. Faktor besar lain yang memainkan peranan adalah jaringan internet yang sudah berjasa menyediakan ‘ruang’ untuk mempublikasi hasil karya para citizen journalist tanpa birokrasi yang rumit. Umumnya, yang kita butuhkan hanyalah seutas kabel telepon, modem atau wi-fi gratisan. Sistem ini membuat siapapun bisa ‘memotong kompas’ menuju publikasi secara global-tanpa perlu memikirkan gatekeepers, editor, dan kawan-kawannya karena tiap orang adalah editor bagi tulisannya sendiri. - Anjloknya kredibilitas televisi sebagai sumber berita
Penelitian oleh Roper Organization di tahun 60-an pernah menunjukkan bahwa televisi makin menjadi sumber informasi yang paling dipercaya audience, menggeser koran dan radio yang sudah lebih dulu menguasai pasar. Pemicunya adalah karena kredibilitas kinerja TV dalam mengekspos penembakan Presiden Kennedy, Perang Vietnam, perjuangan Martin Luther King, dan pendaratan pertama manusia di bulan (yang kini malah diragukan kebenarannya). Tapi kini, situasinya sudah berbeda. Muncul julukan ‘pack journalism’ alias tabloidisasi media. Istilah ini merujuk pada fenomena dimana televisi, bahkan stasiun berita, lebih menjual sensasi daripada esensi. Perhatikan berita siang di TV-TV nasional. Semua didramatisir, membuat saya merasa geli. Sebelum masuk ke VT berita utama, diputar semacam ‘video clip’ cuplikan gambar berita lengkap dengan ‘theme song’ yang mendukung atau berita kriminal dengan sound effect semacam film horror Suzanna. Semua pernak-pernik itu justru membuat TV kehilangan kredibilitasnya, karena saluran berita bertingkah norak seperti opera sabun. Seringkali, mungkin karena ‘dikejar setoran’ pemasukan, TV menyajikan berita yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk headline-nya, tapi asal laris. Seperti ekspos pemberitaan seputar Manohara Odelia Pinot (saya tidak habis pikir bagaimana konsumsi acara gosip seperti ini bisa menggeser pemberitaan seputar persiapan Pemilu) atau kebakaran di Soto Lamongan (klip diiringi lagu sedih diputar berulang-ulang). Bukannya memperjelas, tidak jarang televisi justru menimbulkan polemik atau prasangka.
Nah, dari mana fenomena ini berawal? Bibit-bibit semangat Citizen Journalism sudah bisa dilacak dari ketika Gutenberg menemukan mesin cetak pada tahun 1946 dan membuat informasi bisa diakses dengan lebih mudah untuk semua ‘rakyat jelata.’ Sebelumnya, membaca buku adalah barang yang super mewah, karena buku masih sedikit jumlahnya dan ditulis tangan. Pada saat Gutenberg mencetak Alkitab untuk semua orang, terjadi revolusi dimana firman Tuhan dibebaskan dari kungkungan doktrin penguasa informasi. Semangat yang sama masih terjadi dalam dunia Citizen Journalism masa kini. Alkisah, pada pemilihan presiden AS tahun 2004 (George W. Bush vs John Kerry) masyarakat jenuh dengan pemberitaan media yang dikuasai oleh partai-jika di sini, mungkin kasusnya seperti Metro TV dengan Partai Golkar. Pada saat itulah masyarakat malah mengandalkan blog untuk mendapatkan berita dengan perspektif yang berbeda. Peristiwa ini ikut meledakkan popularitas Citizen Journalism. Pada tahun yang sama, sebuah web bernama AssociatedContent.com diluncurkan, dan ia mengklaim dirinya sebagai “People’s Media Company” karena menjadi media pertama yang memberi bayaran pada pemakainya yang berhasil menerbitkan artikel berkualitas. AssociatedContent lalu disusul oleh WorldVoiceNews.com, situs sejenis yang mengusung moto “Honest and Unfiltered” pada tahun 2008.
