The Camera Lesson
Banyak sekali pelajaran yang gw petik dari mata kuliah fotografi-tidak semuanya berhubungan dengan teknik memotret.
Saya adalah mahasiswi semester tiga sebuah kampus ’elite’ di Jakarta-sebuah sekolah tinggi komunikasi yang cukup narsis untuk memajang figura semua foto mahasiswinya yang berprofesi sebagai aktris/model/penyanyi di sepanjang lorong antarkelas dan di dinding perpustakaan.
Hidup saya di kampus itu aman tentram dan bahagia-lalu tibalah saatnya belajar fotografi.
Sebagai anak produk kamera digital pocket, memegang kamera SLR manual (yang dipinjamkan oleh teman kakak) untuk pertama kali rasanya seperti memegang telor dinosaurus. Ngeri-ngeri norak. Nggak lama saya kelabakan nyariin tombol on/off. Setelah itu saya kebingungan lagi kenapa semuanya gelap (ternyata saya belum nyopot tutup lensanya).
Î
Kebodotan saya makin menjadi-jadi suatu sore di rumah.
Ada PR motret dari dosen.
Kamera pun saya keluarin dari tempatnya dan saya siap memutar kokangnya...oh,no-kokangnya macet entah kenapa!
Saya langsung kalap-telor dino-ku rusak!
Mana ini kamera boleh minjem lagi!
Atau baterenya habis?
Dengan sistem jempol-kebut saya meng-sms majikannya kamera ini.
Tak ada jawaban.
Kepala belakang rasanya langsung nyut-nyutan-saya menunggu sampai bokap pulang di sore hari lalu menyeretnya ke tempat cuci cetak terdekat.
Saya berderap ke konter seperti orang mau beranak.
”Mbak, kokang kameranya nggak mau muter!”
Si mbak mengangkat kamera itu, menyelidikinya sejenak, lalu memutar kokangnya.
Krek
Kokangnya muter.
Kokangnya muter begitu saja.
Jepret
Si mbak memotret muka saya yang lagi bego-begonya.
Kamera itu 100% berfungsi.
Bokap menatap saya heran.
Ternyata sedari tadi saya memutar kokangnya dengan cara yang salah.
Saya nggak tau harus nahan ketawa atau nahan malu-secepat datengnya, saya pergi meninggalkan toko itu.
Sore itu saya baru membaca balasan sms: pia, batere itu cuma berhubungan dengan lampu yang di dalem, coba kamu jepret sekali lagi...
Gua merasa sangat tengsin bahkan saya tidak menceritakan apapun pada kakak saya.
”Gimana kameranya, beres?”
”Udah,udah.”
Î
Ada enam foto yang harus saya kerjakan, masing-masing menggunakan teknik pemotretan yang berbeda.
Siapa lagi korban fotografi saya kalo bukan sang kakak.
Saya berencana membuat foto orang loncat yang tampak freeze, sehingga kakak saya tampak seperti berhenti di udara.
Kakak pun berdiri di tengah taman, Siap-siap loncat.
Lampu eksposure nggak menunjukkan tanda seimbang meskipun saya udah memutar-mutar diafragmanya (exposure artinya seimbang atau tidaknya cahaya-kalo under foto jadi gelap, kalo over jadi terang. Pada kamera manual, ditandai oleh lampu berbentuk -, 0, dan +. Ternyata ada juga yang masuk otak saya).
Kakak saya mulai terpanggang matahari, dengan gugup saya terus memutar dan memutar.
Ah, ketemuu!!
”Siap ya..1..2..3...”
Kakak lompat.
Tapi kamera nggak njepret-saya lupa muter kokangnya.
”Ups! Sekali lagi ya..sori,sori...”
Dan pada saat itu saya udah kehilangan exposure lagi karena saya berpindah posisi.
Saya lupa sampe berapa kali kakak saya lompat-lompat, tapi dia jelas-jelas tampak tidak senang ketika sesi pemotretan ini berakhir.
