Movie review score
5

BAB 1

LATAR BELAKANG

Jalanan sering bersikap tidak ramah bagi mereka yang terburu-buru. Siang itu saya hampir terlambat untuk sebuah janji yang sangat penting, dan celakanya jalanan macet berat. Mobil saya merayap pelan tanpa harapan. Jam pulang kantor? Bukan. Jam berangkat kantor? Bukan. Jam makan siang? Juga bukan.

Lama setelahnya saya baru menyadari apa yang terjadi. Sepasang mobil yang mengalami kecelakaan terparkir ringsek di pinggir jalan-bukan di jalanan tempat mobil saya merayap, melainkan di jalur sebelah yang berlawanan arah.

Memang bukan berita baru. Kecelakaan mobil, demonstrasi, dan kawan-kawannya selalu membuat macet, di semua jalur. Jalur pertama: terhalang, jalur kedua: kepingin nonton. Begitulah kita. Kita ingin menjadi yang pertama untuk tahu. Setelah itu? Kita ingin bercerita. Bayangkan apa yang akan saya bicarakan setelah sampai nanti dan bertemu dengan teman saya “Eh, tau nggak, tadi gue liat apa di jalan…”

Sebenarnya rasa penasaran alami ini tidak selalu hal yang buruk. Saat saya mengerjakan paper ini, ledakan bom terjadi di Hotel JW Marriot dan Ritz-Carlton. TV dan radio ramai oleh informasi simpang-siur, tidak ada yang jelas. Ahkirnya, siapa yang menyediakan gambar-gambar eksklusif peristiwa ini? Para karyawan Mega Kuningan yang baru tiba di tempat kerjanya dan segera mendekati lokasi setelah mendengar suara ledakan.

Semester lalu, dosen saya bercerita kalau manusia tidak dirancang untuk menyimpan rahasia. Jika kita memegang sebuah informasi berharga, bohong besar kalau bibir kita tidak pernah ‘gatal’ ingin berkicau. Menyimpan rahasia dalam waktu lama (katanya) bisa membuat kita tersiksa. Kalau menurut Dan Gillmor, “we are a society of voyeur and exhibitionist.” Ah, jangan-jangan itu salah satu faktor yang membuat popularitas Citizen Journalism makin meroket hari-hari ini.

Apa itu Citizen Journalism? Saya akan menceritakan kembali apa yang dikatakan oleh Wikipedia. Pada dasarnya, Citizen Journalism (atau sering juga disebut Street/Participatory/Public/Grassroots Journalism/Jurnalisme Partisipasi) adalah sebuah konsep dimana anggota masyarakat memainkan peran aktif dalam mengumpulkan, menganalisa dan menyebarkan informasi atau berita. Public atau citizen journalism juga dikaitkan dengan hyperlocalism karena komitmennya yang luar biasa pada isu-isu lokal, yang ‘kecil-kecil’ (untuk ukuran media besar), sehingga luput dari liputan media mapan.

Dari definisi ini saja, kita dapat mengetahui bahwa siapapun bisa menjadi jurnalis dalam konteks Citizen Journalism. Belakangan jumlah dan perkembangan jurnalisme partisipasi memang meroket-menurut saya, ada dua faktor yang memicunya:

