Menjual Manusia
Serba-Serbi Iklan Politik di Indonesia
oleh Olivia Elena Hakim
Harga BBM diturunkan. Diturunkan. Diturunkan. Saya Prabowo Subianto, mari kita dukung petani lokal. Sembilan-sembilan-sembilan-sembilan-pilih sembilan. Megawati Soekarnoputri kembali membawa kontrak politik. Hari-hari ini masyarakat dihujani oleh iklan politik-baik melalui media cetak maupun elektronik. Informatif atau justru menyesatkan?
PEMILU legislatif tinggal seminggu lagi. Sebagai pemilih pemula sekaligus mahasiswa komunikasi, saya menemukan bahwa manusia ternyata merupakan komoditas yang paling menarik untuk dipasarkan. Memakai iklan dan kemasan tertentu, politisi menjadi produk massal yang bersaing memperebutkan konsumen.
Media Massa: Informan yang Efektif?
Kalau mengikuti sejarah, sebenarnya cara yang lebih populer digunakan oleh para politisi dalam berkampanye adalah dengan pendekatan langsung di lapangan. Mereka berorasi di podium, melakukan kunjungan ke tempat-tempat warga dan terlibat dalam kegiatan amal. Perkembangan media massa yang cukup massif di tahun 90-an memberi dampak besar pada metode kampanye politisi; kini kita ketahui, iklan-iklan politik tumbuh subur bagaikan penyakit di musim pancaroba. Tahun 1998 saja, tercatat lebih dari $467 juta dikucurkan untuk pembiayaan iklan politik di Amerika Serikat-masuk dalam 30 besar pemasang iklan tahun itu. Negara adikuasa ini memang sudah mengenal keterlibatan agen periklanan secara profesional dalam dunia politik sejak 1950-an.
Apa sih, kegunaan iklan politik dengan media spot ads di televisi seperti yang banyak kita lihat sekarang? Mari kita perhatikan. Dalam sebuah spot ads standar berdurasi 15-60 detik, identitas kandidat mendapat penekanan, citra beliau didongkrak, dan citra lawan diinjak. Seringkali hubungan baik kandidat dengan komunitasnya juga ditonjolkan dan yang cukup penting adalah mengkomunikasikan pendapat kandidat mengenai sebuah isu (seperti SBY dengan harga BBM-nya atau Jusuf Kalla dengan pembangunan). Dalam waktu singkat, semua informasi ini bisa diperoleh dengan jelas, tanpa harus berpanas-panas menonton orasi lapangan atau terkantuk-kantuk memelototi siaran berita. Spot ads ini juga menjadi media yang sangat efektif untuk kandidat-kandidat ‘kelas berat’ yaitu para capres. Tidak seperti caleg atau calon anggota DPD, mereka harus dikenal dan menjangkau pemilih dari Sabang sampai Merauke. Hanya televisilah yang mampu mencapai manusia sebanyak itu dalam waktu yang bersamaan. Televisi juga dinilai sebagai media paling efektif untuk merespons kampanye negatif dari para pesaing.
Sisi Lain
Memang dibandingkan Amerika, iklan politik profesional via media massa di negara kita masih menjadi fenomena yang baru. Tapi efeknya luar biasa. Jika di Amerika iklan-iklan itu hanya berperan seperti suplemen tambahan (karena konvensi partai, dialog langsung dan acara debat menjadi bahan pertimbangan yang lebih besar di sana) di Indonesia iklan-iklan ini memiliki dampak lebih drastis. Bisa dibilang inilah menu utama yang dikonsumsi mentah-mentah oleh para calon pemilih kita. Berdasarkan survei nasional putaran IV Reform Institute, iklan televisi menjadi faktor eksternal teratas yang memengaruhi pilihan pemilih. Dari 2.520 responden yang disurvei, 35,11% di antaranya menyatakan iklan televisi sangat memengaruhi pilihan mereka untuk memilih salah satu partai. Hal itu diungkapkan peneliti Reform Institute Kholid Novianto, di Kantor Reform Institute, Jakarta Selatan. Setelah iklan, ternyata baliho, spanduk, stiker, dan bendera partai/caleg juga akan memengaruhi pilihan masyarakat (22,06%). “Iklan koran dan majalah pengaruhnya relatif kecil, hanya 2,88% responden yang menyatakan terpengaruh media itu. Sedangkan faktor anjuran keluarga cukup besar yaitu 34,19 persen,” jelas Kholid.
Tetapi menurut Arbi Sanit, pakar politik Universitas Indonesia, fenomena sejumlah tokoh politik yang mengiklankan dirinya di media massa justru merupakan bentuk kecurangan kepada masyarakat. Sebab, lewat iklan itu masyarakat tak dapat menilai kapasitas seseorang. Ia menilai, di negara kita iklan membuat orang dapat berubah citra dalam waktu singkat. Seharusnya, orang itu juga harus membuktikan kemampuannya.
Bisa jadi pendapatnya ini dipicu oleh fenomena Partai Gerindra. Ia berumur paling belia dibandingkan partai lain, namun ‘berkat’ iklan politik yang jor-joran, popularitas partai berlambang garuda ini meroket secara instan, bersamaan dengan bosnya, Prabowo Subianto. Berdasarkan survei Center for Strategic International Studies (CSIS) tentang Perilaku Pemilih Menuju Pemilu 2009, Iklan Partai Gerindra dinilai paling sering dilihat dan disukai masyarakat. Survei tersebut menunjukkan 64,1% pernah melihat iklan Partai Gerindra dan 36% menyukainya.
Mari kita beralih ke polling yang dilakukan lembaga lain, yaitu lembaga riset Taylor Nelson Sofress (TNS). Hasil polling terhadap 2.000 orang yang diambil secara random di 200 kecamatan di 30 provinsi bersama dalam dua tahap, Juli dan September, memberi kejutan pada sejumlah pengamat politik. Hasilnya menyebutkan, dalam lima besarnya, 34% responden pada bulan September memilih Susilo Bambang Yudhoyono, 22% memilih Megawati Soekarnoputri, 15% Prabowo Subianto, serta 4% masing-masing untuk Sultan Hamengku Buwono X dan Wiranto. Untuk lima besar di partai, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mendapat 25%, Partai Demokrat 24%, Partai Gerindra 13%, Partai Golkar 11%, dan 5% untuk Partai Keadilan Sejahtera. Sekali lagi, perlu kita perhatikan fakta bahwa Gerindra adalah partai yang baru berusia satu tahun.
Menurut Taufik Baharudin, pengajar ilmu manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga Presiden Direktur National Leadership Center (NLC), hasil polling tersebut belum menunjukkan arah Pemilu 2009. Namun, ia mengaku terkejut dengan munculnya nama seperti Prabowo Subianto bersama Partai Gerindra yang diminati responden. Padahal, partai tersebut masih baru dan pertama kali bertanding pada pemilu tahun ini.