Î
Merasa tidak enak hati, saya memutuskan memotret teman-teman saya di kampus.
”Inget ya, Gussie (pemilik kamera) mau pakai kameranya Sabtu ini, hari Jumat pulang kuliah kamu mampir ke rumahnya,ya...”
Dengan wejangan bijak itu kakak melepas saya ke kampus.
Hari Rabu, dengan gagah berani saya membawa kamera itu menembus padatnya antrian busway. Lumayan berat sampe-sampe saya ngerasa bahu saya miring sebelah.
Hari itu langit mendung.
Ah, masih ada hari esok.
Î
Hari esok tiba.
Gerimis seharian.
Î
”Elis, ntar sore kamu saya foto ya?”
“Sip”
Hujan angin.
Î
Jumat sore, langit lumayan cerah.
Ini kesempatan terakhir saya.
Elise udah duduk manis di pinggir jendela kampus, saya pun memotret.
Pret.Pret.Pret.
Nah, tinggal satu foto terakir, foto yang tekniknya paling susah.
Agak lama saya memutar-mutar lensa, mencari exposure yang pas.
Klek.
Kokang mogok-filmnya habis.
H-A-B-I-S.
Saya berharap ini cuma mimpi, dan habis ini saya akan bangun lalu berangkat ke kampus, langit cerah, exposure gampang disetel, temen saya siap difoto.
….
Oh, saya bodoh sekali, kenapa saya tidak memperhitungkan filmnya? Dari tadi saya udah membuang-buang film percuma dengan mengulang tiap jepretan dua kali sekedar untuk jaga-jaga kalo yang pertama hasilnya jelek.
Kenapa saya tidak berjaga-jaga untuk film yang habis?
Kenapa kesialan menghantui saya di mata kuliah ini?
Kenapa dosen harus ngasih tugas?
Kenapa deadline harus hari Senin?
Kenapa film satu rol cuma 36?
Kenapa ada barang bernama kamera di dunia ini?
Saya ling-lung, lemes, dan kehilangan akal sehat.
Î
Sebelum berpisah di pangkalan angkot, temen saya menepuk-nepuk bahu saya penuh simpati.
”Sabar ya Pink, sabar...mendingan lo cepetan pulang, terus beli film, terus foto siapalah...”
Jam setengah lima sore.
Kampus di Sudirman, rumah di Kelapa Gading.
Dalam perjalanan pulang hari itu, untuk pertama kalinya saya meratapi terbenamnya matahari.
Î
Sambil gelantungan di busway, mata saya pegel nahanin air mata kesel.
Pastinya muka saya butek kayak comberan, karena saya merasakan lirikan-lirikan prihatin dari orang-orang di sekitar saya.
Saya mengalihkan pandangan ke kamera di tas saya-mencari-cari kambing hitam ke arah benda paling inosen yang ada.
Kenapa sih kamu tega banget menghancurkan hidup saya?
Kenapa sih kamu harus dateng ke dalam hidup saya dan membawa serentet kesialan?
Selama ini biasanya saya berhasil menyelesaikan semua tugas dosen dengan baik.
Tapi kali ini jelas tidak.
Saya hanya punya lima foto dari enam yang diminta.
Lima dari enam.
Î
Saat busway berakrobat-ria melewati terowongan Senen, saya jadi bertanya ke diri saya sendiri: kenapa saya pengen banget jadi sempurna?
Saya sungguh takut mengatakannya, tapi harus saya akui, sedikit banyak saya sudah meletakkan harga diri saya pada prestasi akademik yang sempurna.
Saya tidak percaya diri dengan banyak hal pada diri saya, dan ternyata disadari atau tidak, perasaan itu udah membawa saya pola pikir: ’gak ada yang bisa dibanggain pada diri saya kecuali nilai akademik saya’
Pemberhentian berikutnya: halte bermis-perhatikan barang bawaaan Anda, dan hati-hati melangkah...