  • Perkembangan teknologi informasi
    Hampir setiap orang sudah memiliki peralatan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang citizen journalist berkat kemajuan teknologi yang ramah untuk konsumen tapi juga memiliki fitur canggih ala profesional-biasanya disebut alat ‘prosumer’ alias professional for consumer. Contohnya: kamera digital pocket. Bahkan, kalaupun gambar Anda nggak bagus-bagus amat, jika memang memiliki news value yang dahsyat, stasiun TV tidak akan keberatan untuk membelinya. Contoh: video amatir seputar bencana alam yang biasa diputar televisi, yang biasanya blur/pecah dan goyang. Faktor besar lain yang memainkan peranan adalah jaringan internet yang sudah berjasa menyediakan ‘ruang’ untuk mempublikasi hasil karya para citizen journalist tanpa birokrasi yang rumit. Umumnya, yang kita butuhkan hanyalah seutas kabel telepon, modem atau wi-fi gratisan. Sistem ini membuat siapapun bisa ‘memotong kompas’ menuju publikasi secara global-tanpa perlu memikirkan gatekeepers, editor, dan kawan-kawannya karena tiap orang adalah editor bagi tulisannya sendiri.
  • Anjloknya kredibilitas televisi sebagai sumber berita
    Penelitian oleh Roper Organization di tahun 60-an pernah menunjukkan bahwa televisi makin menjadi sumber informasi yang paling dipercaya audience, menggeser koran dan radio yang sudah lebih dulu menguasai pasar. Pemicunya adalah karena kredibilitas kinerja TV dalam mengekspos penembakan Presiden Kennedy, Perang Vietnam, perjuangan Martin Luther King, dan pendaratan pertama manusia di bulan (yang kini malah diragukan kebenarannya). Tapi kini, situasinya sudah berbeda. Muncul julukan ‘pack journalism’ alias tabloidisasi media. Istilah ini merujuk pada fenomena dimana televisi, bahkan stasiun berita, lebih menjual sensasi daripada esensi. Perhatikan berita siang di TV-TV nasional. Semua didramatisir, membuat saya merasa geli. Sebelum masuk ke VT berita utama, diputar semacam ‘video clip’ cuplikan gambar berita lengkap dengan ‘theme song’ yang mendukung atau berita kriminal dengan sound effect semacam film horror Suzanna. Semua pernak-pernik itu justru membuat TV kehilangan kredibilitasnya, karena saluran berita bertingkah norak seperti opera sabun. Seringkali, mungkin karena ‘dikejar setoran’ pemasukan, TV menyajikan berita yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk headline-nya, tapi asal laris. Seperti ekspos pemberitaan seputar Manohara Odelia Pinot (saya tidak habis pikir bagaimana konsumsi acara gosip seperti ini bisa menggeser pemberitaan seputar persiapan Pemilu) atau kebakaran di Soto Lamongan (klip diiringi lagu sedih diputar berulang-ulang). Bukannya memperjelas, tidak jarang televisi justru menimbulkan polemik atau prasangka.

Nah, dari mana fenomena ini berawal? Bibit-bibit semangat Citizen Journalism sudah bisa dilacak dari ketika Gutenberg menemukan mesin cetak pada tahun 1946 dan membuat informasi bisa diakses dengan lebih mudah untuk semua ‘rakyat jelata.’ Sebelumnya, membaca buku adalah barang yang super mewah, karena buku masih sedikit jumlahnya dan ditulis tangan. Pada saat Gutenberg mencetak Alkitab untuk semua orang, terjadi revolusi dimana firman Tuhan dibebaskan dari kungkungan doktrin penguasa informasi. Semangat yang sama masih terjadi dalam dunia Citizen Journalism masa kini. Alkisah, pada pemilihan presiden AS tahun 2004 (George W. Bush vs John Kerry) masyarakat jenuh dengan pemberitaan media yang dikuasai oleh partai-jika di sini, mungkin kasusnya seperti Metro TV dengan Partai Golkar. Pada saat itulah masyarakat malah mengandalkan blog untuk mendapatkan berita dengan perspektif yang berbeda. Peristiwa ini ikut meledakkan popularitas Citizen Journalism. Pada tahun yang sama, sebuah web bernama AssociatedContent.com diluncurkan, dan ia mengklaim dirinya sebagai “People’s Media Company” karena menjadi media pertama yang memberi bayaran pada pemakainya yang berhasil menerbitkan artikel berkualitas. AssociatedContent lalu disusul oleh WorldVoiceNews.com, situs sejenis yang mengusung moto “Honest and Unfiltered” pada tahun 2008.

