Movie review score
5

Formulir adalah selembar kertas tengil yang ingin mengorek-ngorek informasi pribadi seseorang.

Kenapa saya dengan sotoy-nya mengatakan begitu?

Begitu banyak formulir yang pernah saya isi dalam hidup ini-dari sekedar undian supermarket sampai pendaftaran kuliah, saya selalu merasa gemas oleh banyaknya hal tidak penting yang ditanyakan entah dengan alasan apa. Alasan paling logis yang bisa saya temukan ya cuma itu. Tengil.

Sebenarnya, mayoritas formulir yang ada dalam hidup kita bisa dipangkas jadi satu lembar saja. Data diri kita yang paling krusial kan paling-paling nama-KTP-alamat-HP?

Ngapain formulir lomba gambar tanya-tanya agama?

Ngapain formulir perpustakaan nanya-nanya pendidikan?

Kalo saya dan kakak suka sebel pada formulir-formulir absurd yang meminta kami menuliskan suku bangsa. Dilema pun datang-mau jawab apa? Biasanya saya bilang Indonesia, titik. Karena memang itulah saya. Indonesia tanpa embel-embel. Kalau mau embel-embel, ceritanya panjang. Tapi kemarin saya nggak bisa ngeles ketika sedang mengisi formulir psikotes.

Formulir itu dipegang oleh tester saya, dan saya cukup buka mulut karena semua datanya diisikan oleh tester yang malang tersebut.

Lalu datanglah pertanyaan-pertanyaan yang entah apa hubungannya dengan tes psikologi:

Agama?

Kristen

Kristen apa?

Kristen Protestan

Suku bangsa?

Indonesia

(diam)

Apa?

Indonesia

(menaikkan kedua alis) ha?

Iya, CINA! Eh, Indonesia keturunan.

Tapi mungkin seharusnya saya nggak menghakimi ketidakbergunaan hal-hal di atas dalam formulir karena terkadang mereka punya fungsi yang tidak disangka-sangka.

Waktu mendaftar dokter kulit beberapa waktu lalu, percaya atau nggak formulirnya sampe berlembar-lembar bagaikan soal ujian masuk PNS. Termasuk isian agama dan suku bangsa. Bahkan ada pertanyaan tentang nama kampus dan…hobi. Jadi inget diari-diarian masa SD. Mungkin mereka kuatir saya punya hobi yang merusak kulit wajah seperti main layangan jam 12 siang, barangkali.

Nah, ceritanya setelah dokter kulit selesai mencangkul muka saya, ia mulai berceramah mengenai pemakaian sederet obat; dari yang krim sampai antibiotik. Pokoknya ribet banget-siapa sih manusia di Jakarta yang sibuk ini yang punya waktu untuk cuci muka jam 3-5 sore? Masa saya harus membawa botol-botol itu ke kampus dan cuci muka di WC?

Dokter kulit saya mendadak terdiam agak lama membaca map rekam medik saya. Ternyata biodata saya ada di situ.

“Hmm…kamu apa?” Dia berbicara pelan nyaris untuk dirinya sendiri saja.

Saya melongo.

Loh, saya manusia-emangnya saya nggak kelihatan seperti manusia? Kenapa dia nanya saya apaan???

“Ooh…nggak sholat, kan?” Dokter kulit mengalihkan pandangan dari biodata saya.

“Naah, jadi kamu bisa dong cuci muka di kampus, pas temen-temen kamu lagi sholat.”

Oh, sekarang saya jadi tahu gunanya formulir itu. Supaya saya bisa disuruh cuci muka pas temen-temen saya lagi sholat.

Leave a Reply