Pada akhirnya, saya menyadari ternyata dibutuhkan keberanian yang lebih besar untuk menjadi tidak sempurna daripada menjadi sempurna. Semua orang pengen sempurna-tapi beranikah orang menjadi tidak sempurna?
Well, saya nggak tau kata-kata ini emang bener ato hanya gombalan orang putus asa yang lagi pengen membenarkan diri sendiri...
Î
Dua hari kemudian di Fuji Image Plaza Kelapa Gading.
Saya memegang kantong kertas itu dengan tangan berkeringat dingin.
Adakah keajaiban buat saya?
Tau-tau ada mahakarya fotografi dalam amplop ini, gitu?
Saya membuka amplop itu.
Alamak
Kemaren saya punya lima foto dari enam yang diminta.
Sekarang saya punya empat foto blur dari lima foto yang saya punya dari enam yang diminta dosen.
Kebayang pembicaraan saya dengan dosen di kelas
“Maaf Pak, minggu lalu tangan saya terkena tremor akut sehingga foto-foto saya blur…”
Saya tersenyum geli dan berlalu.
“Eeeh, Mbak..mbak…bayar dulu....”
Î
Setelah menerima hasil foto saya yang bener-bener gila jelek, ternyata saya malah merasa tenang separo lega.
Rasanya seperti bisul pecah.
Pulang ke rumah saya tidur-tiduran baca buku terus ketawa-tawa nonton TV.
Padahal dua hari sebelumnya saya diserang gejala psiko-somatis berupa diare dan sakit kepala (biasalah, penyakit orang lemah mental).
Apa, ya yang bakal menanti saya hari Senin besok di kampus?
Dan saya masih bertanya-tanya dalam hati dari mana datengnya ketenangan yang saya rasakan...
Î
Senin pun tiba.
Ternyata bagi yang menggunakan kamera analog, tugasnya dikumpulkan hari Rabu-hari ini gilirannya anak-anak digital SLR.
Dalam perjalanan pulang di busway, saya tiba-tiba merasa seperti Bandung Bondowoso
”Hey, berarti saya punya kesempatan satu hari untuk mencoba lagi...”
Malamnya, dengan kurang ajarnya saya mendatangi rumah pemilik kamera tersebut untuk meminjam lagi.
Î
Selasa malam di Fuji Image Plaza.
Tiap kali saya memegang amplop kertas itu, saya berdebar kayak pengantin baru pegang test pack.
Sraak.
Dengan bar-bar saya menuang seluruh foto itu ke meja konter.
Jelas-jelas proyek Loro Jonggrang saya ga-tot alias gagal total.
Blur lagi- blur lagi.
Saya menatap tangan saya.
Ah, perasaan tiap hari tangan saya kuat gelantungan jungkir balik di busway-masa pegang kamera aja gemeteran?
”Kenapa pada blur gitu ya, Mbak? Padahal kameranya bagus…”
Di saat-saat kritis seperti ini jelas saya nggak butuh komentar tidak diminta dari seorang penjaga konter.
Muka saya langsung kayak kawah gunung merapi.
”Gimana ya Mas, kameranya emang bagus tapi orangnya yang agak bego…”
Dalem ati aja sih.
Di luar saya cuma bilang “Iya ya…nggak tau ya…”
Tiba-tiba saya menyadari kalo foto saya kurang satu.
“Mas, foto yang ini kok nggak dicetak?” (sambil nunjuk negatif dan dengan nada menyalahkan)
“Yah, ini kan ada pose yang mirip, lagipula kita pilih yang bagus yang dicetak…”
“Yah, yang ini dicetak juga deh..” (darah udah naik ke ubun-ubun-muka saya pasti udah serem kayak leak)
“Silakan ke meja sebelah, mbak…”
Meja sebelah.
“Tolong cetak foto yang ini ya Mas.”