Di Indonesia sendiri, Citizen Journalism belum terlalu lama eksis. Pelopornya adalah detik.com, yang terasa ‘indie’ karena memberi alternatif konsumsi berita pada saat pasar Indonesia sudah begitu nyaman oleh media mapan. Tapi jika dipikir-pikir detik.com juga bukan murni citizen journalist. Media yang lebih condong ke Citizen Journalism adalah blog. Bisa dibilang, keberadaan blog di Indonesia saat ini sudah sangat banyak, salah satu blog terbaik adalah perspektif.net (masuk dalam daftar 10 blog terbaik versi Majalah Tempo). Tidak hanya berupa blog, penyebaran foto dan video secara amatir juga sudah menjadi hal yang jamak di sini-foto kecelakaan di jalan tol pagi ini bisa di-upload dalam waktu setengah jam oleh saksi mata yang melintas ke dalam akun Facebooknya. Media besar nasional nampaknya juga mulai menyadari kekuatan Citizen Journalism, terbukti dengan seringnya courtesy video amatir dimasukkan dalam berita dan bahkan Metro TV memiliki acara sendiri yang khusus menayangkan video hasil Citizen Journalism, berjudul i-Witness. Fakta bahwa media mapan Indonesia begitu terbuka pada Citizen Journalism menjadi hal yang unik, mengingat di negara bebas seperti AS saja, Citizen Journalism masih dipandang sebelah mata oleh media besarnya.

Apa saja yang termasuk Citizen Journalism? Jawaban dari pertanyaan ini bisa sangat luas; dari komentar user yang di-post pada berita/blog, video dari handycam pribadi, berita lokal oleh media komunitas, situs web berita independen, situs partisipatoris murni (seperti AssociatedContent atau OhMyNews-nya Korea), mailing list, email berantai, sampai situs penyiaran seperti YouTube dan jejaring sosial seperti Facebook. Untuk mengenal lebih jauh mengenai Citizen Journalism yang katanya sedang menjadi ‘the hottest topic’ di dunia jurnalistik, mari kita lihat ‘senjata’ yang biasa dipakai oleh ‘orang biasa’ untuk menyebarkan berita:

  1. Mailing list dan forum
  2. Blog
  3. Wikipedia
  4. SMS
  5. Ponsel (yang dilengkapi dengan kamera/video.perekam suara), PDA, Blackberry, dan jaringan 3G
  6. Layanan internet broadcasting
  7. Alat elektronik pribadi-seperti handycam, kamera pocket, komputer/laptop

BAB 2

PERMASALAHAN

“Freedom of the press limited to those who own one.”

- AJ Liebling-

Seseorang berjalan melintasi Monas yang ramai oleh wisatawan. Mendadak sebuah kereta wisata terguling dan puluhan anak kecil luka-luka. Orang itu mengambil kamera ponsel dan merekam, lalu ia meng-upload video itu ke blogspotnya. Dalam waktu singkat semua orang sibuk membahas mengenai keamanan fasilitas wisata di blognya.

Semudah itu.

Orang-orang yang tadinya dikenal oleh media sebagai ‘sasaran tembak’ (menurut teori Hypodermic Needle) atau sang konsumen, kini berubah menjadi produsen. Citizen Journalism membawa angin revolusi-mereka yang tadinya tidak didengarkan, kini dianugerahi ‘suara’. Dari anak kecil (tahun 2003, seorang anak menangkap penculiknya berkat kamera ponsel), perempuan tertindas (blog wanita Iran), rakyat negara otoriter (blog rakyat RRC), sampai si perekam Monas di ilustrasi tadi-bisa saja ia tipe karyawan culun yang sering tidak dianggap dalam rapat-rapat. Intinya, semua kelompok masyarakat yang tadinya tidak punya corong untuk mengungkapkan suaranya, yang terlewatkan oleh media besar, entah karena memang sengaja (media seringkali dikontrol pemerintah, pengiklan, dan investor) atau tidak, kini bisa didengar.

Jurnalisme bukanlah lagi ranah yang dikuasai oleh para jurnalis-dan jurnalis juga bukan lagi sekumpulan manusia misterius yang bekerja di balik meja; jurnalis itu bisa jadi Anda dan saya. Citizen Journalism telah membawa perubahan-masalahnya, perubahan tidak selalu diterima dengan mulus. Media besar cenderung bersikap skeptis, pemerintah cenderung bersikap represif. Beberapa kritik yang diterima Citizen Journalism:

  • Masalah profesionalisme – apakah kaum awam bisa menyusun berita dengan benar, mengingat mereka tidak memiliki latar belakang dan pengalaman jurnalistik?
  • Masalah etika – para citizen journalist dinilai tidak memahami kode etik jurnalistik
  • Masalah objektivitas – para citizen journalist dinilai tidak bisa bersikap objektif karena pasti akan memakai sudut pandang pribadinya dalam mengolah informasi

