Movie review score
5






“Setiap kebudayaan pasti mengalami perubahan atau perkembangan, hanya kebudayaan yang mati saja yang bersifat statis.”


-Soerjono Soekanto-


Sekitar 40 tahun lalu, sosiolog besar Edward T. Hall pernah mengemukakan bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Komunikasi menjadi sebuah kunci agar suatu kebudayaan tidak punah dan di sisi lain kebudayaan adalah ‘ibu’ yang melahirkan komunikasi.


Komunikasi dalam rangka menjaga kebudayaan harus didukung oleh daya cipta bangsanya. Jika Indonesia ingin berkembang budayanya, maka kita sebagai warganya harus menjaga daya cipta yang kita miliki. Tetapi jika melihat tren sinetron epigon dan budaya pop di negeri ini, barangkali yang terlintas di benak kita: apa iya, Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki daya cipta?


Ya, sesungguhnya kita adalah bangsa yang memiliki daya cipta-mari sedikit menengok ke belakang, maka kita akan menemukan sebuah bangsa yang kreatif, hidup, penuh daya cipta, dan tidak ragu untuk menerima perubahan secara cerdas. Ada suatu masa ketika kita tidak menerima budaya luar mentah-mentah; bangsa ini pernah mengolah budaya Arab dan Melayu menjadi Tari Saman, budaya Jawa dan Cina menjadi Lontong Cap Go Meh, budaya Portugis dan Betawi menjadi Orkes Tanjidor, dan masih banyak lagi. Dari contoh di atas kita melihat bangsa yang berubah, beradaptasi, dan hidup. Kita adalah bangsa yang kreatif; Anda dan saya dan satu hal yang tidak akan berubah dari dulu sampai sekarang adalah: perubahan. Perubahan masuk ke negeri kita dengan deras, dari masa ketika Borobudur baru dibangun sampai detik ini. Maka, belajar dari masa lalu, bangsa ini pun harus berani untuk berubah-berubah dengan cerdas, tanpa meninggalkan akar budaya Indonesia yang luhur. Intinya? Kita harus memiliki daya cipta, tidak menelan bulat-bulat semua hal yang ‘disuapkan’ ke mulut kita. Kemampuan mengkombinasikan budaya luar dan budaya lokal akan membuat kita semua menjadi pelopor untuk budaya khas Indonesia. Anda dan saya, kita semua bisa menjadi agen perubahan.




Tapi kenyataannya di negara kita Indonesia, kemampuan daya cipta makin merosot. Fenomena yang menjamur belakangan, kita menerima begitu saja semua unsur budaya luar yang masuk. Seakan kita ini hanya kertas polos yang siap dibentuk nasibnya oleh orang lain. Bangsa kita dicemooh sebagai bangsa peniru oleh-ironisnya-anak mudanya sendiri.


Berangkat dari keprihatinan tersebut, tim SeratusDuaBelas bertekad mengangkat kekayaan budaya Indonesia dan pentingnya daya cipta dalam budaya, dengan format sebuah seminar artistik.


Definisi seminar sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: “Pertemuan atau persidangan untuk membahas suatu masalah di bawah pimpinan ahli (guru besar, pakar)” sedangkan menurut The Free Dictionary:“A meeting for an exchange of ideas; a conference.”


Oleh karena itu dalam seminar yang digarap secara artistik ini kami menampilkan narasumber-narasumber yang dikenal ahli dalam bidangnya, memiliki prestasi sampai ke luar negeri tapi juga tetap mengangkat akar Indonesianya kemanapun mereka pergi. Mereka juga orang-orang yang ahli dalam berkomunikasi, dimana peserta akan dikenalkan pada kekayaan budaya Indonesia dan bagaimana kita dapat memiliki daya cipta untuk mewujudkan budaya khas Indonesia.


Konsep seminar artistik itu sendiri maksudnya adalah sebuah seminar yang diselingi dengan penampilan seni budaya dari berbagai propinsi dan digarap secara terintegrasi menjadi sebuah kesatuan acara yang kuat dan konsisten-dari segi tata panggung, pembahasan materi, sampai hal mendetail seperti isi goody bag dan menu makanan.

Leave a Reply