Pelawak Timbul Meninggal Dunia”
Kaget banget ketika berita itu sampai ke telinga saya. Harusnya saya nggak kaget karena dari beberapa minggu sebelumnya majalah Tempo udah memberitakan perihal dirawatnya pelawak senior Timbul di rumah sakit. Tapi toh nyatanya saya kaget.
Timbul bagi saya selalu sosok yang sama: seorang bapak yang ramah, senyum lugu yang jujur, dan tawa yang siap meledak kapan saja. Sedikit banyak Timbul jugalah ‘guru’ budaya saya, sosok yang menyuapi saya dengan sepotong adat Jawa Tengah.
Lahir, hidup, dan besar di Jakarta tanpa akar budaya yang jelas memang terkadang membuat saya merasa iri dengan teman-teman saya yang ‘berbudaya.’ Teman Batak dengan perkumpulan keluarganya yang berpesta secara teratur, teman Solo yang keluarganya bikin ruwatan untuk buang sial ketika ia baru putus cinta, teman Semarang yang fasih berbahasa Jawa halus…akh, meski mereka sering mengeluhkan betapa ribet, aneh, konyol, dan membosankannya semua ritual/kepercayaan keluarganya itu, menurut saya mereka orang-orang yang beruntung. Setidaknya mereka memiliki fondasi yang jelas-manusia kan tidak hidup dari bisnis, uang, kuliah, maupun the so-called hal-hal rasional lain. Sosiolog Edward T. Hall sendiri ngomong kalo budaya adalah alat yang membuat manusia survive di dunia ini.
Oh iya, kembali ke saya deh. Saya nggak punya budaya yang jelas-hal ini terkadang membuat saya merasa seperti layangan putus. Saya sama-sama terbang seperti layangan lain, tapi saya nggak tahu kemana harus pulang. Dibilang Cina, saya nggak ngerti apa-apa soal budayanya, dibilang Jawa juga jauh. Jakarta? Barangkali.
Iya, kami sekeluarga tergolong super cuek pada hal-hal yang berbau adat. Orangtua saya mungkin bisa digolongkan penduduk keturunan yang mbalelo dari adat. Keluarga besar ibu saya (termasuk dia) lahir dan besar di Purbalingga, fasih berbahasa Jawa. Tapi satu hal yang membedakan ibu saya dengan kakak-kakaknya, ia malah nggak bisa bahasa Mandarin karena semua sekolah Cina ditutup pas ketika ia akan masuk ke sana. Ia lantas merantau ke Jakarta untuk kuliah hukum dan tinggal di sini sampai sekarang. Berkat pertemuannya dengan ayah saya, barangkali. Ayah saya juga seorang Cina Indonesia, yang lahir di daerah Parung, dekat kota Jakarta.
Singkat kata sejak kecil saya dan kakak nggak pernah dikenalkan dengan bahasa Mandarin ataupun ritual-ritual sembahyangan ataupun hari-hari rayanya. Terkadang kalo dipikir agak heran kenapa orangtua saya bisa begitu padahal keluarga besar mereka masih memegang teguh segala perkara adat-terkadang sampai membuat saya merasa mendapat tontonan baru di pesta-pesta kawinan sodara. Tapi saya nggak nyesel atau ngiri juga sih. You can’t lose what you never had, right?
Oke, oke, sekarang kembali ke Timbul. Saya agak bingung mau memulai darimana, tapi pertama saya akan cerita soal kenangan masa kecil dulu.
Begini, ada satu hal yang berkesan dalam benak saya sejak SD sampai sekarang. Satu kali seminggu, ibu saya menyetel RCTI di tengah malam untuk nonton Ketoprak Humor dan saya, kakak, dan ibu akan nonton begadang sampe jam 3-4 pagi. Di hari lain kami bisa dimarahi jika tidur malam-malam dan ibu bisa masuk angin kalo begadang. Tapi akhir minggu semua berbeda. Kalo ayah saya sih…dia nggak tahan melek dan biasanya tidur tak lama setelah tirai merah panggung dibuka.
Well, saat-saat Ketoprak Humor adalah bagian hidup saya yang tak terlupakan. Semua jadi indah dan menyenangkan. Rumah kecil yang berantakan jadi nyaman dan hangat. Ibu yang sibuk bisa tertawa bersama kami sampai pagi. Ada perasaan tenang yang aneh ketika menonton acara itu, seakan setitik akar Jawa saya digelitik sedikiiit…padahal sebagian bahasanya tidak saya mengerti. Saya jadi nebeng sedikit budaya yang barangkali dimiliki ibu saya. Saat Timbul tertawa, saya pasti tertawa. Saya hapal betul, Timbul selalu berperan sebagai pelayan, biasanya bersama Marwoto (pelajaran stratifikasi sosial pertama saya). Lalu ada kotak-kotak hadiah yang dilempar penonton ke panggung. Setiap minggu saya melihat hal yang sama, setiap minggu pula saya tersenyum geli.
Satu adegan yang paling tidak terlupakan adalah saat Timbul, Marwoto, dan..akh, saya agak lupa yang satunya, (sepertinya Aris) bertengkar mengenai sapi.
Bagaimana jika sapimu masuk-masuk kebunku?
Bagaimana jika sapimu begini-begitu?
Di akhir adegan mereka dilerai oleh pelawak ketiga itu, dan ternyata….sapi yang diperebutkan itu belum ada, baru ‘seandainya- menang-undian-terus-dapet-duit-buat-beli-sapi.’
Lalu ada juga gaya khas Timbul yang tidak sengaja menyolok matanya sendiri atau jarinya yang tidak bisa keluar dari lubang telinga setelah mengorek kuping. Para batur ini membuat dunia ketoprak jadi cerah dan menyenangkan. Para karakter bangsawan maupun penjahat yang berkostum gagah nan mewah malah lebih sering terlihat kalut, serius, atau marah. Dan bahkan otak anak SD saya kala itu bisa memahami bahwa dalam sebuah pementasan, selalu ada dua pihak: baik dan jahat. Kedua belah pihak pun memiliki punakawan sendiri-sendiri. Dan di akhir tentu saja yang baik yang menang.
Oh iya. Selain Ketoprak Humor, saya juga suka melihat Timbul di Srimulat. Lewat komedi, lewat tawa, terkadang saya merasa agak ‘Jawa.’ Ketoprak Humor, suara gamelan, lalu boso Jowo ngapak-ngapak, mendoan, dan kunjungan ‘paksa’ tiap April ke kampung halaman ibu membuat saya merasa terkadang budaya Jawa yang mencari dan mendapatkan saya, bukannya saya yang mencarinya.
Timbul, it would’ve been nice to have met you.