“Tandain aja di negatifnya.” (sambil nyodorin spidol)
“Nih.”
“Yah, kalo mau cetak 4R, minimal harus empat foto, Mbak..”
“Haahh???”
Okelah-dengan germo,eh,dengan geram saya asal menandai negatif yang lainnya.
“Nggak bisa jadi sekarang ya Mbak, besok baru bisa diambil..”
”Haahhh???”
Kali ini saya bener-bener speechless selama beberapa detik.
Besok kan tugas ini harus dikumpul???
Besok saya harus bilang apa ama dosen kalo ada satu foto yang nggak ada???
”Maaf Pak...foto saya hasilnya jelek bukan main, sampai-sampai petugas Fuji Film nggak sudi menodai karirnya dengan mencuci foto tersebut..”
Setelah syok beberapa detik kesadaran dan akal sehat saya kembali.
“Kenapa gitu, Mas???”
“Petugasnya udah pulang…besok diambil deh sekitar jam sepuluh..”
Fiuwh…untung besok saya kuliah jam satu…
Tapi bukan berarti kekesalan saya berlalu begitu aja.
Setelah itu saya melupakan segala sopan santun dalam peradaban manusia dan berlalu situ aja dengan muka sepet dan ampir lupa bayar lagi.
Î
“Tega-teganya kamu membuat aku merasa sebodoh ini….”
Pulangnya saya memarahi kamera yang tergeletak tanpa dosa di atas meja.
Saya teringat akan kamera digital pocket yang biasa saya pake
“Dia jauh lebih kooperatuf dari kamu! Tapi sialnya kini aku terjebak denganmu…dia membuatku merasa berharga, dia selalu memberikan yang terbaik untukku..dia membuatku percaya aku bisa memotret dengan baik..”
Ngambil napas bentar.
“Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu selalu merendahkan dirku…bersamamu aku selalu merasa sedih! Tega-teganya kau hancurkan hatiku…tega-teganya kau lakukan ini padaku…”
Cape jadi orang gila, saya memutuskan untuk berpaling pada tugas kampus yang lain.
Tiba-tiba saya teringat akan cita-cita saya bekerja di media cetak.
Tiba-tiba saya teringat akan gawatnya keadaan saya sekarang.
Wowo, mau jadi wartawan tapi nggak bisa motret bener?
Benar-benar hancur karir yang belum saya mulai.
Í
Hari ini Tuhan memberi saya pencerahan yang terang benderang.
Eh, kok elo pesimis banget yah?
Ini kan baru tugas pertama-bukan nilai ujian pula.
You can’t be perfect the whole time, remember?
Ini latihan pertama, masih banyak waktu untuk belajar.
Lo kan bukan satu-satunya orang di kelas yang hasilnya blur.
Kalau pun lo memang ditakdirkan jadi orang yang bego kamera...well, you’ll live though...
Saya mengSMS temen sekelas saya yang nasibnya blur juga dan besok berencana konsul bareng ke Pak Dosen.
Oke, saya nggak akan menyerah di percobaan pertama! Gua akan berusaha!
Í
“Oke, kumpulin ya tugasnya.”
Senin itu di kampus.
Dosen saya mulai mengangkat kliping hasil foto tiap murid yang numpuk di mejanya lalu membahasnya satu per satu.
Membahas.
Satu per satu.
Rasanya saya pengen ijin ke WC dan tidak kembali lagi sampai jam mata kuliah berikutnya.
Itu dia-dosen mulai membuka-buka hasil foto saya.
Senyum.
Geleng-geleng.
Haha..
Dia tertawa di depan kelas sambil mengangkat hasil foto saya tinggi-tinggi.
“Mana yang namanya Pink Piggy?”
“S-saya…”
“Kamu nggak fokusin dulu sebelum motret…”
Dia mulai menggambar lingkaran kecil dengan garis horizontal membelah di tengah-tengah.