Memang seharusnya kita ingat, yang namanya iklan ya tetap iklan. Sesuatu yang sangat bisa untuk diatur-bentuk publisitas paling aman asal punya dana. Pebisnis Amerika Roberto Guiza mengatakan, “We don't know how to sell products based on performance. Everything we sell, we sell on image.”
Kualitas Iklan Politik
Pasti kita semua pernah melihatnya sendiri. Iklan-iklan politik telah memasuki ruang-ruang kehidupan kita sejak awal tahun ini: dari ruang publik (stiker di angkot, reklame di jalan, dll) sampai ruang privat kita (televisi di rumah, radio di mobil, dll). Beberapa menggelikan dan membuat kita merasa terganggu, tapi tidak terpungkiri memang ada iklan-iklan yang bagus.
Jika pada masa lalu iklan politik terasa seperti propaganda pemerintah yang langsung membuat kita antipati, kini iklan-iklan itu tersaji dengan lebih apik, profesional, rapi dan tidak ‘kasar.’ Simak iklan-iklan Gerindra dan Hanura-bintang baru di pasaran politik kita. Asas dasar periklanan komersial terpenuhi: AIDA (attention, interest, desire, dan kemungkinan besar action). Iklan tersebut berhasil menarik perhatian kita dengan mengangkat isu yang relevan, membuat hati kita tersentuh, dan...menurut teorinya sih, pada akhirnya akan menggerakkan kita ke dalam aksi nyata. Mencontreng mereka di TPS tanggal 9 April nanti.
Jelas sekali kalau parpol-parpol berdana besar ini didukung advertising agency dan konsultan komunikasi yang kuat. Tapi bagaimana nasib para caleg, single fighter kita? Promosi manusia di tingkat ini justru lebih seru-dengan dana yang tidak terlalu besar dan dukungan yang tidak seprofesional parpol nasional, mereka berjuang semampunya menarik hati pemilih. Biasanya para caleg ini bermain di kelas percetakan: kaus, stiker, spanduk, dan kroco-kroconya. Seringnya iklan-iklan mereka dengan jujur menguak keluguan dan sifat manipulatif; pada akhirnya mayoritas jadi sampah, korban vandalism, atau bahan tertawaan. Para caleg kita rupanya minder tapi pede. Saking mindernya, foto tokoh lain sering dicatut di spanduk dengan ukuran lebih besar dari fotonya sendiri (dari Barrack Obama, David Beckham, ‘papanya Cynthia Lamusu,’ foto ayah-ibunya, sampai…hewan koleksi Ragunan seperti harimau dan monyet). Lebih jauh lagi, foto mereka sendiri juga diutak-atik dahsyat dengan photoshop. Sering saya terkaget-kaget melihat sosok asli seorang caleg dibandingkan dengan gambar spanduknya. Kelihatannya muda, padahal sudah tua. Mukanya jadi putih, padahal aslinya hitam. Caleg pria pipinya seperti pakai blush on. Ah, pemalu sekali mereka…tapi juga cukup pede untuk mengajukan diri menjadi public officer.
Banyak juga yang memakai strategi soft selling; tidak terang-terangan jual diri, tapi membuat semcam iklan layanan sosial. Dari yang mengajak tersenyum lebar pakai contoh foto gorila sampai meningkatkan harkat diri bangsa dengan cara…makan pakai tangan kanan. Jelas dia nggak bakal dipilih oleh WNI-WNI kidal.
Sepertinya memang benar apa kata Leo Burnett, tokoh periklanan Amerika: If you don't get noticed, you don't have anything. Yang penting menarik perhatian dulu. Benar kan, makin kita benci suatu iklan, makin kita ingat iklan tersebut? Maka sebaiknya kita jangan terlalu sering mengolok-olok kepolosan seorang caleg, bisa-bisa…kita malah memilih dia. Kualat.
Uang Berbicara Berkampanye
Di luar segala pro-kontra seputar iklan politik, ada satu fakta yang tidak terelakkan: uang. Biaya pemasangan spot ads di televisi sangat mahal, apalagi pada saat prime time. Pada skala yang lebih lokal (dan lebih cekak), para caleg pun berjuang untuk memasang materi-materi kampanye mereka di printed media (reklame, kaus, spanduk, dan…angkot. Sebulan Rp 80.000, ngomong-ngomong). Biaya yang menjulang tinggi ini tentunya memengaruhi budget politk tiap kandidat. Mereka harus menggalang dana secara berkelanjutan jika ingin karir politiknya tetap sehat walafiat. Kritikus mengatakan bahwa faktor ‘u’ ini telah mencemari demokrasi karena kandidat terpilih memiliki ‘utang nyawa’ pada kontributor mereka yang kaya-raya. Ada juga komentar agar pemilik media menyediakan spot mereka secara gratis untuk kepentingan ini, yang langsung ditolak mentah-mentah oleh jaringan televisi dan radio.
Biaya pemasangan iklan bagi partai-partai besar di tingkat nasional sepertinya memang tidak menjadi masalah. Harian Kompas 8 Maret 2009 lalu memaparkan daftar dana kampanye para parpol. Angka yang keluar cukup fantastis-seperti yang sudah ditebak, Gerindra memiliki dana terbesar 15,694 miliar disusul Demokrat 7,027 miliar dan Hanura 5,002 miliar.
Tapi, tentunya tidak semua parpol dan caleg seberuntung trio itu. Ada parpol-parpol cilik yang dana kampanyenya dibawah 4 juta, bahkan rekor dipecahkan oleh Partai Karya Perjuangan dengan dana satu juta perak saja. Masalahnya, seberapapun dana yang tersedia, mereka semua memiliki kebutuhan yang sama untuk berkampanye. Maka, tidak heran kalau belakangan kita mendengar berita soal caleg-caleg yang menempuh ‘jalur alternatif’ demi mendapat uang untuk kampanye: dari menjarah kebun sawit, mencuri motor, sampai jualan ganja. Ck,ck,ck…kreatif.
Pro-kontra seputar iklan politik mungkin masih akan bergulir sepanjang tahun ini, apalagi menjelang pemilu capres. Pasti bakal makin banyak tontonan seru untuk pengamat komunikasi politik. Sebuah iklan, entah itu menjual produk, jasa, atau manusia, memang bisa menyesatkan sekaligus informatif pada saat yang sama. Iklan memang bukanlah ilmu pasti-melainkan sebuah seni. Seni persuasi. Maka, sebelum Anda bingung menentukan pilihan, ijinkan saya membantu dengan sebuah tips dari pepatah Afrika kuno: A good thing sells itself.