Di Indonesia sendiri, Citizen Journalism belum terlalu lama eksis. Pelopornya adalah detik.com, yang terasa ‘indie’ karena memberi alternatif konsumsi berita pada saat pasar Indonesia sudah begitu nyaman oleh media mapan. Tapi jika dipikir-pikir detik.com juga bukan murni citizen journalist. Media yang lebih condong ke Citizen Journalism adalah blog. Bisa dibilang, keberadaan blog di Indonesia saat ini sudah sangat banyak, salah satu blog terbaik adalah perspektif.net (masuk dalam daftar 10 blog terbaik versi Majalah Tempo). Tidak hanya berupa blog, penyebaran foto dan video secara amatir juga sudah menjadi hal yang jamak di sini-foto kecelakaan di jalan tol pagi ini bisa di-upload dalam waktu setengah jam oleh saksi mata yang melintas ke dalam akun Facebooknya. Media besar nasional nampaknya juga mulai menyadari kekuatan Citizen Journalism, terbukti dengan seringnya courtesy video amatir dimasukkan dalam berita dan bahkan Metro TV memiliki acara sendiri yang khusus menayangkan video hasil Citizen Journalism, berjudul i-Witness. Fakta bahwa media mapan Indonesia begitu terbuka pada Citizen Journalism menjadi hal yang unik, mengingat di negara bebas seperti AS saja, Citizen Journalism masih dipandang sebelah mata oleh media besarnya.
Apa saja yang termasuk Citizen Journalism? Jawaban dari pertanyaan ini bisa sangat luas; dari komentar user yang di-post pada berita/blog, video dari handycam pribadi, berita lokal oleh media komunitas, situs web berita independen, situs partisipatoris murni (seperti AssociatedContent atau OhMyNews-nya Korea), mailing list, email berantai, sampai situs penyiaran seperti YouTube dan jejaring sosial seperti Facebook. Untuk mengenal lebih jauh mengenai Citizen Journalism yang katanya sedang menjadi ‘the hottest topic’ di dunia jurnalistik, mari kita lihat ‘senjata’ yang biasa dipakai oleh ‘orang biasa’ untuk menyebarkan berita:
- Mailing list dan forum
- Blog
- Wikipedia
- SMS
- Ponsel (yang dilengkapi dengan kamera/video.perekam suara), PDA, Blackberry, dan jaringan 3G
- Layanan internet broadcasting
- Alat elektronik pribadi-seperti handycam, kamera pocket, komputer/laptop
PERMASALAHAN
“Freedom of the press limited to those who own one.”
- AJ Liebling-
Seseorang berjalan melintasi Monas yang ramai oleh wisatawan. Mendadak sebuah kereta wisata terguling dan puluhan anak kecil luka-luka. Orang itu mengambil kamera ponsel dan merekam, lalu ia meng-upload video itu ke blogspotnya. Dalam waktu singkat semua orang sibuk membahas mengenai keamanan fasilitas wisata di blognya.
Semudah itu.
Orang-orang yang tadinya dikenal oleh media sebagai ‘sasaran tembak’ (menurut teori Hypodermic Needle) atau sang konsumen, kini berubah menjadi produsen. Citizen Journalism membawa angin revolusi-mereka yang tadinya tidak didengarkan, kini dianugerahi ‘suara’. Dari anak kecil (tahun 2003, seorang anak menangkap penculiknya berkat kamera ponsel), perempuan tertindas (blog wanita Iran), rakyat negara otoriter (blog rakyat RRC), sampai si perekam Monas di ilustrasi tadi-bisa saja ia tipe karyawan culun yang sering tidak dianggap dalam rapat-rapat. Intinya, semua kelompok masyarakat yang tadinya tidak punya corong untuk mengungkapkan suaranya, yang terlewatkan oleh media besar, entah karena memang sengaja (media seringkali dikontrol pemerintah, pengiklan, dan investor) atau tidak, kini bisa didengar.
Jurnalisme bukanlah lagi ranah yang dikuasai oleh para jurnalis-dan jurnalis juga bukan lagi sekumpulan manusia misterius yang bekerja di balik meja; jurnalis itu bisa jadi Anda dan saya. Citizen Journalism telah membawa perubahan-masalahnya, perubahan tidak selalu diterima dengan mulus. Media besar cenderung bersikap skeptis, pemerintah cenderung bersikap represif. Beberapa kritik yang diterima Citizen Journalism:
- Masalah profesionalisme – apakah kaum awam bisa menyusun berita dengan benar, mengingat mereka tidak memiliki latar belakang dan pengalaman jurnalistik?
