Apa sih istimewanya kelinci?
Saya mau cerita mengenai seekor kelinci biasa, yang tidak istimewa. Bukan jenis ras tertentu, hanya keturunan dari kelinci yang dijual murah di pasar tradisional Bogor. Tidak bersuara, juga tidak memiliki kemampuan khusus seperti anjing. Nama kelinci itu Josh, dan dia adalah sahabat keluarga kami. Oh iya, foto si sebelah ini adalah 'foto pernikahan' orangtua Josh, Sentaro dan Pank-Pank.
Memang entah kenapa, dari dulu sejarah keluarga kami selalu diwarnai oleh hewan peliharaan yang tidak bersuara: kura-kura, ikan dan kelinci. Tapi justru karena mereka tidak bersuara, sepertinya saya diajar untuk mendengarkan.
Terutama dengan seekor kelinci bernama Josh itu.
Untuk menceritakan kisah Josh, saya harus kembali ke delapan tahun lalu, ketika seorang anak SMP menghabiskan hari-harinya di RS Carolus, berulangkali demamnya kambuh disertai ruam-ruam merah tanpa sebab yang jelas. Kakak dari anak perempuan itu datang membawa segepok komik baru untuknya-SENTARO.
Komik itu bercerita mengenai kelinci yang namanya…ya,Sentaro. Komik itu menghibur anak perempuan yang sakit di hari-hari opnamenya. Kakaknya yang setia menjagai dan ikut tidur di rumah sakit juga ikut suka sama Sentaro. Lalu, mereka sekeluarga berjanji, jika anak perempuannya pulih mereka akan merayakannya dengan jalan-jalan ke Bogor.
Beberapa waktu berlalu, dan mereka benar-benar ke Bogor. Mereka pulang membawa sepasang kelinci, jantan dan betina. Kelinci yang jantan dinamai Sentaro karena belang di tubuhnya persis Sentaro di komik. Kelinci betina dinamai Beruko berkat inspirasi yang jatuh dari langit.
Beberapa hari berlalu, Beruko jatuh sakit dan mati.
Sentaro hidup menemani keluarga itu bertahun-tahun. Jasanya yang terbesar: gigih meneror manja pada kakak perempuan yang (tadinya) benci pada hewan. Ia juga tabah menghadapi hari-hari banjir ala Kelapa Gading yang dahsyat. Ditinggal mengungsi juga pernah. Saking bahagianya saat keluarga itu kembali, Sentaro berlari mengitari mereka sampai malam, seakan tak percaya bisa ketemu lagi.
Sentaro memang tinggal di loteng. Saat anggota keluarga itu bangun di pagi hari dan mengeluarkan suara, otomatis Sentaro akan turun dari tangga dan ikutan sibuk di bawah. Saat semua orang pergi tidur, ia naik lagi ke lotengnya yang gelap.
Satu hari, Sentaro lolos dari pagar rumah. Pencarian selama dua hari tidak membuahkan hasil. Pembantu keluarga itu menemukan keanehan perilaku pada karyawan-karyawan apotik dekat rumah. Mendadak mereka hobi memetiki daun. Investigasi berlanjut. Kakak-beradik menanyai tante2 pemilik apotik. Ia tampak gugup tapi nggak ngaku. Satu malam kakak perempuan melabrak karyawan mencurigakan itu dan…Sentaro pun kembali ke rumah.
Setelah ia dewasa nyaris tua, Sentaro dikawinkan dengan kelinci betina bernama Pank-Pank; milik teman sekolahnya kakak perempuan. Lalu lahirlah Josh beserta lima bayi kelinci lain. Saat usianya baru sebulan, wabah diare menerpa. Seperti biasa, mereka langsung ngibrit ke dokter hewan yang untungnya berpraktik nggak jauh dari rumah mereka. Lima kelinci itu mati.
Pank-Pank melahirkan lagi tidak lama kemudian, kali ini ada 7 bayi. Tapi mereka semua tidak bertahan lama karena lahir prematur. Pank-Pank juga mati kerena pendarahan.
Tinggallah Sentaro dan Josh, bapak-anak yang kadang mesra kadang berantem sampe lompat tinggi banget. Mereka ikut pindah rumah bersama keluarga itu dan ikut pindah lagi ke rumah lama yang sudah direnovasi.
Satu hari rumah mati lampu. Lilin-lilin dipasang. Kedua kelinci itu dengan konyolnya mendekat penasaran dan mengendus lilin itu. KUMIS MEREKA TERBAKAR!!! Dengan panik mereka lari sambil menepuki kumisnya. Untuk waktu yang lama, kumis mereka jadi panjang-pendek dan keriting.