Olivia Elena Hakim
2006100384
MC10-11B
Accredited by BAN PT: SK No. 007/BAN-PT/AK-V/S1/V/2002 An accredited centre of the London Chamber of Commerce and Industry Examinations Board – United Kingdom An approved centre of City & Guilds of London Institute, England Cambridge International Associate Partner of the University of Cambridge International Examinations, United Kingdom |
“[Televisi] takkan dapat mempertahankan pasar yang diperolehnya setelah enam bulan pertama. Orang akan segera bosan memandangi kotak jati setiap malamnya.“
-Darryl F. Zanuck, pemimpin 20th Century Fox, 1946-
Apa itu televisi? Apakah ia hanya sebuah ‘kotak kayu’? Layar terang yang meramaikan ruang keluarga kita? Barang penghias rumah? Sumber pertengkaran atas hak milik remote? Microsoft Encarta mendefinisikan televisi sebagai sistem untuk mengirim dan menerima gambar & suara dengan memakai sinyal elektronik yang ditransmisikan via kabel and serat optik, atau juga dengan radiasi elektromagnetik. Sinyal untuk televisi dipancarkan dari sebuah stasiun pusat, yang kita kenal sebagai stasiun televisi.
Ramalan Darryl F. Zanuck terbukti meleset jauh, karena sampai saat ini televisi masih dikenal sebagai bentuk komunikasi massa yang penyebarannya paling luas. Ya, televisi, bukan internet seperti yang mungkin kita sangka. Coba saja kita berkeliling ke desa-desa nelayan di sepanjang Pantura atau desa-desa di daerah pegunungan yang sulit dicapai. Apakah mereka punya komputer (dengan fasilitas internet)? Belum tentu. Apakah ada televisi di sana? Hampir pasti. Minimal satu unit yang bisa ditonton ramai-ramai pada malam hari.
Di era perkembangan internet yang meroket pada masa kini, kita sering lupa bahwa di negara kita, bagaimanapun ia belum menjadi penguasa komunikasi. Statistik menunjukkan, 93 persen penduduk Indonesia menonton televisi setiap hari, dan 35 persen diantaranya mengaku semakin sering menonton televisi karena acaranya mereka nilai makin menarik (sumber: AGB Nielsen, Februari 2007). Bahkan survey oleh lembaga yang sama di berbagai kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bali, dll mengatakan bahwa ternyata televisi pun masih menjadi konsumsi media nomor satu.
Jika kita menengok kembali sejarah lahirnya televisi, maka kita akan dibuat takjub akan betapa kreatif dan jeniusnya manusia jika terdesak perang. Alkisah di awal tahun 1940-an, sebuah teknologi televisi sederhana mulai berkembang-bahkan beberapa stasiun TV mulai mengudara secara eksperimental. Tapi semua masih serba sederhana, serba eksperimental, dan jangan bayangkan kualitas gambar seperti yang kita nikmati sekarang-ensiklopedi Encara memakai istilah ‘crude but recognizable.’
Sebenarnya, jauh sebelum masa itu, sejak tahun 1880an, insinyur Jerman Paul Nipkow sudah mendesain mekanisme televisi yang pertama, dengan bantuan alat yang disebut Nipkow Disk. Teknologi penemuan Nipkow juga turut mendukung proyek siaran televisi ‘coba-coba’ di Amerika Serikat oleh Charles F. Jenkins dan John L. Baird dari tahun 1923 – 1925. Perbaikan di sana-sini terus berjalan sampai era 1930-an. Memang makan waktu agak lama sampai televisi benar-benar ‘matang’ dan populer di tengah publik-salah satu momen yang bersejarah adalah saat siaran publik pertama terjadi di London tahun 1936. Lalu, Amerika menyusul dengan membuat siaran televisi reguler pertama tahun 1939.
Akhirnya, adalah Perang Dunia II yang malah menjadi pecut pemicu majunya teknologi dan industri penyiaran televisi. Pertempuran yang terjadi tahun 1939-1945 pada awalnya membuat semua aktivitas pengembangan televisi membeku. Selain kondisi sosial, ekonomi dan politik yang tidak stabil, para ilmuwan pengembang televisi kena wajib militer. Segi positifnya, setelah perang selesai, tepatnya tahun 1946, terjadilah ‘baby boom’ dan ‘television broadcasting boom’-jika pada yang pertama para tentara pulang dan beranak-pinak, pada ‘television broadcasting boom,’ industri penyiaran televisi berkembang sangat pesat dan cepat. Bagaimana bisa? Rupanya para ilmuwan itu mempelajari teknologi pendukung perang seperti radar, frekuensi tinggi, dll yang dapat dipakai untuk menyempurnakan sistem televisi. Para veteran, yang memiliki keahlian tinggi di bidang ini, langsung direkrut untuk memperkuat industri pembuatan pesawat televisi. Sejak itulah televisi berkembang pesat, dan terus mempertahankan eksistensi dan supremasinya, hingga detik ini.
Sebenarnya apa sih, yang istimewa dari televisi? Yang pasti ia adalah media penyebar informasi yang sangat dominan-jika buku menstimuli indra visual kita dan radio menstimuli indra pendengaran alias auditori kita, televisi menggabungkan keduanya sehingga pengalaman yang didapat konsumennya lebih maksimal. A picture speaks a thousand words.
Waktu pun terus berjalan-televisi yang tadinya hitam putih jadi berwarna. Pesawat yang tadinya ‘gemuk’ jadi makin langsing, layar yang cembung kini menjadi flat. Televisi telah melahirkan bintang film, mempopulerkan politisi, menimbulkan kontroversi, membuka aib orang, menyebarkan budaya pop, dan masih banyak lagi. Bagi kita semua, mungkin ia memberitakan gosip terbaru, mengajar kita memasak, membawa kita melihat negara lain, memutarkan video klip musisi favorit dan barangkali juga menjadi seorang teman.
Sama seperti hal besar lain di dunia ini, televisi datang bersama konsekuensi negatif dan positif. Mari kita mulai dari yang bagus dulu-televisi memberi informasi, mirip seperti internet pada jamannya, hiburan, membantu mengembangkan budaya, juga bisa menjadi sarana pendidikan-meski fungsinya yang satu ini kurang populer dibanding fungsi rekreasinya.
Begitu disukainya televisi sampai-sampai di masa internet seperti sekarang pun orang masih meletakkan televisi (dalam rupa yang lebih compact, tentunya) dalam mobil maupun telepon genggam mereka. Televisi nggak ada matinya.