- Masalah etika – para citizen journalist dinilai tidak memahami kode etik jurnalistik
- Masalah objektivitas – para citizen journalist dinilai tidak bisa bersikap objektif karena pasti akan memakai sudut pandang pribadinya dalam mengolah informasi
BAB 3
PEMBAHASAN
Pemilihan presiden di Iran tidak berakhir baik-baik. Mousavi merasa dicurangi, kemenangan Mahmoud Ahmadinejad ditentang. Gelombang demonstrasi mahasiswa mulai memanasi kotaTeheran, bentrok dengan aparat tak terhindarkan, korban tewas berjatuhan. Semua wartawan asing yang tadinya diterima dengan tangan terbuka oleh pemerintah untuk meliput ‘demokratisasi di Iran’ mendadak diusir keluar negara. Lalu lintas SMS diblokir, internet sangat lamban, saluran ponsel hanya siang hari. Facebook, YouTube, dan Yahoo! Messenger diblokir. Dua puluh enam wartawan dan blogger Iran dijebloskan ke penjara.
Di tengah situasi itu, perhatian dunia tersedot oleh rekaman video ponsel berdurasi 40 detik mengenai kematian seorang gadis berusia 27 tahun bernama Neda Agha-Soltan akibat terjangan peluru di tempat demonstrasi, yang lolos lewat situs jejaring sosial Twitter. Para citizen journalist dari dalam Iran pun meluncurkan banyak berita lain ke dunia luar, mayoritas lewat Twitter. Salah satu yang paling terkenal adalah Persiankiwi, yang setelah beberapa lama menuliskan berita tiba-tiba menghilang, diduga diciduk oleh pemerintah. Peristiwa ini membuka mata dunia pada situasi sebenarnya di Iran dan fakta bahwa kaum perempuan ikut terlibat aktif dalam aksi protes di Iran (setelah kita tahu bahwa kaum perempuan di Iran tidak mendapat perlakuan yang setara dengan laki-laki).
Mengapa Citizen Journalism seakan menjadi ‘juruselamat’ di tengah situasi-situasi represif, seperti di Iran, RRC, dan Saudi Arabia? Menurut Charles Berger dalam Uncertainty Reduction Theory-nya; “High level of uncertainty causes increases in information-seeking behavior.” Situasi yang tidak menentu justru akan meningkatkan rasa penasaran kita-dan jangan mengira negara otoriter saja yang bersikap represif pada para citizen journalist-pemerintah Singapura dan Perancis juga dikenal suka ‘mencampuri’ bidang ini.
Bahkan, di negara bebas seperti Amerika, Citizen Journalism kerap berbenturan dengan media besar. Salah satu kasus yang mencolok adalah Kevin Sites, seorang wartawan CNN yang dipaksa oleh kantornya untuk berhenti menulis di blog pribadinya. Beberapa kasus lain juga terjadi di negara yang sama. Anehnya, ada semacam sikap dualisme oleh media besar dan pemerintah terhadap Citizen Journalism-sikap ‘benci tapi butuh.’ Contohnya:
- Februari 2003, setelah pesawat ulang-alik Colombia meledak, NASA mengumumkan ke masyarakat, mencari siapapun yang memiliki foto terkait peristiwa itu untuk membantu investigasi. Ratusan orang merespons.
- Seminggu sebelum perang Irak 2003, stasiun TV BBC meminta foto-foto seputar konflik itu pada pemirsanya. BBC mendapat foto-foto esay yang bagus dari ratusan penontonnya.
Seharusnya, melihat antusiasme masyarakat dalam mengakses informasi dari para citizen journalists, media mapan sadar untuk mengurangi ‘gengsinya.’ Mereka sering menaruh curiga pada kredibilitas Citizen Journalism, mengecap mereka sebagai tidak akurat-bahkan hoax. Memang, kemungkinan itu ada pada dunia Citizen Journalism, tapi Dan Gillmor dalam bukunya “We The Media” mengatakan bahwa internet bersifat ‘self-correcting,’ atau ‘self-editing’ dalam hal fakta maupun moral yang terkandung dalam sebuah informasi di internet. Audience kita bukan lagi audience pasif yang kekurangan informasi seperti pada jaman propaganda media ala Hypodermic Needle Theory. Ini adalah era masyarakat informasi, yang sudah ‘diramalkan’ kedatangannya oleh Alvin Toffler sejak lama. Masyarakat informasi adalah bagian dari ‘gelombang ketiga’ (gelombang pertamanya adalah masyarakat agrikultur sedangkan gelombang kedua adalah masyarakat industri) dimana masyarakat sangat bergantung pada informasi dan memiliki kebutuhan akan informasi-tentu saja dengan komputer & internet sebagai media andalan.