BAB 3

PEMBAHASAN

Pemilihan presiden di Iran tidak berakhir baik-baik. Mousavi merasa dicurangi, kemenangan Mahmoud Ahmadinejad ditentang. Gelombang demonstrasi mahasiswa mulai memanasi kotaTeheran, bentrok dengan aparat tak terhindarkan, korban tewas berjatuhan. Semua wartawan asing yang tadinya diterima dengan tangan terbuka oleh pemerintah untuk meliput ‘demokratisasi di Iran’ mendadak diusir keluar negara. Lalu lintas SMS diblokir, internet sangat lamban, saluran ponsel hanya siang hari. Facebook, YouTube, dan Yahoo! Messenger diblokir. Dua puluh enam wartawan dan blogger Iran dijebloskan ke penjara.

Di tengah situasi itu, perhatian dunia tersedot oleh rekaman video ponsel berdurasi 40 detik mengenai kematian seorang gadis berusia 27 tahun bernama Neda Agha-Soltan akibat terjangan peluru di tempat demonstrasi, yang lolos lewat situs jejaring sosial Twitter. Para citizen journalist dari dalam Iran pun meluncurkan banyak berita lain ke dunia luar, mayoritas lewat Twitter. Salah satu yang paling terkenal adalah Persiankiwi, yang setelah beberapa lama menuliskan berita tiba-tiba menghilang, diduga diciduk oleh pemerintah. Peristiwa ini membuka mata dunia pada situasi sebenarnya di Iran dan fakta bahwa kaum perempuan ikut terlibat aktif dalam aksi protes di Iran (setelah kita tahu bahwa kaum perempuan di Iran tidak mendapat perlakuan yang setara dengan laki-laki).

Mengapa Citizen Journalism seakan menjadi ‘juruselamat’ di tengah situasi-situasi represif, seperti di Iran, RRC, dan Saudi Arabia? Menurut Charles Berger dalam Uncertainty Reduction Theory-nya; “High level of uncertainty causes increases in information-seeking behavior.” Situasi yang tidak menentu justru akan meningkatkan rasa penasaran kita-dan jangan mengira negara otoriter saja yang bersikap represif pada para citizen journalist-pemerintah Singapura dan Perancis juga dikenal suka ‘mencampuri’ bidang ini.

Bahkan, di negara bebas seperti Amerika, Citizen Journalism kerap berbenturan dengan media besar. Salah satu kasus yang mencolok adalah Kevin Sites, seorang wartawan CNN yang dipaksa oleh kantornya untuk berhenti menulis di blog pribadinya. Beberapa kasus lain juga terjadi di negara yang sama. Anehnya, ada semacam sikap dualisme oleh media besar dan pemerintah terhadap Citizen Journalism-sikap ‘benci tapi butuh.’ Contohnya:

  • Februari 2003, setelah pesawat ulang-alik Colombia meledak, NASA mengumumkan ke masyarakat, mencari siapapun yang memiliki foto terkait peristiwa itu untuk membantu investigasi. Ratusan orang merespons.
  • Seminggu sebelum perang Irak 2003, stasiun TV BBC meminta foto-foto seputar konflik itu pada pemirsanya. BBC mendapat foto-foto esay yang bagus dari ratusan penontonnya.

Seharusnya, melihat antusiasme masyarakat dalam mengakses informasi dari para citizen journalists, media mapan sadar untuk mengurangi ‘gengsinya.’ Mereka sering menaruh curiga pada kredibilitas Citizen Journalism, mengecap mereka sebagai tidak akurat-bahkan hoax. Memang, kemungkinan itu ada pada dunia Citizen Journalism, tapi Dan Gillmor dalam bukunya “We The Media” mengatakan bahwa internet bersifat ‘self-correcting,’ atau ‘self-editing’ dalam hal fakta maupun moral yang terkandung dalam sebuah informasi di internet. Audience kita bukan lagi audience pasif yang kekurangan informasi seperti pada jaman propaganda media ala Hypodermic Needle Theory. Ini adalah era masyarakat informasi, yang sudah ‘diramalkan’ kedatangannya oleh Alvin Toffler sejak lama. Masyarakat informasi adalah bagian dari ‘gelombang ketiga’ (gelombang pertamanya adalah masyarakat agrikultur sedangkan gelombang kedua adalah masyarakat industri) dimana masyarakat sangat bergantung pada informasi dan memiliki kebutuhan akan informasi-tentu saja dengan komputer & internet sebagai media andalan.