Tapi nenek kita berpesan: segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Terlalu banyak televisi memang akan merusak mata dan meroketkan tagihan listrik-tapi dampak yang lebih dahsyat justru tidak bisa dilihat dengan mata. Sebagai ‘biang’ televisi, Amerika Serikat menjadi penguasa dunia melalui imperialisme budaya. Siaran-siaran televisi yang sarat dengan budaya barat menyebar ke berbagai penjuru dunia, dan membuat anak muda di belahan benua mengadaptasi budaya MTV mentah-mentah (dalam hal ini saya tidak sepenuhnya menyalahkan Amerika dan industrinya sih-pada dasarnya tiap orang punya pilihan dan tiap orang seharusnya bisa berpikir kritis). Bukannya munafik kalau saya bilang begini, karena toh nyatanya saya memakai celana jeans setiap hari dan kecanduan Dunkin’ Donuts. Tapi yang paling disayangkan dari fenomena ini, entah kenapa diterimanya budaya luar selalu diiringi dengan ditinggalkannya budaya lokal. Sedih sekali melihat grup lawak Srimulat mati suri padahal serial Friends masih ditayangkan ulang di TV Kabel sampai sekarang. Fenomena ini tidak terbatas hanya untuk kaum ABG, televisi juga bisa memiliki dampak negatif terhadap anak berusia lebih muda-masih ingat kasus anak kecil yang membunuh temannya karena acara Smack Down? Atau anak-anak yang meniru bahasa kasar sinetron? Ibu-ibu yang diedukasi oleh acara infotainment untuk menghakimi orang tidak mereka kenal? Bapak-bapak yang memelihara hobi menonton komedi tengah malam?
Faktor kedua yang menjadi efek negatif televisi adalah persaingan bisnis. Industri televisi adalah sebuah bisnis raksasa beromzet miliaran rupiah-apa sih tidak akan dilakukan untuk membahagiakan konsumen saat Anda punya kesempatan untuk meraup uang sebanyak itu? Perhatikan fenomena di televisi kita: stasiun X memutar acara mistik dan sukses-lalu semua stasiun lain akan segera membuat acara dengan format serupa pada jam yang sama pula. Hal semacam itu sudah kita lihat pada fenomena sinetron, komedi, dan acara musik remaja. Itu masih dalam skala ‘internal’-belum lagi acara luar negeri yang terang-terangan dijiplak PH lokal demi konsumsi televisi: sinetron Candy, Intan, Cincin, Wulan, dan masih banyak lagi. Kualitas tontonan menurun-padahal bisa dikatakan televisi adalah ‘guru’ bangsa ini. Ya, seperti dikatakan hasil survey tadi, masih banyak manusia yang ‘kecanduan’ televisi di negara ini-dan kita semua sedang dididik televisi menjadi bangsa yang tidak kreatif dan malas berpikir. Bagaimanapun, duduk-duduk di depan televisi seharian bukan sesuatu yang produktif, seperti komentar satir Andy Warhol: “When I got my first television set, I stopped caring so much about having close relationships.”
Sebenarnya, apa sih yang ingin dilihat orang pada layar kaca? Dari hasil perenungan dalam busway yang bergoyang, saya menemukan jawabnya: diri mereka sendiri. Ya, orang ingin melihat diri mereka sendiri. Masih ingat cerita Dewa Narcissus dalam mitologi Yunani? Suatu kali sang dewa yang tampan berjalan-jalan di pinggir sungai. Ia menunduk dan terkejut mendapati wajah yang begitu indah memandangnya balik dari permukaan air. Narcissus membungkuk dan menatap; Narcissus jatuh cinta setengah mati pada wajahnya sendiri dan begitu sedih karena wajah itu tidak pernah memberi jawab atas tiap ucapannya, bahkan malah memburam saat Narcissus menyentuhnya. Akhirnya Narcissus hanya terduduk di tepi sungai dan menatapi wajahnya sendiri sampai mati.
Dongeng yang bagus. Tapi hal serupa sedang terjadi pada manusia dan televisi. Jaman artis gemerlapan seperti bidadari sudah berlalu-reality show, interactive talk show, game show, dan acara sejenis sedang meraja. Apa yang bisa kita analisa dari semua itu? Acara-acara itu melibatkan orang biasa, yang sehari-hari kita temui di jalan. Saya masih ingat saat kampus melakukan kunjungan ke Trans TV-hari sudah malam, tapi ibu-ibu masih mengantri untuk menjadi penonton acara talkshow. Kini, sosok yang terlihat dan ingin dilihat orang dalam layar kacanya adalah sosok yang semirip mungkin dengan dirinya sendiri, dan bukan tidak mungkin, lama-kelamaan sosok itu menjadi dirinya sendiri. Ambil contoh kasus suksesnya SuperMama SelebShow di Indosiar beberapa waktu lalu. Sebagai sebuah kontes menyanyi, skill pesertanya betul-betul kurang kalau tidak mau disebut menggelikan. Tapi apa yang ingin dilihat pemirsa? Sosok ibu para peserta yang polos, apa adanya, terkadang bawel. Ibu mereka sendiri.
Puncak dari fenomena ini: narsis.TV, Gong Show, dan The Box. Jika Anda harus punya talent tertentu untuk masuk Gong Show, dalam kasus The Box Anda hanya perlu memiliki hal yang menarik untuk dikatakan atau tidak tahu malu. Narsis.TV adalah perkembangan terbaru yang cukup unik-karena konsepnya adalah menggabungkan online social media dan on-air traditional media. Unggah video Anda di situsnya, lalu jika menarik akan ditayangkan di Global TV. Judul acara ini benar-benar tepat menggambarkan fenomena di baliknya. Nah, mungkin saja suatu hari giliran Anda dan saya yang akan mendapat kesempatan untuk duduk di depan televisi dan melihat diri kita sendiri di dalamnya-itu sudah bukan hal mustahil lagi sekarang, pertanyaannya hanya satu: mau tidak? Sepertinya saya harus mengakhiri esai ini dengan sebuah ‘ramalan’ yang lebih tepat daripada yang tertulis di awal esai.
In the future everyone will be famous for 15 minutes.
-Andy Warhol-
Sumber:
- Ensiklopedia Encarta (Microsoft® Student 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008)
- Broadcasting, Cable, The Internet, and Beyond-An Introduction to Modern Electronic Media. (New York: McGraw Hill, 2000)
- The 7 Habits of The Highly Effective Teens (Jakarta: Binarupa Aksara, 2001)
- www.kapanlagi.com
- www.tempointeraktif.com
- www.brainyquotes.com
- www.wikipedia.com

Apa sih istimewanya kelinci?
Saya mau cerita mengenai seekor kelinci biasa, yang tidak istimewa. Bukan jenis ras tertentu, hanya keturunan dari kelinci yang dijual murah di pasar tradisional Bogor. Tidak bersuara, juga tidak memiliki kemampuan khusus seperti anjing. Nama kelinci itu Josh, dan dia adalah sahabat keluarga kami. Oh iya, foto si sebelah ini adalah 'foto pernikahan' orangtua Josh, Sentaro dan Pank-Pank.