Gillmor mencontohkan, saat ia menulis di blog, pembacanya biasa akan mengomentari kesalahan yang ada pada tulisannya, atau mengemukakan pendapatnya yang berlawanan. Demikian juga dalam hal Wikipedia-semua orang yang melihat kesalahan dalam sebuah artikel dapat turut mengedit sampai akhirnya Wikipedia kini dikenal sebagai sumber informasi online yang terpercaya dan netral-bahkan pada saat ia membahas topik kontroversial. Semua orang memiliki informasinya; mereka bisa saling mengoreksi dan menilai sendiri, mana informasi yang benar dan mana yang melantur. Kelebihan dari Citizen Journalism mengatasi risiko yang dikandungnya.
Di sisi lain, media mapan juga bukan jaminan kejujuran. Banyak foto yang bisa dimanipulasi lewat program Photoshop di media cetak (seperti kasus foto Senator John Kerry dengan Jane Fonda yang membuat mereka seakan berdemonstrasi bersama menentang perang Vietnam), juga kasus serupa di media elektronik seperti saat reporter Metro TV salah menginformasikan bahwa Gunung Merapi telah meletus. Media besar tidak lolos dari kekurangan: media elektronik terkena tabloidisasi, media cetak membutuhkan waktu (lebih) lama untuk menyajikan informasi, media online memang sangat instan-tapi juga sering ‘kurang bergizi’ dalam hal konten.
Sesungguhnya, semua ‘ribut-ribut’ seputar Citizen Journalism ini tidak akan membuat heran Marshall McLuhan, meski yang bersangkutan telah meninggal pada tahun 1980. Sejak tahun 1960-an ia sudah membagi sejarah peradaban manusia ke dalam 4 tahap:
- Tribal Age
Zaman sebelum ada tulisan, sehingga semua komunikasi dilakukan secara lisan dan indra pendengaran menjadi dominan. Disebut juga ‘dunia yang akustik.’ - Literacy Age
Alfabet ditemukan, sehingga tulisan berkembangdan indra penglihatan mulai memainkan peranan. - Print Age
Mesin cetak Gutenberg ditemukan. Komunikasi pada masa ini menjadi lebih leluasa dan menyebar cepat, indra penglihatan menjadi dominan - Electronic Age
Inilah masa dimana kita hidup sekarang. Aneka teknologi komunikasi ditemukan (dari telegraf sampai internet) sehingga dunia ini menjadi sebuah ‘global village’ lagi-sebuah desa global dimana manusia bebas berkomunikasi seakan tidak ada jarak geografis. ‘Desa akustik’ di masa Tribal seakan muncul lagi karena indra pendengaran mulai berperan dan ‘keributan’ di satu tempat dengan cepat bisa diketahui di tempat lain.
Kemajuan teknologi (komunikasi) telah mengubah ruang sosial kita. Kita semua adalah bagian dari dunia yang terus bergerak dengan dinamis, dan pilihan untuk menjadi audience yang aktif ada di tangan kita. Mengapa media besar terus mengkritisi mutu Citizen Journalism, padahal yang namanya berita itu dibuat untuk masyarakat, bukan untuk media?
BAB 4
KESIMPULAN
Kemarin, kelas kami mengadakan kunjungan ke Kedutaan Republik Zimbabwe untuk mengenal lebih jauh kebudayaan mereka. Staf yang mendampingi kami menutup pertemuan dengan sebuah pesan yang menarik untuk dipikirkan. Menurutnya, penduduk Asia (dalam hal ini Indonesia) dan Afrika (dalam hal ini Zimbabwe) biasa mengenal satu sama lain dari perspektif ‘asing’, alias media barat seperti CNN, ABC, BBC, dan media-media online. Itu sebabnya kita sering memberi citra buruk satu sama lain, karena yang biasa diekspos oleh media barat hanyalah berita buruk tentang negara berkembang. Maka, menurutnya, kita perlu mengisi jurang informasi di antara kedua benua. Tercetus dalam benak saya, tugas itu dapat diemban dengan baik oleh para citizen journalist.
Kenapa tidak? Citizen Journalism telah berhasil ‘memerdekakan’ orang-orang yang sebelumnya tidak dapat mengekspresikan suaranya, karena terdiskriminasi oleh media mapan. Berkat Citizen Journalism, sumber informasi tidak lagi terpusat di media-media besar. Kita sudah menyinggung contoh kasus di Irak, Amerika, Indonesia, dsb. Rakyat tertindas bisa menyuarakan kebenarannya menembus blokade negara, korban bencana bisa membuka mata dunia akan kondisi lingkungannya, wanita yang terkungkung dalam budaya patrilineal keras bisa membuat nasibnya diketahui dunia. Citizen Journalism telah membentuk sejarah, dan sejarah itu bukan lagi HIS-story. Kisah itu adalah kisah kita semua, tanpa ada yang terlewat atau dilewatkan. Tanpa ada yang tertutup atau ditutupi.