Sebuah simbol yang ada di jendela kamera-well, ternyata dia bukan ornamen pajangan.
Lho, mana saya tahu kalo saya nggak dikasitau sebelumnya?
Tapi, melihat hasil foto anak kelas saya yang lain, sepertinya semua orang udah pada tau hal itu.
Kecuali saya.
Ih, kok semua orang pada tau sih?
Rasanya seakan saya satu-satunya orang yang baru tau kalo dinosaurus udah punah.
“…jadi, diharapkan untuk praktek berikutnya, hal ini jangan terulang lagi…”
Hey!
Saya tersentak dalem ati.
Berarti...It’s ok with my hand...Berarti saya nggak tremor-saraf tangan saya masih bekerja dengan baik dan normal-nggak ada masalah dengan cara saya memegang kamera...
Masih ada kabar baik buat saya-jarang loh saya bisa seoptimis ini!
”Oke, Sabtu depan kita ketemuan di Ancol jam 10 pagi, ya...kita mau praktek teknik-teknik creative exposure-jadwal kelas kalian bisa di-cek ke akademik.”
Kuncup lagi optimisme saya.
Í
Matahari dan kamera.
Kamera dan matahari.
Dua hal yang paling saya benci di dunia ini (selain serangga dan dokter gigi,sih)
Saya benci matahari karena kulit saya intoleran terhadap sinar matahari terik.
Saya benci kamera karena...karena saya bodoh..karena saya belum berhasil ’menjinakkan’ barang yang satu ini.
Dua-duanya akan saya hadapi Sabtu ini.
Malamnya sepulang dari kampus, saya kembali ke Fuji untuk beli film (sekaligus minta pasangin, hehehe)
Sembari mas-mas penjaga konter memasukkan film ke kamera, dia ngoceh
”Motret sendiri pake kamera gini...kalau hasilnya bagus, wah...puasnya bukan main...bisa menghasilkan foto yang bagus dengan usaha kita sendiri, kita yang nentuin objeknya, lokasinya,...”
”Ah, saya baru belajar.”
Omongan saya nggak didenger.
”Tapi kalau hasilnya jelek, wah....nyalahin siapa? Ya nyalahin diri sendiri aja, deh..”
Saya mulai menatap si penjaga konter dengan penuh curiga.
Ini curhat colongan, ngelantur, ngeledek ato balas dendam terselubung karena sebelumnya saya meninggalkan toko ini dengan muka kayak sayur asem sih???
“Iya tuh, bener banget...saya juga keselnya bukan main...”
Saya amini sekalian deh omongannya sambil memberi special effect berupa kepalan tinju yang dihantam pelan ke atas kaca konter.
Sambil berjalan menuju parkiran, saya menatap kamera di tangan saya.
Ok, this Saturday...it will be you and me...abis-abisan deh, saya nggak mau kecolongan lagi..
Mendadak semangat saya terbakar.
Saya pengen penjaga konter yang (agak) banyak mulut itu mencuci film saya dan berdecak kagum melihat hasilnya di ruang gelap.
Í
Hari Rabu di perpus kampus.
Saya dateng tiga jam lebih awal dari jam kuliah-tumpukan buku fotografi udah menjulang siap untuk saya telen. Ato lebih tepatnya siap untuk menelan saya.
Setelah itu saya juga bela-belain ngenet untuk research foto yang bagus.
Mungkin harusnya saya lakukan ini dari awal.
Sekarang saya mempersiapkan diri untuk praktek cretive exposure Sabtu ini dan tugas final yang maha penting untuk akhir semester (saya memilih untuk memotret kelinci piaraan saya-objek yang nggak bakal protes kalo hasil fotonya jelek hehehe)
Í
Sabtu super terik di Pantai Ancol.
“Hari ini kita belajar teknik Creative exposure, bla…bla..bla…”
Oh my God, susah sekali konsentrasi di tengah hiruk-pikuk pantai hari Sabtu.