Memang entah kenapa, dari dulu sejarah keluarga kami selalu diwarnai oleh hewan peliharaan yang tidak bersuara: kura-kura, ikan dan kelinci. Tapi justru karena mereka tidak bersuara, sepertinya saya diajar untuk mendengarkan.
Terutama dengan seekor kelinci bernama Josh itu.
Untuk menceritakan kisah Josh, saya harus kembali ke delapan tahun lalu, ketika seorang anak SMP menghabiskan hari-harinya di RS Carolus, berulangkali demamnya kambuh disertai ruam-ruam merah tanpa sebab yang jelas. Kakak dari anak perempuan itu datang membawa segepok komik baru untuknya-SENTARO.
Komik itu bercerita mengenai kelinci yang namanya…ya,Sentaro. Komik itu menghibur anak perempuan yang sakit di hari-hari opnamenya. Kakaknya yang setia menjagai dan ikut tidur di rumah sakit juga ikut suka sama Sentaro. Lalu, mereka sekeluarga berjanji, jika anak perempuannya pulih mereka akan merayakannya dengan jalan-jalan ke Bogor.
Beberapa waktu berlalu, dan mereka benar-benar ke Bogor. Mereka pulang membawa sepasang kelinci, jantan dan betina. Kelinci yang jantan dinamai Sentaro karena belang di tubuhnya persis Sentaro di komik. Kelinci betina dinamai Beruko berkat inspirasi yang jatuh dari langit.
Beberapa hari berlalu, Beruko jatuh sakit dan mati.
Sentaro hidup menemani keluarga itu bertahun-tahun. Jasanya yang terbesar: gigih meneror manja pada kakak perempuan yang (tadinya) benci pada hewan. Ia juga tabah menghadapi hari-hari banjir ala Kelapa Gading yang dahsyat. Ditinggal mengungsi juga pernah. Saking bahagianya saat keluarga itu kembali, Sentaro berlari mengitari mereka sampai malam, seakan tak percaya bisa ketemu lagi.
Sentaro memang tinggal di loteng. Saat anggota keluarga itu bangun di pagi hari dan mengeluarkan suara, otomatis Sentaro akan turun dari tangga dan ikutan sibuk di bawah. Saat semua orang pergi tidur, ia naik lagi ke lotengnya yang gelap.
Satu hari, Sentaro lolos dari pagar rumah. Pencarian selama dua hari tidak membuahkan hasil. Pembantu keluarga itu menemukan keanehan perilaku pada karyawan-karyawan apotik dekat rumah. Mendadak mereka hobi memetiki daun. Investigasi berlanjut. Kakak-beradik menanyai tante2 pemilik apotik. Ia tampak gugup tapi nggak ngaku. Satu malam kakak perempuan melabrak karyawan mencurigakan itu dan…Sentaro pun kembali ke rumah.
Setelah ia dewasa nyaris tua, Sentaro dikawinkan dengan kelinci betina bernama Pank-Pank; milik teman sekolahnya kakak perempuan. Lalu lahirlah Josh beserta lima bayi kelinci lain. Saat usianya baru sebulan, wabah diare menerpa. Seperti biasa, mereka langsung ngibrit ke dokter hewan yang untungnya berpraktik nggak jauh dari rumah mereka. Lima kelinci itu mati.
Pank-Pank melahirkan lagi tidak lama kemudian, kali ini ada 7 bayi. Tapi mereka semua tidak bertahan lama karena lahir prematur. Pank-Pank juga mati kerena pendarahan.
Tinggallah Sentaro dan Josh, bapak-anak yang kadang mesra kadang berantem sampe lompat tinggi banget. Mereka ikut pindah rumah bersama keluarga itu dan ikut pindah lagi ke rumah lama yang sudah direnovasi.
Satu hari rumah mati lampu. Lilin-lilin dipasang. Kedua kelinci itu dengan konyolnya mendekat penasaran dan mengendus lilin itu. KUMIS MEREKA TERBAKAR!!! Dengan panik mereka lari sambil menepuki kumisnya. Untuk waktu yang lama, kumis mereka jadi panjang-pendek dan keriting.
Tahun-tahun berganti, satu hari Sentaro hilang tanpa jejak. Kali ini beneran. Hilang aja, seakan ia memang tidak pernah ada. Dan memang ia tidak pernah ditemukan lagi. Kakak-beradik sedih berhari-hari.
Josh, anak Sentaro menemani keluarga itu selama 6,5 tahun. Josh sangat berbeda dari Sentaro yang kalem. Meski mewarisi fisik ayahnya, Josh memiliki sifat ibunya. Kelinci preman.
Josh nggak suka dielus-terkadang ia menggigit balik jika jengkel. Josh suka membawa pergi makanannya. Josh galak dan judes. Josh beberapa kali menggigit jari orang asing sampai berdarah. Tapi, jika didiamkan, Josh mendekat sendiri. Saat natal, Josh selalu suka melempar-lempar hiasan natal di kaki pohon sampai berantakan.
Tapi Josh bisa manis juga. Saat ditinggal menginap ke luar kota untuk pertama kalinya, Josh dititipkan pada teman ibunya. Tiap hari selama 3 hari, orang itu datang ke rumah untuk memberi makan Josh. Ternyata Josh tidak mau makan dari orang asing. Tiga hari full ia mogok makan dan baru mau makan saat melihat keluarga itu pulang.
Terkadang Josh bikin malu. Ia punya hobi menyelip ke bawah pagar lalu kabur ke rumah Pak Is, tetangga mereka. Pak Is yang pensiunan sering harus memulangkan Josh. Keluarga itu jadi tidak enak. Tapi Josh selalu kembali. Tahu-tahu saja ia tiduran santai ala Cleopatra di keset pintu masuk atau asyik menggaruki kayu-kayu di halaman Pak Is. Josh tampak sekaan lebih betah main di sana.
Suatu hari setelah natal sebelum tahun baru, Josh tidak mau makan. Ada luka di mulutnya. Ia sakit. Josh ternyata berkelahi dengan tikus. Tapi di hari-hari libur itu, dokter hewan tutup. Dengan cemas keluarga itu menanti 2 Januari tiba.
Kembali ke dokter hewan langganan, kondisi Josh sudah parah. Dia nggak bisa berdiri tegak. Ia disuntik. Tidak membaik. Besoknya disuntik lagi plus diinfus. Malamnya Josh kejang-kejang. Ia tampak sengsara, saat itu anak perempuan yang nggak rela jika Josh mati, malah berdoa agar Josh dibebaskan dari penderitaannya.
Dan doa itu dikabulkan.