Gillmor mencontohkan, saat ia menulis di blog, pembacanya biasa akan mengomentari kesalahan yang ada pada tulisannya, atau mengemukakan pendapatnya yang berlawanan. Demikian juga dalam hal Wikipedia-semua orang yang melihat kesalahan dalam sebuah artikel dapat turut mengedit sampai akhirnya Wikipedia kini dikenal sebagai sumber informasi online yang terpercaya dan netral-bahkan pada saat ia membahas topik kontroversial. Semua orang memiliki informasinya; mereka bisa saling mengoreksi dan menilai sendiri, mana informasi yang benar dan mana yang melantur. Kelebihan dari Citizen Journalism mengatasi risiko yang dikandungnya.

Di sisi lain, media mapan juga bukan jaminan kejujuran. Banyak foto yang bisa dimanipulasi lewat program Photoshop di media cetak (seperti kasus foto Senator John Kerry dengan Jane Fonda yang membuat mereka seakan berdemonstrasi bersama menentang perang Vietnam), juga kasus serupa di media elektronik seperti saat reporter Metro TV salah menginformasikan bahwa Gunung Merapi telah meletus. Media besar tidak lolos dari kekurangan: media elektronik terkena tabloidisasi, media cetak membutuhkan waktu (lebih) lama untuk menyajikan informasi, media online memang sangat instan-tapi juga sering ‘kurang bergizi’ dalam hal konten.

Sesungguhnya, semua ‘ribut-ribut’ seputar Citizen Journalism ini tidak akan membuat heran Marshall McLuhan, meski yang bersangkutan telah meninggal pada tahun 1980. Sejak tahun 1960-an ia sudah membagi sejarah peradaban manusia ke dalam 4 tahap:

  • Tribal Age
    Zaman sebelum ada tulisan, sehingga semua komunikasi dilakukan secara lisan dan indra pendengaran menjadi dominan. Disebut juga ‘dunia yang akustik.’
  • Literacy Age
    Alfabet ditemukan, sehingga tulisan berkembangdan indra penglihatan mulai memainkan peranan.
  • Print Age
    Mesin cetak Gutenberg ditemukan. Komunikasi pada masa ini menjadi lebih leluasa dan menyebar cepat, indra penglihatan menjadi dominan
  • Electronic Age
    Inilah masa dimana kita hidup sekarang. Aneka teknologi komunikasi ditemukan (dari telegraf sampai internet) sehingga dunia ini menjadi sebuah ‘global village’ lagi-sebuah desa global dimana manusia bebas berkomunikasi seakan tidak ada jarak geografis. ‘Desa akustik’ di masa Tribal seakan muncul lagi karena indra pendengaran mulai berperan dan ‘keributan’ di satu tempat dengan cepat bisa diketahui di tempat lain.

Kemajuan teknologi (komunikasi) telah mengubah ruang sosial kita. Kita semua adalah bagian dari dunia yang terus bergerak dengan dinamis, dan pilihan untuk menjadi audience yang aktif ada di tangan kita. Mengapa media besar terus mengkritisi mutu Citizen Journalism, padahal yang namanya berita itu dibuat untuk masyarakat, bukan untuk media?

BAB 4

KESIMPULAN

Kemarin, kelas kami mengadakan kunjungan ke Kedutaan Republik Zimbabwe untuk mengenal lebih jauh kebudayaan mereka. Staf yang mendampingi kami menutup pertemuan dengan sebuah pesan yang menarik untuk dipikirkan. Menurutnya, penduduk Asia (dalam hal ini Indonesia) dan Afrika (dalam hal ini Zimbabwe) biasa mengenal satu sama lain dari perspektif ‘asing’, alias media barat seperti CNN, ABC, BBC, dan media-media online. Itu sebabnya kita sering memberi citra buruk satu sama lain, karena yang biasa diekspos oleh media barat hanyalah berita buruk tentang negara berkembang. Maka, menurutnya, kita perlu mengisi jurang informasi di antara kedua benua. Tercetus dalam benak saya, tugas itu dapat diemban dengan baik oleh para citizen journalist.