”Jadi, efeknya nanti foto yang kalian hasilkan akan blur backgroundnya...”
Hah? Saya denger kata blur!
Sounds good, blur is my specialty…bring it ooonn!!!
Í
Ternyata yang dimaksud dengan blur di sini adalah teknik panning (mengucapkannya aja udah bikin pala saya pening), yang akan menghasilkan foto kendaraan bergerak yang tampak freeze sedangkan backgroundnya tampak blur. Complicated ya?
Minggu sore yang adem, saya ngejogrok di pelataran rumah, siap ’menangkapi’ semua sepeda, motor, mobil, angkot, apapun yang bergerak di depan mata saya.
Saat itu saya disadarkan akan sebuah alasan baru kenapa saya nggak suka dengan praktek fotografi ini.
Once you hold a camera in your hand, people tend to look at you.
Coba aja, sorongin kamera ke arah siapapun, pasti orang itu bakal langsung nengok ke elo. Coba masuk ke ruangan penuh manusia dengan mengalungi kamera di leher lo-minimal
Entah kenapa kamera selalu menarik perhatin orang.
Selama ini saya nggak tahu kenapa rasanya nggak nyaman banget jalan sambil memegang atau mengalungi kamera.
Ternyata saya nggak suka dengan perhatian yang ditimbulkan kamera ini.
Saya jadi teringat tragedi ’Bajaj Penyok’ yang legendaris di kampus saya, yang diceritakan turun-temurun di tiap angkatan.
Alkisah, anak-anak kampus dari angkatan yang jauuhh di atas saya sedang praktek fotografi di kampus.
Segerombolan mahasisiwa ngeker-ngeker pake kamera di pinggir jalan Kebon Sirih yang cukup rame.
Seperti yang udah saya rasakan sendiri, meskipun orang-orang lagi nyetir, melihat kamera disorongin ke arahnya mereka tetep aja nengok-nengok.
Nengoknya lama lagi.
Termasuk sopir bajaj yang lewat siang itu, si abang malah sempet senyum-senyum ke-GR-an.
Nggak lama kemudian....BRAAAK!!
Semua mahasiswa yang secara tidak langsung sebenarnya bertanggung jawab atas peristiwa itu langsung terbirit-birit masuk ke gedung kampus.
Í
Bijakkah keputusan saya untuk menjadikan Josh, kelinci piaraan saya sebagai model untuk tugas final fotografi?
Well, yang jelas ketika saya memutuskan untuk membuat iklan layanan social ‘no animal testing’ sebagai project final fotografi, saya merasa seperti orang paling cerdas di dunia.
It’s easy, right?
Lepas aja kelinci kamu di kebun, foto dia di sekitar daun-daunan…dan jadilah foto alami yang cukup keren-mudah dan bisa dikerjakan di rumah kapanpun.
Siapa sih yang nggak suka sama kelinci?
Ini pasti bakal jadi foto bagus yang menyentuh dan membuat iba hati orang yang melihatnya.
Ya kan?
Ngg…saya lupa kalo kelinci adalah model paling tidak kooperatif di dunia.
Sambil iseng ngabisin film sisa praktek Ancol, saya memutuskan untuk memotret Josh di kebun.
“Josh sayaang…foto-foto yuk??”
Mula-mula saya memotret kelinci saya dari balik jeruji kandangnya.
Mmmm…lucu nih, nanti tag line-nya: jangan penjarakan aku…
Setelah itu saya melepas dia di kebun lalu duduk-duduk sambil menunggu kelinci saya melakukan pose ’imut’ atau ’mengibakan hati’
Boro-boro.
Si Josh malah asik ngorek-ngorek sampah, naik ke atas pot tanaman dan membuat bulu putih di dada dan kakinya berlumur kotoran.
”Josh...Josh...”
Saya memberi dia sedikit daun-daunan segar (duh, untung nyokap saya nggak ngeliat).