Iya, itu deh cerita soal sahabat keluarga saya, Josh, Sentaro, dan Pank-Pank. Rupanya, kata dokter hewan, Josh yang sudah tua tidak kuat menerima pengobatan itu. Sampai sekarang melihat kotak makan dan kandang yang kosong itu, saya masih teringat pada mantan penghuninya. Meski saya dan kakak menghabiskan banyak air mata (dan tisu) pada hari kematian Josh, kami tidak kapok memelihara kelinci lagi. Kehilangan hewan peliharaan itu sedih sekali, tapi kami memiliki 6,5 tahun yang menyenangkan bersama mereka-dan fakta itu nggak boleh dilupakan saat kita merasakan sakitnya ditinggal pergi.
Satu hal lagi. Ini adalah amarah yang saya rasakan ketika membereskan kandang, obat, dan kotak makan Josh, satu hari setelah kematiannya. Selama kami bolak-balik ke dokter, kami bertemu orang-orang yang memandang remeh pada seekor kelinci biasa. Mereka sendiri menggendong ajing-anjing mahal ala Paris Hilton, tentunya dengan perhiasan, dan memandang sebelah mata pada Josh. Mereka meremehkan Josh-padahal saya nggak akan pernah mau menukar Josh dengan hewan ras kelas tinggi, yang harganya entah berapa juta itu.
Mungkin semua biaya yang kami keluarkan untuk pengobatan seekor kelinci yang bisa dibeli kodian di pinggiran jalan memang nggak seimbang kalo dihitung secara logis. But, trust me, it was worth it. Satu hal yang perlu sekali untuk diingat saat kita mengundang seekor hewan masuk ke dalam hidup kita: mereka adalah sabahat, bukan aksesoris.
Formulir adalah selembar kertas tengil yang ingin mengorek-ngorek informasi pribadi seseorang.
Kenapa saya dengan sotoy-nya mengatakan begitu?
Begitu banyak formulir yang pernah saya isi dalam hidup ini-dari sekedar undian supermarket sampai pendaftaran kuliah, saya selalu merasa gemas oleh banyaknya hal tidak penting yang ditanyakan entah dengan alasan apa. Alasan paling logis yang bisa saya temukan ya cuma itu. Tengil.
Sebenarnya, mayoritas formulir yang ada dalam hidup kita bisa dipangkas jadi satu lembar saja. Data diri kita yang paling krusial kan paling-paling nama-KTP-alamat-HP?
Ngapain formulir lomba gambar tanya-tanya agama?
Ngapain formulir perpustakaan nanya-nanya pendidikan?
Kalo saya dan kakak suka sebel pada formulir-formulir absurd yang meminta kami menuliskan suku bangsa. Dilema pun datang-mau jawab apa? Biasanya saya bilang Indonesia, titik. Karena memang itulah saya. Indonesia tanpa embel-embel. Kalau mau embel-embel, ceritanya panjang. Tapi kemarin saya nggak bisa ngeles ketika sedang mengisi formulir psikotes.
Formulir itu dipegang oleh tester saya, dan saya cukup buka mulut karena semua datanya diisikan oleh tester yang malang tersebut.
Lalu datanglah pertanyaan-pertanyaan yang entah apa hubungannya dengan tes psikologi:
Agama?
Kristen
Kristen apa?
Kristen Protestan
Suku bangsa?
Indonesia
(diam)
Apa?
Indonesia
(menaikkan kedua alis) ha?
Iya, CINA! Eh, Indonesia keturunan.
Tapi mungkin seharusnya saya nggak menghakimi ketidakbergunaan hal-hal di atas dalam formulir karena terkadang mereka punya fungsi yang tidak disangka-sangka.
Waktu mendaftar dokter kulit beberapa waktu lalu, percaya atau nggak formulirnya sampe berlembar-lembar bagaikan soal ujian masuk PNS. Termasuk isian agama dan suku bangsa. Bahkan ada pertanyaan tentang nama kampus dan…hobi. Jadi inget diari-diarian masa SD. Mungkin mereka kuatir saya punya hobi yang merusak kulit wajah seperti main layangan jam 12 siang, barangkali.
Nah, ceritanya setelah dokter kulit selesai mencangkul muka saya, ia mulai berceramah mengenai pemakaian sederet obat; dari yang krim sampai antibiotik. Pokoknya ribet banget-siapa sih manusia di Jakarta yang sibuk ini yang punya waktu untuk cuci muka jam 3-5 sore? Masa saya harus membawa botol-botol itu ke kampus dan cuci muka di WC?
Dokter kulit saya mendadak terdiam agak lama membaca map rekam medik saya. Ternyata biodata saya ada di situ.
“Hmm…kamu apa?” Dia berbicara pelan nyaris untuk dirinya sendiri saja.
Saya melongo.
Loh, saya manusia-emangnya saya nggak kelihatan seperti manusia? Kenapa dia nanya saya apaan???
“Ooh…nggak sholat, kan?” Dokter kulit mengalihkan pandangan dari biodata saya.
“Naah, jadi kamu bisa dong cuci muka di kampus, pas temen-temen kamu lagi sholat.”
Oh, sekarang saya jadi tahu gunanya formulir itu. Supaya saya bisa disuruh cuci muka pas temen-temen saya lagi sholat.
Di dunia yang dibanjiri oleh multivitamin, isotonic, minuman berenergi, suplemen makanan dan kawan-kawannya…pernahkah kamu merasa menjadi sakit dan merasa lelah adalah…dosa?
Sepertinya sukses adalah milik orang yang bisa kerja 24 jam sehari, yang tanggalan di meja kerjanya item semua. Merekalah yang dianggap hebat, bibit unggul, uberminche, the super race.
Barangkali ini cuma keluhan orang penyakitan yang sirik seperti saya, sih. Memelihara penyakit auto-imun dalam tubuh membuat saya sering paranoid. Saya nggak tahu mana yang lebih menakutkan-penyakit saya atau diri saya sendiri. Sering saat saya beraktivitas, perasaan saya mendadak nggak enak dan saya ketakutan sendiri. Takut jatuh sakit. Saya merasa setolol petani yang lari terbirit-birit karena melihat orang-orangan sawah yang ia bikin sendiri.
Tapi kalo dipikir-pikir saya juga udah kapok check in-check out rumah sakit. Saya nggak tahan kalo dosis kortikosteroid saya harus dinaikkan lagi. Saya nggak mau lagi menanggung efek samping obat. Dokter dan keluarga emang sering wanti-wanti saya biar jangan terlalu lelah dan jangan beraktivitas di bawah matahari.
Ada begitu banyak hal ingin saya lakukan dalam hidup ini. Ada pekerjaan-pekerjaan yang terpaksa harus saya tolak karena alasan kesehatan.