Paradigma konfilk sosial memandang dunia ini sebagai dua kutub magnet yang saling melawan; mungkin memang Citizen Journalism bisa dipandang dari perspektif itu. Ia lahir sebagai‘buah’ dari pertentangan antara si kapitalis dan si proletar, antara pihak yang menguasai fasilitas dan rakyat yang tidak punya ‘hak milik.’ Kini, dengan bangkitnya teknologi untuk semua orang, mendadak si proletar memiliki kekuasaan atas alat-alat yang diperlukan untuk berkomunikasi secara luas.
Masih menurut Dan Gillmor, teknologi memang membuat rahasia makin sulit untuk dipendam. Maka sebaiknya media besar merangkul Citizen Journalism, bukannya bersikap antipati. Mari optimis dengan tidak melihat Citizen Journalism sebagai ancaman atas sumber berita ‘bermutu,’ tapi lebih ke jalan menuju jurnalisme yang lebih baik. Citizen Journalism dan media mapan sesungguhnya bisa saling melengkapi, bukannya saling menggantikan. Kenyataannya, kini seringkali audience punya lebih banyak informasi daripada pihak media-alangkah baiknya jika ia dilibatkan dalam proses pembuatan berita untuk jurnalisme yang lebih berkualitas. Ratu Rania dari Kerajaan Jordania saja sudah memiliki akun YouTube yang ia pakai untuk berdialog dengan penduduk dunia. Bukannya tidak mungkin siaran berita masa depan akan menjadi lebih mirip dialog daripada seminar atau kuliah, dimana produsen dan konsumen terus bertukar posisi. Segala sesuatu itu mungkin, apalagi mengingat masyarakat yang kelak akan menjadi penentu media adalah mereka yang usianya berada di bawah kita: para digital natives, yang tidak mengenal dunia tanpa akses internet 24 jam. Pastinya kita akan melihat perkembangan yang lebih banyak lagi di waktu mendatang-atau lebih baik lagi, kita akan terlibat di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Asnawi, Sahlan. 2002. Teori Motivasi dalam Pendekatan Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Studia Press
Panuju, Redi. 1997. Sistem Komunikasi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gillmor, Dan. 2004. We The Media: Grassroot Journalism, by the People, for the People. New York: O’Reilly Media.
Griffin, EM. 1997. A First Look at Communication Theory. New York:The McGraw-Hill Companies, Inc.
Gonick, Larry. 2007. Kartun (Non) Komunikasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
http://daisyawondatu.wordpress.com/2006/10/11/citizen-journalism/
Rahman, Mustafa ABD. Minggu, 5 Juli 2009. “Geliat Kebebasan Generasi Ketiga Iran.” Jakarta: Kompas.
Alatas, Alireza. 29 Juni – 5 Juli 2009. “Menggugat Kedigdayaan Sang Iman.” Jakarta: Tempo.
Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation.
“Setiap kebudayaan pasti mengalami perubahan atau perkembangan, hanya kebudayaan yang mati saja yang bersifat statis.”
-Soerjono Soekanto-
Sekitar 40 tahun lalu, sosiolog besar Edward T. Hall pernah mengemukakan bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Komunikasi menjadi sebuah kunci agar suatu kebudayaan tidak punah dan di sisi lain kebudayaan adalah ‘ibu’ yang melahirkan komunikasi.
Komunikasi dalam rangka menjaga kebudayaan harus didukung oleh daya cipta bangsanya. Jika Indonesia ingin berkembang budayanya, maka kita sebagai warganya harus menjaga daya cipta yang kita miliki. Tetapi jika melihat tren sinetron epigon dan budaya pop di negeri ini, barangkali yang terlintas di benak kita: apa iya, Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki daya cipta?