Sogokan itu ternyata tidak membuat dia jadi lebih kooperatif-karena setelah itu dia malah mendekat ke arah saya tiap kali mau difoto dan cenderung berniat menyerang lensa kamera.
”Tidaaak....”
Sepertinya perjalan menuju foto final masih panjang.
Yah, sepanjang lima atau enam rol film lagi, deh...
Apa sebaiknya saya motret tanaman sayur aja yah????
Í
Panning: sebuah teknik fotografi dimana objek yang bergerak secara horisontal tampak freeze dan latar belakang tampak blur.
Panning ala pink piggy: sebuah teknik fotografi dimana objek yang bergerak secara horisontal tampak blur kehitaman seperti genderuwo dan latar belakang sangat jelas cerah-ceria.
Duh, gagal maning, gagal maning....Nurma yang malang... (model foto itu sebenarnya teman saya yang tampak manis dalam baju rajutan ungu lengan panjang, tetapi karena salah fotografernya, muka sampe kakinya item semua kayak siluet)
Apa foto ini saya jual ke majalah Misteri aja yah?
Belum pernah kan ada foto penampakan jam dua belas siang di pantai Ancol?
On the bright side, hasil foto-foto lain cukup memuaskan menurut standard saya yang diturunkan (pokoke asal nggak bikin saya malu aja).
Foto dikumpul minggu depan-sebenarnya kalo mau saya bisa sempet banget ngulang dua teknik foto yang hasilnya agak kurang...tapi kok saya males yah?
Kayaknya ada hubungan dengan harga satu rol film ASA 200 yang Rp 25.000 dan ongkos cetak 4R makan duit saya sampe Rp 60.000 (bonus satu bungkus tisu basah).
Mata kuliah ini sangat menguras isi dompet mahasisiwa yang pake kamera manual...duh,sekarang saya harus milih: duit ato foto.
Which one? Which one?
Í
Kenapa akhir-akhir ini muncul bercak-bercak putih di foto saya sih?
Hari itu saya menanyakan hal tersebut pada dosen.
Di negatifnya juga ada bercaknya?
Ho’oh, Pak.
Kayaknya kamera kamu jamuran.
Jamuran?
Jamuran??
Apakah kamera saya mulai berubah menjadi oncom???
Duh, padahal tinggal dua tugas lagi…
Í
Dengan perasaan malas kelas berat; saya memutuskan untuk memotret kelinci saya lagi di sela liburan natal.
Oh iya, krisis bintik-bintik putih sudah kelar-ternyata kesalahan ada di pihak pencetak (dijelasin berulangkali sama petugasnya saya nggak mudeng2-intinya foto2 saya bisa dibersihin deh)
Hati saya selalu berat banget kalo mau ngerjain tugas fotografi.
”Keluar, Josh!” dengan separo hati saya melepas kelinci di kebun.
Siang itu untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, langit cerah lagi.
Enak banget buat foto2.
Cuaca berangin.
Dan ajaibnya, nggak seperti percobaan terakhir, kelinci saya sedang aktif-aktifnya bertingkah lucu dan bermain-main keliling kebun.
Saya mulai memotret dan memotret.
Nggak ada siapapun di kebun kecuali saya dan kelinci.
Tanpa sadar saya udah mengotori baju saya dengan berjungkir balik di sudut-sudut jorok kebun.
Kebanjur nanggung, saya nangkring sekalian sambil bersender kelelahan-nggak terasa saya sampe keringetan.
Eh dasar mujur, Josh mendadak dengan sukarela berlari ke depan lensa dan berselonjor diam dengan gaya sphinx sambil kepalanya tegak menghadap kamera.
Saya kaget setengah mati.
Kamu minta difoto, ya???
Hari itu Josh jadi kelinci paling kooperatif di dunia.
Seneng juga punya kelinci banci tampil begini.