Terkadang hal-hal seperti itu membuat saya merasa seperti pecundang.
Kaget banget ketika berita itu sampai ke telinga saya. Harusnya saya nggak kaget karena dari beberapa minggu sebelumnya majalah Tempo udah memberitakan perihal dirawatnya pelawak senior Timbul di rumah sakit. Tapi toh nyatanya saya kaget.
Timbul bagi saya selalu sosok yang sama: seorang bapak yang ramah, senyum lugu yang jujur, dan tawa yang siap meledak kapan saja. Sedikit banyak Timbul jugalah ‘guru’ budaya saya, sosok yang menyuapi saya dengan sepotong adat Jawa Tengah.
Lahir, hidup, dan besar di Jakarta tanpa akar budaya yang jelas memang terkadang membuat saya merasa iri dengan teman-teman saya yang ‘berbudaya.’ Teman Batak dengan perkumpulan keluarganya yang berpesta secara teratur, teman Solo yang keluarganya bikin ruwatan untuk buang sial ketika ia baru putus cinta, teman Semarang yang fasih berbahasa Jawa halus…akh, meski mereka sering mengeluhkan betapa ribet, aneh, konyol, dan membosankannya semua ritual/kepercayaan keluarganya itu, menurut saya mereka orang-orang yang beruntung. Setidaknya mereka memiliki fondasi yang jelas-manusia kan tidak hidup dari bisnis, uang, kuliah, maupun the so-called hal-hal rasional lain. Sosiolog Edward T. Hall sendiri ngomong kalo budaya adalah alat yang membuat manusia survive di dunia ini.
Oh iya, kembali ke saya deh. Saya nggak punya budaya yang jelas-hal ini terkadang membuat saya merasa seperti layangan putus. Saya sama-sama terbang seperti layangan lain, tapi saya nggak tahu kemana harus pulang. Dibilang Cina, saya nggak ngerti apa-apa soal budayanya, dibilang Jawa juga jauh. Jakarta? Barangkali.
Iya, kami sekeluarga tergolong super cuek pada hal-hal yang berbau adat. Orangtua saya mungkin bisa digolongkan penduduk keturunan yang mbalelo dari adat. Keluarga besar ibu saya (termasuk dia) lahir dan besar di Purbalingga, fasih berbahasa Jawa. Tapi satu hal yang membedakan ibu saya dengan kakak-kakaknya, ia malah nggak bisa bahasa Mandarin karena semua sekolah Cina ditutup pas ketika ia akan masuk ke sana. Ia lantas merantau ke Jakarta untuk kuliah hukum dan tinggal di sini sampai sekarang. Berkat pertemuannya dengan ayah saya, barangkali. Ayah saya juga seorang Cina Indonesia, yang lahir di daerah Parung, dekat kota Jakarta.
Singkat kata sejak kecil saya dan kakak nggak pernah dikenalkan dengan bahasa Mandarin ataupun ritual-ritual sembahyangan ataupun hari-hari rayanya. Terkadang kalo dipikir agak heran kenapa orangtua saya bisa begitu padahal keluarga besar mereka masih memegang teguh segala perkara adat-terkadang sampai membuat saya merasa mendapat tontonan baru di pesta-pesta kawinan sodara. Tapi saya nggak nyesel atau ngiri juga sih. You can’t lose what you never had, right?
Oke, oke, sekarang kembali ke Timbul. Saya agak bingung mau memulai darimana, tapi pertama saya akan cerita soal kenangan masa kecil dulu.
Begini, ada satu hal yang berkesan dalam benak saya sejak SD sampai sekarang. Satu kali seminggu, ibu saya menyetel RCTI di tengah malam untuk nonton Ketoprak Humor dan saya, kakak, dan ibu akan nonton begadang sampe jam 3-4 pagi. Di hari lain kami bisa dimarahi jika tidur malam-malam dan ibu bisa masuk angin kalo begadang. Tapi akhir minggu semua berbeda. Kalo ayah saya sih…dia nggak tahan melek dan biasanya tidur tak lama setelah tirai merah panggung dibuka.
Well, saat-saat Ketoprak Humor adalah bagian hidup saya yang tak terlupakan. Semua jadi indah dan menyenangkan. Rumah kecil yang berantakan jadi nyaman dan hangat. Ibu yang sibuk bisa tertawa bersama kami sampai pagi. Ada perasaan tenang yang aneh ketika menonton acara itu, seakan setitik akar Jawa saya digelitik sedikiiit…padahal sebagian bahasanya tidak saya mengerti. Saya jadi nebeng sedikit budaya yang barangkali dimiliki ibu saya. Saat Timbul tertawa, saya pasti tertawa. Saya hapal betul, Timbul selalu berperan sebagai pelayan, biasanya bersama Marwoto (pelajaran stratifikasi sosial pertama saya). Lalu ada kotak-kotak hadiah yang dilempar penonton ke panggung. Setiap minggu saya melihat hal yang sama, setiap minggu pula saya tersenyum geli.
Satu adegan yang paling tidak terlupakan adalah saat Timbul, Marwoto, dan..akh, saya agak lupa yang satunya, (sepertinya Aris) bertengkar mengenai sapi.
Bagaimana jika sapimu masuk-masuk kebunku?
Bagaimana jika sapimu begini-begitu?
Di akhir adegan mereka dilerai oleh pelawak ketiga itu, dan ternyata….sapi yang diperebutkan itu belum ada, baru ‘seandainya- menang-undian-terus-dapet-duit-buat-beli-sapi.’
Lalu ada juga gaya khas Timbul yang tidak sengaja menyolok matanya sendiri atau jarinya yang tidak bisa keluar dari lubang telinga setelah mengorek kuping. Para batur ini membuat dunia ketoprak jadi cerah dan menyenangkan. Para karakter bangsawan maupun penjahat yang berkostum gagah nan mewah malah lebih sering terlihat kalut, serius, atau marah. Dan bahkan otak anak SD saya kala itu bisa memahami bahwa dalam sebuah pementasan, selalu ada dua pihak: baik dan jahat. Kedua belah pihak pun memiliki punakawan sendiri-sendiri. Dan di akhir tentu saja yang baik yang menang.
Oh iya. Selain Ketoprak Humor, saya juga suka melihat Timbul di Srimulat. Lewat komedi, lewat tawa, terkadang saya merasa agak ‘Jawa.’ Ketoprak Humor, suara gamelan, lalu boso Jowo ngapak-ngapak, mendoan, dan kunjungan ‘paksa’ tiap April ke kampung halaman ibu membuat saya merasa terkadang budaya Jawa yang mencari dan mendapatkan saya, bukannya saya yang mencarinya.
Timbul, it would’ve been nice to have met you.