Ya, sesungguhnya kita adalah bangsa yang memiliki daya cipta-mari sedikit menengok ke belakang, maka kita akan menemukan sebuah bangsa yang kreatif, hidup, penuh daya cipta, dan tidak ragu untuk menerima perubahan secara cerdas. Ada suatu masa ketika kita tidak menerima budaya luar mentah-mentah; bangsa ini pernah mengolah budaya Arab dan Melayu menjadi Tari Saman, budaya Jawa dan Cina menjadi Lontong Cap Go Meh, budaya Portugis dan Betawi menjadi Orkes Tanjidor, dan masih banyak lagi. Dari contoh di atas kita melihat bangsa yang berubah, beradaptasi, dan hidup. Kita adalah bangsa yang kreatif; Anda dan saya dan satu hal yang tidak akan berubah dari dulu sampai sekarang adalah: perubahan. Perubahan masuk ke negeri kita dengan deras, dari masa ketika Borobudur baru dibangun sampai detik ini. Maka, belajar dari masa lalu, bangsa ini pun harus berani untuk berubah-berubah dengan cerdas, tanpa meninggalkan akar budaya Indonesia yang luhur. Intinya? Kita harus memiliki daya cipta, tidak menelan bulat-bulat semua hal yang ‘disuapkan’ ke mulut kita. Kemampuan mengkombinasikan budaya luar dan budaya lokal akan membuat kita semua menjadi pelopor untuk budaya khas Indonesia. Anda dan saya, kita semua bisa menjadi agen perubahan.
Tapi kenyataannya di negara kita Indonesia, kemampuan daya cipta makin merosot. Fenomena yang menjamur belakangan, kita menerima begitu saja semua unsur budaya luar yang masuk. Seakan kita ini hanya kertas polos yang siap dibentuk nasibnya oleh orang lain. Bangsa kita dicemooh sebagai bangsa peniru oleh-ironisnya-anak mudanya sendiri.
Berangkat dari keprihatinan tersebut, tim SeratusDuaBelas bertekad mengangkat kekayaan budaya Indonesia dan pentingnya daya cipta dalam budaya, dengan format sebuah seminar artistik.
Definisi seminar sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: “Pertemuan atau persidangan untuk membahas suatu masalah di bawah pimpinan ahli (guru besar, pakar)” sedangkan menurut The Free Dictionary:“A meeting for an exchange of ideas; a conference.”
Oleh karena itu dalam seminar yang digarap secara artistik ini kami menampilkan narasumber-narasumber yang dikenal ahli dalam bidangnya, memiliki prestasi sampai ke luar negeri tapi juga tetap mengangkat akar Indonesianya kemanapun mereka pergi. Mereka juga orang-orang yang ahli dalam berkomunikasi, dimana peserta akan dikenalkan pada kekayaan budaya Indonesia dan bagaimana kita dapat memiliki daya cipta untuk mewujudkan budaya khas Indonesia.
Konsep seminar artistik itu sendiri maksudnya adalah sebuah seminar yang diselingi dengan penampilan seni budaya dari berbagai propinsi dan digarap secara terintegrasi menjadi sebuah kesatuan acara yang kuat dan konsisten-dari segi tata panggung, pembahasan materi, sampai hal mendetail seperti isi goody bag dan menu makanan.
Jual Diri Lewat Baju
SBY = biru, JK= kuning, Megawati = merah.
Jaman-jaman kebosanan agaknya sudah berlalu; politisi belakangan ini telah menunjukkan kesadaran yang menyenangkan akan pentingnya fashion-tanpa harus terjebak oleh warna partai.
Dalam dunia ilmu komunikasi, konon bahasa nonverbal menguasai 60% dari keseluruhan komunikasi. Apa itu nonverbal? Hal-hal kecil yang sering tidak kita sadari kehadirannya, tapi tetap meninggalkan efek: senyum, cara duduk, dan juga…barang. Barang? Ya, ada sebuah cabang dalam komunikasi nonverbal yang disebut komunikasi objek-komunikasi melalui objek tertentu, semisal pakaian.
Ah, apalah artinya itu. Ternyata artinya besar, karena kita sebagai manusia, lebih percaya pada hal-hal yang tidak terucapkan. Misalnya saja saat seseorang berkata bahwa dia sedang berduka tetapi bibirnya terus tersenyum. Isyarat mana yang lebih kita percaya?
Demikian juga dengan pakaian. Sebagai salah satu instrumen komunikasi nonverbal, ia mampu mengkomunikasikan hal-hal yang tadinya abstrak (pemikiran, cara pandang, atau pendapat pemakainya) menjadi konkrit dan kasat mata. Pakaian memiliki kekuatan untuk mengkomunikasikan citra yang ingin ditimbulkan pemakainya dalam waktu sekejap-coba bayangkan orang yang memakai setelan Chanel untuk wawancara kerja.