Mulai bosen memotret kelinci, mata saya menangkap objek2 lain yang tiap hari ada di kebun tapi nggak pernah saya anggap penting kehadirannya.
Lebah kuning bergaris-garis hitam sedang nangkring di bunga pink dan mengisap madu.
Kupu-kupu dengan corak sayap hitam putih berkeliling kebun.
Serangga berbadan panjang warna biru metalik yang keren banget lagi jalan-jalan di atas pupuk NPK yang berwana biru muda.
Semut di dinding membawa beban remah makanan yang sangat menakjubkan untuk ukuran tubuhnya yang kecil.
Saya mendekati mereka dengan kamera di muka.
Saya nggak tau darimana saya mendapat keberanian itu-saya fobia banget sama serangga.
Saya nggak pernah sedekat itu dengan serangga.
Tapi siang itu udara mungkin agak magis-saya merasakan sesuatu yang rasanya enak muncul dalam hati saya.
Untuk pertama kali, saya memotret bukan karena mengerjakan tugas.
Bukan karena ingin mendapat foto yang bagus.
Bukan karena ingin mendapat nilai.
Serangga-serangga itu berulangkali kabur dan bergerak-lebih nyusahin dari Josh.
Tapi saya rela jongkok dan menunggu berapa lamapun.
Saya bengong di kebun-sendirian, hanya ada saya dan kamera.
Saya merasa…gimana ya?
Saya pengen banget menceritakannya tapi saya nggak nemu kata yang tepat untuk menggambarkan rasanya saat itu.
Mungkin itu semacam perasaan yang menyenangkan yang lo rasakan ketika lo mengalahkan rasa takut lo.
Saya seakan lupa semua ketakutan saya akan serangga (yep-termasuk kupu2. Bagi saya kupu2 tuh sama aja ulat terbang).
Saya masih jumpalitan di kebun sampai lewat jam makan siang.
Saya nggak merasa capek atau kesel.
Saya merasa senang.
Saya bahkan nggak rela ketika rol film mulai menipis.
Emang udah banyak foto yang saya ambil sih..tapi saya masih ingin memotret.
Kesimpulan yang saya dapet:
- Hari ini saya belajar mengalahkan rasa takut saya
- Ternyata saya lebih suka memotret hewan-mereka memang menyebalkan dan kadang menjijikkan...tapi entah kenapa saya rela dibuat susah sama mereka. Saya suka memotret objek yang tidak sedang berpose untuk kamera.
- Saya lebih nyaman memotret kalo nggak ada manusia di sekitar saya
Ô
Call me crazy, whatever.
Malam ini saya tertidur dengan satu tekad
Besok saya ingin segera memotret lagi.
Ô
Akhirnya saya lebih memilih foto seekor lalat menempel di dahan kering daripada foto-foto imut kelinci saya.
Foto itu nantinya akan dicetak ukuran besar sebagai tugas final-masalahnya, advertisement apa yang memakai lalat rumah sebagai modelnya?
Otak saya mulai pusing berpikir.
Ô
Photographic Communication C-
Ya Tuhanku dan Allahku…dua bulan berlalu dan saya berdiri lemas di depan layar komputer kampus memandangi nilai C pertama saya.
Fotografi kayaknya emang bukan bidang saya-tapi saya selalu berusaha keras setengah mampus netesin air mata dan keringet (terutama waktu kelas outdoor di Ancol, tuh).
Masa semua usaha itu jadi C? Minus lagi???
Rasanya sia-sia banget semuanya...
Emang sih, tak ada gading yang tak retak...tapi masa retaknya segede ini, sih? Ini mah remuk jadi serbuk, namanya....
Pada akhir pelajaran, ada yang bertanya sama saya: ”Jadi, gimana...kamu suka dengan mata kuliah ini nggak?”
Saya mikir bentar.
”Yah lumayanlah...tapi saya lebih suka memotret dengan kata-kata.”