Kenapa tidak? Citizen Journalism telah berhasil ‘memerdekakan’ orang-orang yang sebelumnya tidak dapat mengekspresikan suaranya, karena terdiskriminasi oleh media mapan. Berkat Citizen Journalism, sumber informasi tidak lagi terpusat di media-media besar. Kita sudah menyinggung contoh kasus di Irak, Amerika, Indonesia, dsb. Rakyat tertindas bisa menyuarakan kebenarannya menembus blokade negara, korban bencana bisa membuka mata dunia akan kondisi lingkungannya, wanita yang terkungkung dalam budaya patrilineal keras bisa membuat nasibnya diketahui dunia. Citizen Journalism telah membentuk sejarah, dan sejarah itu bukan lagi HIS-story. Kisah itu adalah kisah kita semua, tanpa ada yang terlewat atau dilewatkan. Tanpa ada yang tertutup atau ditutupi.

Paradigma konfilk sosial memandang dunia ini sebagai dua kutub magnet yang saling melawan; mungkin memang Citizen Journalism bisa dipandang dari perspektif itu. Ia lahir sebagai‘buah’ dari pertentangan antara si kapitalis dan si proletar, antara pihak yang menguasai fasilitas dan rakyat yang tidak punya ‘hak milik.’ Kini, dengan bangkitnya teknologi untuk semua orang, mendadak si proletar memiliki kekuasaan atas alat-alat yang diperlukan untuk berkomunikasi secara luas.

Masih menurut Dan Gillmor, teknologi memang membuat rahasia makin sulit untuk dipendam. Maka sebaiknya media besar merangkul Citizen Journalism, bukannya bersikap antipati. Mari optimis dengan tidak melihat Citizen Journalism sebagai ancaman atas sumber berita ‘bermutu,’ tapi lebih ke jalan menuju jurnalisme yang lebih baik. Citizen Journalism dan media mapan sesungguhnya bisa saling melengkapi, bukannya saling menggantikan. Kenyataannya, kini seringkali audience punya lebih banyak informasi daripada pihak media-alangkah baiknya jika ia dilibatkan dalam proses pembuatan berita untuk jurnalisme yang lebih berkualitas. Ratu Rania dari Kerajaan Jordania saja sudah memiliki akun YouTube yang ia pakai untuk berdialog dengan penduduk dunia. Bukannya tidak mungkin siaran berita masa depan akan menjadi lebih mirip dialog daripada seminar atau kuliah, dimana produsen dan konsumen terus bertukar posisi. Segala sesuatu itu mungkin, apalagi mengingat masyarakat yang kelak akan menjadi penentu media adalah mereka yang usianya berada di bawah kita: para digital natives, yang tidak mengenal dunia tanpa akses internet 24 jam. Pastinya kita akan melihat perkembangan yang lebih banyak lagi di waktu mendatang-atau lebih baik lagi, kita akan terlibat di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Asnawi, Sahlan. 2002. Teori Motivasi dalam Pendekatan Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Studia Press

Panuju, Redi. 1997. Sistem Komunikasi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gillmor, Dan. 2004. We The Media: Grassroot Journalism, by the People, for the People. New York: O’Reilly Media.

Griffin, EM. 1997. A First Look at Communication Theory. New York:The McGraw-Hill Companies, Inc.

Gonick, Larry. 2007. Kartun (Non) Komunikasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

www.wikipedia.com

www.rumahkiri.net

http://daisyawondatu.wordpress.com/2006/10/11/citizen-journalism/

http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/middleeast/iran/5549955/Iran-protest-news-travels-fast-and-far-on-Twitter.html

Rahman, Mustafa ABD. Minggu, 5 Juli 2009. “Geliat Kebebasan Generasi Ketiga Iran.” Jakarta: Kompas.

Alatas, Alireza. 29 Juni – 5 Juli 2009. “Menggugat Kedigdayaan Sang Iman.” Jakarta: Tempo.


Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation.

Leave a Reply