Nah, saya yakin seiring dengan makin populernya ilmu komunikasi, para politisi kita sudah paham betul dengan besarnya konsekuensi sehelai baju. Apalagi pada masa-masa PEMILU seperti sekarang-saatnya para politisi dilihat dan saling lihat-lihatan. Rasanya bukan kebetulan kalau JK memilih batik merah dalam pertemuan dengan PDIP kemarin malam. Barangkali bukan kebetulan juga kalau Bu Mega memakai terusan etnik warna emas/batik nuansa coklat tiap kali ‘makan bersama’ dengan Sri Sultan . Saya pribadi sih merasa pakaian politisi makin menarik untuk diamati akhir-akhir ini.
Kalau begitu…kira-kira apa ya, yang dikomunikasikan oleh pakaian-pakaian para politisi di TPS kemarin?
Fcourtesy: okezone.com
Megawati and the gank kompak memakai warna-warna basic, dan yang mengejutkan…tidak merah! Baju ini sangat sempurna untuk Megawati yang memiliki jenis tubuh buah pir-ditandai dengan pinggul yang lebar. Jika dulu ia masih sering memakai setelah dua potong dengan warna bawahan lebih terang, kini pakaiannya tampak dipikirkan lebih matang (entah oleh dirinya sendiri atau oleh stafnya). Garis baby doll di atas perut dan bawahan warna gelap menyamarkan bentuk pinggul yang lebar dengan sangat apik. Puan Maharani juga patut mendapat acungan jempol tangan dan kaki karena celana high-waistednya yang super chic dan dinamis, menggambarkan kaderisasi darah muda di PDIP, tapi juga tidak kekurangan nasionalisme melalui atasan batik modern. Perpaduan yang keren.
Menurut saya, Megawati memang harus mengurangi pemakaian warna merah pada dirinya. Iya, saya tahu itu ‘kewajiban’ partai, tetapi merah adalah warna yang bersifat panas, dan ia agak berisiko. Perhatikan saja foto Megawati saat mengenakan baju full merah dengan lipstick merah langganannya itu-kesan yang ditimbulkan: galak dan meriah. Belakangan di kampanye-kampanye PDIP, ia mulai lebih banyak menggunakan hitam, warna yang masih serasi dengan lambang partainya. Memang agak terlalu panas untuk kampanye di ruangan terbuka, tapi kesan yang ditimbulkan lebih enak.
Lalu, kembali ke TPS. Apakah kiranya yang membuat Megawati melepas atribut merahnya di hari pencontrengan? Apakah ini pertanda bahwa PDIP siap berkoalisi karena ia sudah mendapat firasat akan kekalahan partainya? Terbukti, PDIP dikalahkan oleh rival beratnya, Demokrat, bahkan di TPS tempat Megawati mencontreng. Terbukti pula, hari-hari ini PDIP sibuk sekali melakukan pertemuan ini-itu dengan berbagai pihak. Warna putih melambangkan kemurnian dan sikap netral-sehingga baju yang dikenakan Megawati ini membangkitkan citra rileks dan tidak terlalu party-oriented. Sepertinya memang PDIP sudah berpikir soal koalisi dari jauh-jauh hari.
Mari kita tinggalkan Megawati dengan blus-blusnya dan beralih ke ‘lawan mainnya.’ Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY pastilah presiden paling fashionable yang pernah dimiliki Indonesia-tepatnya, ia dan istrinya. Sebenarnya saya agak geli membayangkan lemari pakaian mereka berdua yang pasti isinya penuh dengan baju kembaran. Tapi usaha ‘rempong’ untuk tampil kompak ini patut diacungi jempol-pakaian mereka yang selalu serasi seperti menggambarkan kesolidan pemerintahan SBY, seakan baju mereka berkata “Tenang saja rakyatku, semua baik-baik saja, buktinya kami masih sempat janjian pake baju kembaran.”
Meski begitu, tanpa Bu Ani sekalipun, Presiden SBY tetap tergolong modis untuk ukuran om-om seusianya. Masih ingat baju koko SBY yang penjualannya di Tanah Abang nyaris menyaingi baju koko Uje? Presiden SBY memiliki bentuk tubuh ‘bulky’-semua serba besar, seperti porsi tubuh kaukasia. Maka, baju-baju dengan motif/aksen di dada yang sering ia pakai merupakan pilihan yang sangat tepat, karena mengurangi kesan lebar pada torsonya. Misalnya saja baju yang ia pakai saat memilih kemarin:
Fcourtesy: detiknews.com
Nah, ini baru contoh garis vertikal yang merampingkan-tapi sayangnya, ke TPS memakai baju warna partai itu…benar-benar ketinggalan jaman! Kesan yang ditimbulkan: konservatif, kaku, tapi juga anggun dan elegan. Pakaian yang mencerminkan posisi SBY yang memang di atas angin dan sifatnya yang memang kalem. Di sisi lain, peletakkan pena warna emas di kantung mencerminkan sikap siap sedia, seakan mau mengatakan bahwa pemakainya adalah orang yang penuh persiapan untuk situasi tak terduga (kehabisan bolpen di TPS, misalnya).