Tahun-tahun berganti, satu hari Sentaro hilang tanpa jejak. Kali ini beneran. Hilang aja, seakan ia memang tidak pernah ada. Dan memang ia tidak pernah ditemukan lagi. Kakak-beradik sedih berhari-hari.
Josh, anak Sentaro menemani keluarga itu selama 6,5 tahun. Josh sangat berbeda dari Sentaro yang kalem. Meski mewarisi fisik ayahnya, Josh memiliki sifat ibunya. Kelinci preman.
Josh nggak suka dielus-terkadang ia menggigit balik jika jengkel. Josh suka membawa pergi makanannya. Josh galak dan judes. Josh beberapa kali menggigit jari orang asing sampai berdarah. Tapi, jika didiamkan, Josh mendekat sendiri. Saat natal, Josh selalu suka melempar-lempar hiasan natal di kaki pohon sampai berantakan.
Tapi Josh bisa manis juga. Saat ditinggal menginap ke luar kota untuk pertama kalinya, Josh dititipkan pada teman ibunya. Tiap hari selama 3 hari, orang itu datang ke rumah untuk memberi makan Josh. Ternyata Josh tidak mau makan dari orang asing. Tiga hari full ia mogok makan dan baru mau makan saat melihat keluarga itu pulang.
Terkadang Josh bikin malu. Ia punya hobi menyelip ke bawah pagar lalu kabur ke rumah Pak Is, tetangga mereka. Pak Is yang pensiunan sering harus memulangkan Josh. Keluarga itu jadi tidak enak. Tapi Josh selalu kembali. Tahu-tahu saja ia tiduran santai ala Cleopatra di keset pintu masuk atau asyik menggaruki kayu-kayu di halaman Pak Is. Josh tampak sekaan lebih betah main di sana.
Suatu hari setelah natal sebelum tahun baru, Josh tidak mau makan. Ada luka di mulutnya. Ia sakit. Josh ternyata berkelahi dengan tikus. Tapi di hari-hari libur itu, dokter hewan tutup. Dengan cemas keluarga itu menanti 2 Januari tiba.
Kembali ke dokter hewan langganan, kondisi Josh sudah parah. Dia nggak bisa berdiri tegak. Ia disuntik. Tidak membaik. Besoknya disuntik lagi plus diinfus. Malamnya Josh kejang-kejang. Ia tampak sengsara, saat itu anak perempuan yang nggak rela jika Josh mati, malah berdoa agar Josh dibebaskan dari penderitaannya.
Dan doa itu dikabulkan.
Iya, itu deh cerita soal sahabat keluarga saya, Josh, Sentaro, dan Pank-Pank. Rupanya, kata dokter hewan, Josh yang sudah tua tidak kuat menerima pengobatan itu. Sampai sekarang melihat kotak makan dan kandang yang kosong itu, saya masih teringat pada mantan penghuninya. Meski saya dan kakak menghabiskan banyak air mata (dan tisu) pada hari kematian Josh, kami tidak kapok memelihara kelinci lagi. Kehilangan hewan peliharaan itu sedih sekali, tapi kami memiliki 6,5 tahun yang menyenangkan bersama mereka-dan fakta itu nggak boleh dilupakan saat kita merasakan sakitnya ditinggal pergi.
Satu hal lagi. Ini adalah amarah yang saya rasakan ketika membereskan kandang, obat, dan kotak makan Josh, satu hari setelah kematiannya. Selama kami bolak-balik ke dokter, kami bertemu orang-orang yang memandang remeh pada seekor kelinci biasa. Mereka sendiri menggendong ajing-anjing mahal ala Paris Hilton, tentunya dengan perhiasan, dan memandang sebelah mata pada Josh. Mereka meremehkan Josh-padahal saya nggak akan pernah mau menukar Josh dengan hewan ras kelas tinggi, yang harganya entah berapa juta itu.
Mungkin semua biaya yang kami keluarkan untuk pengobatan seekor kelinci yang bisa dibeli kodian di pinggiran jalan memang nggak seimbang kalo dihitung secara logis. But, trust me, it was worth it. Satu hal yang perlu sekali untuk diingat saat kita mengundang seekor hewan masuk ke dalam hidup kita: mereka adalah sabahat, bukan aksesoris.
aku juga punya kelinci, namanya Jabrik. menurutku dia berkarakter banget. gak kayak kelinci2 "lemah" lainnya. dia pintar, potty trained, bisa diajak main.. pinter banget pokoknya...
just blogwalking, sis..
visit me.. http://stilllivingonearth.blogspot.com/