Saya mendapat softcopy komik doraemon yang menarik dari seorang teman, yang disebut-sebut sebagai edisi terakhir Doraemon. Kita nggak pernah tahu siapa yang menggambar komik ini, darimana asal persisnya, apakah ini dibuat oleh penerbitan resmi doraemon atau hanya karya fans amatir yang suka berkhayal.
Kami nggak pernah tahu. Softcopy itu saya kopi dari usb teman sekampus, yang mengopinya dari usb kakaknya, yang mengopinya dari usb temannya, yang mendapat itu dari seorang teman lain lagi. Pokoknya asal-usul file ini sudah hilang dalam dunia per-download-an.
Kita semua pasti kenal Doraemon. Bagi saya, doraemon adalah teman masa kecil. Sampai sekarang pun saya dengan otak dewasa saya masih menyukai sosok robot kucing itu. Rasanya juga bukan kebetulan kalau sampai sekarang komik doraemon masih eksis di pasaran-bahkan baru aja sepuluh edisi perdananya dicetak ulang dengan format baru dan dijual per paket. Merchandise doraemon juga masih laku di pasaran.
Aneh sih, tadinya saya pikir doraemon-nya saya akan menjadi seperti Tongki atau Susan. Umurnya hanya satu generasi. Tapi ternyata nggak, Doraemon sudah berjalan melintasi generasi dan masih menjadi sahabat yang sama untuk anak-anak. Dan juga orang dewasa seperti saya, yang pernah mengenal Doraemon waktu kecil dan tidak pernah melupakannya sejak itu.
Kenapa Doraemon abadi? Saya nggak tahu apakah hal yang saya rasakan ini bisa jadi tolok ukur untuk fenomena Doraemon secara keseluruhan. Doraemon adalah sosok juruselamat, yang bisa mengatasi masalah apapun, tanpa harus menjadi marah-marah seperti orangtua atau menyebalkan seperti teman seumur.
Masa kecil seringkali membingungkan, begitu banyak hal yang tidak pasti (tentunya pada skala anak kecil). Siapa sih yang nggak pernah menjadi Nobita pada masa kecilnya? Nilai jelek dimarahi orang tua, teman-teman yang menyebalkan, jenuh sekolah, males ngerjain PR…di saat itu Doraemon seakan masuk menjadi sahabat, menjadi mesias yang menyelamatkan kita dari semua masalah berkat kantung ajaibnya. Kita semua terhanyut dan tertawa bersama Nobita, Doraemon dan teman-teman. Dan mungkin sekarang adik-adik di bawah kita juga sedang melakukan hal yang sama.
Kemarin saya baru baca di Kompas Minggu 22 Februari tentang messianisme. Gejala-gejala sekte, dukun cilik, dan kawan-kawan yang sering kita dengar disebut sebagai gejala messianisme-masyarakat rindu akan sosok juruselamat di tengah situasi krisis yang serba tidak pasti ini. Katanya sih ini gejala yang emang biasa muncul saat hidup lagi nggak pasti, misalnya aja legenda sosok ‘Ratu Adil’ atau ‘Satria Piningit’ (saja ngejanya bener nggak sih?)
Saya kutip dikit kata-kata dari artikel itu, ya
“Secara teologis dan filosofis, ada kerinduan terdalam manusia akan penyelamatan.”
Kutipan di atas berasal dari Sindhunata, dia pernah menulis disertasi tentang pengharapan mesianik masyarakat Jawa abad 19 sampai awal abad 20 waktu kuliah di Jerman.
Mungkinkah hal yang sama juga ada di otak anak-anak? Apakah secara naluriah mereka juga merasakan kerinduan itu?
Ketika manusia dewasa mencari penebusan dari sosok-sosok seperti politikus karismatis, pemuka agama, dukun cilik atau apapun… apakah merasa merasakan ‘penebusan’ dari sosok Doraemon? Ya ampun saya merasa tolol banget menulis seperti ini!
Tapi, saya pikir begitu.
Doraemon memenuhi syarat: baik, lucu, bisa mengatasi semua masalah. (meskipun begitu, kalo suatu hari punya anak, saya berharap sosok sahabat yang lebih dekat dengannya adalah manusia, bukan robot kucing apalagi komputer).
Inilah satu hal yang bikin komik kopian saya menarik. Saya menangis ketika membacanya. Ya, nangis. Bodoh ya, tapi saat saya memandang mata sosok Doraemon lagi setelah sekian tahun melupakannya, tiba-tiba saya jadi anak kelas 4 SD lagi, yang males, lugu, dan cuma mikirin main aja. Ya, waktu itu saya sering berharap Doraemon itu benar-benar ada. Minimal, salah satu alat ajaibnya saja, deh.
Dalam strip-strip komik hitam-putih itu, ceritanya Doraemon rusak sehingga ia mati. Nobita dipaksa untuk hidup tanpa Doraemon. Nobita dipaksa mampu membela diri sendiri, belajar tanpa alat ajaib dsb. Ternyata bagi Nobita, kehilangan terbesarnya bukanlah pada keajaiban masa depan yang dibawa Doraemon, tapi ternyata pada sosok si kucing itu sendiri dan segala kenangan petualangan mereka.
“Setiap kali aku diusili, kamu memikirkan aku seolah itu masalahmu sendiri…aku tidak pernah bilang dengan benar, tapi sebetulnya aku sangat senang, lho.”
Hidup tanpa Doraemon ternyata malah membuat Nobita jadi pintar. Ia rajin belajar sampai-sampai mengalahkan Dekisugi. Lalu, 35 tahun kemudian, Nobita sudah menjadi professor yang terkenal dan istrinya adalah Shizuka. Dekisugi sendiri menjadi presiden. Ternyata semua perjuangan Nobita untuk belajar sampai menjadi professor adalah agar ia bisa menghidupkan kembali Doraemon. Hahaha, kalo udah gini bingung ya, siapa mesiasnya siapa.
Siapa sih yang nggak ingin diselamatkan? Cewek-cewek pasti pernah sekali dalam hidupnya mengkhayalkan ksatria berkuda putih datang menyelamatkannya. Kita rindu presiden yang bisa jadi superman, kita rindu akan sebuah sosok yang bisa membebaskan kita dari semua ketidaknyamanan hidup yang kita rasakan. Tapi mesias sudah pernah datang dan sudah menebus kita. Bagaimana mungkin kita merindukan sosok yang nyata-nyata sudah ada??? Apakah lebih mudah bagi kita untuk mencari sosok lain sebagai mesias, sosok yang lebih sesuai dengan syarat-syarat kita?
Ah, harusnya tulisan ini nggak jadi seaneh ini. Tapi ijinkan saya tutup tulisan ngalor-ngidul ini dengan sebuah permainan kata-kata: Tidak semua yang tidak kelihatan itu tidak ada.