F courtesy: beritasore.com
JK sukses mengikuti tren dengan tidak memakai baju bernuansa partai ke TPS-tapi rupanya sang istri berpikiran lain. Jilbab yang terlalu serasi warnanya malah mengurangi kharisma Ibu Mufidah. Dia tampak berusaha tampil terlalu formal, sedang sang suami malah santai dalam batik lengan pendek. Pilihan batik JK sangat tepat dengan profil tubuhnya yang kecil, karena seringkali kemeja lengan panjang membuat kesan ia seakan ‘tenggelam’ dalam bajunya. Dengan pakaian ini, JK tampak seperti pejabat berwibawa yang sedang menghabiskan long weekendnya dalam suasana santai. Ia tampak bersahabat dan ramah.
F courtesy: media indonesia
Barangkali Wiranto sadar akan citra hitamnya di masa lalu, dan lantas memilih kemeja putih untuk ke TPS. Atau barangkali ia janjian dengan Megawati? Yang jelas pakaian ini sukses menimbulkan kesan bersih dan ramah pada dirinya. Pakaian yang kaku terkanji ini juga menyiratkan kedisiplinan dan sifat perfeksionis pemiliknya. Ditambah lagi, senyum sekarang lebih sering menghiasi mukanya ketimbang jaman orde baru dahulu…citra baru berkat konsultan baru, mungkin?
F courtesy: vivanews.com dan detiknews.com
Hari-hari ini, Prabowo sering sekali memakai batik nuansa merah-putih, termasuk saat ke TPS. Padahal ia sudah sangat cocok dengan baju safari lengan pendek yang jadi trademark-nya selama masa kampanye. Batik lengan panjang ini tampak terlalu ‘berat’ untuk dikenakan ke TPS-apalagi kelihatannya Prabowo kepanasan di TPS. Motif-motif batiknya malah membuat kesan penuh dan membuat tubuhnya tampak makin besar.Meski begitu, harus diakui batik ini sebenarnya bagus sekali. Barangkali Prabowo ingin menyatakan sikapnya yang nasionalis, tetap cinta Indonesia meski sempat kabur ke luar negeri pasca reformasi. Bahasa nonverbalnya menyatakan sikap ambisius dan keyakinan yang besar pada apa yang ia kerjakan. Ia tampak seperti murid ranking satu di sekolah kita dulu-sempurna tanpa cacat cela, selalu punya jawaban untuk setiap situasi, dan sedikit arogan.
F courtesy: kompas.com
Apa yang mau dikomunikasikan Sri Sultan lewat batiknya yang ‘ramai’ ini? Sepertinya ia mau mengatakan sikapnya yang bisa masuk partai manapun, bisa koalisi dengan siapapun, tidak jelas dan membingungkan, seperti motif batiknya.
F courtesy: detik.com
Soetrisno Bachir menempuh jalan aman dengan batik santai. Nggak ada yang salah sih, tetapi membosankan. Warna yang dipilih pun tampak kusam, membuat SB jadi dekil. Sepertinya ia tidak menyiapkan pakaian tertentu untuk ke TPS. Sang istri sebaliknya tampak sempurna-tidak berlebihan, tidak kelewat cuek, tampak berkelas dari ujung kaki ke ujung kepala. Sangat tidak kompak.
Sebuah studi yang dikutip dalam buku Pengantar Ilmu Komunikasi-nya Deddy Mulyana menyatakan bahwa orang cenderung meniru perilaku orang lain yang pakaiannya mencerminkan status lebih tinggi. Konon, sang peneliti menguji orang-orang yang melanggar lampu lalu lintas dengan menyeberang jalan sembarangan. Ternyata, saat seseorang berseragam militer atau berpakaian necis melakukan hal itu, orang-orang di belakangnya kontan mengikuti. Jika memang begitu aturan mainnya, mari kita bertanya pada diri sendiri: siapa yang mau kita ikuti? Ijinkan saya menutup tulisan ini dengan sebuah peribahasa Latin:
“Uestis Uirum Reddit.” - Pakaian menjadikan orang.