Movie review score
5

Potong rambut bisa membuat sedih banget atau seneng banget.

Saya pernah sedih banget ketika rambut sebahu saya menjadi aneh, aneh banget dan nggak rata akibat buah kreatif seorang kapster gundul.

Ya, kapster gundul.

Bodoh, kan? Harusnya saya udah punya firasat.

Gimana dia bisa ngurusin rambut orang lain kalo sendirinya nggak punya rambut?

Terlambat untuk menyesal, saya melanjutkan hidup bersama rambut yang modelnya nggak jelas, sampai waktu menumbuhkan lagi rambut saya.

Tapi ini adalah cerita mengenai potong rambut yang berakhir happy ending.

Alkisah, tahun-tahun berlalu dan saya menjadi nyaman dengan rambut sebahu cenderung panjang.

Semua orang juga sudah mengenal saya dengan image ’girly’ akibat model rambut medium-long saya yang standar.

Satu kali, setelah melalui masa berat yang penuh tekanan, mendadak saya menyadari poni-poni mulai mengilik mata saya.

Rapiin, ah.

Tanpa menyiapkan model, tanpa riset, tanpa pikiran apapun saya melangkah masuk salon (hal yang sangat bukan saya).

Tapi saya denger pixie cut lagi nge-trend.

”Mau potong kaya apa?”

Sekenanya saya menjawab.

”Pixie cut.”

Diluar dugaan, kapster saya bengong (oh iya, dia punya rambut).

”Kaya apa, tuh?”

Saya hampir tak percaya.

Saya nengok kiri-kanan, memastikan ini bukan salon oneng yang keramasnya pake gayung.

Bukan.

Ini kan salon modern di sebuah mal besar di Jakarta yang mengaku-aku untuk ’kawula muda’???

Terlalu malas untuk menjelaskan, saya menarik sebuah majalah yang ditumpuk di samping cermin lantas membuka-buka sembarangan.

Saya berniat asal tunjuk model bob apapunlah-kembali ke rutinitas.

Tapi seakan dituntun oleh tangan Tuhan sendiri, yag udah berjasa mencetak gol untuk Diego Maradona, majalah pertama yang saya ambil menampangkan artikel besar full gambar full color: PIXIE CUT.

AHAH!

Saya menunjuk foto Agyness Deyn.

Dalam hati saya terkikik-kikik; saya pasti udah gila. Tapi kondisi mental psikologis saya saat itu emang lagi ingin bertingkah edan untuk melupakan masalah yang baru berlalu.

Saya lalu membaca majalah dengan santai.

Saya suka kejutan-maka dari itu biasanya saya nggak pernah mengamati proses pemotongan rambut saya sendiri.

Di kaki saya, ada rambut.

Rambut-rambut berjatuhan.

Makin banyak.

Menggunung.

Hey! Saya belum pernah potong sependek ini!

Akhirnya...saya melanggar adat-istiadat saya sendiri.

Saya melihat cermin.

Astaganaga...Siapa itu?? Siapa itu, hahh???

Tapi bukannya nangis saya malah pengen ketawa.

Menertawakan orang konyol yang sedang dicepakin oleh seorang kapster.

HAHAHAHA...ini konyol banget...gila,gila...

Setelah membayar dan memberi tip untuk sang kapster (dengan gaya khas, senyum licik seakan ada rahasia diantara pelanggan dan kapster) saya melenggang pergi.

Kepala saya terasa ringan, saya merasa seperti orang lain, manusia baru.

Aneh.

Begitulah.

Setelah rambut ’gadis manis’ (bob-shaggy-bob-shaggy) yang setia saya piara bertahun-tahun bagaikan tuyul hilang digantikan kepala cepak jabrik-mendadak semuanya sekaan berubah juga.

Saya membeli gel rambut.

Saya nggak pernah dan nggak perlu pake sisir lagi.

Pilihan baju saya jadi lebih androginy.

Saya udah nggak pusing mikirin poni samping atau tengah karena...oh my GAWD! Saya bahkan udah nggak punya poni!

Saya merasa seperti meninggalkan tempat yang pengap dan berjalan ke depan, ke tempat yang lebih baik, dan yang nggak kalah aneh, saya jadi lebih tomboy, seakan diri saya disetir oleh rambut.

Tapi anggap aja saya memiliki start baru.

Tepatnya start itu dimulai di semester baru.

Kakak saya sudah mewanti-wanti bahwa reaksi teman-teman saya bakal heboh nantinya.

Dan dia benar.

Saya datang agak terlambat, dan ketika masuk kelas, semua teman saya menjerit kaget.

”Pink??? Pink???”

Lalu mulailah hujan rententan pertanyaan yang datang silih berganti.

Hampir tiap orang menanyakan hal yang sama dalam minggu pertama kuliah saya.

”Pink, kenapa lo potong rambut, sih?”

Jujur, saya juga jadi sadar kalo saya sendiri nggak tau alesan saya mendadak melakukan ini.

Saya yang normal nggak akan pernah berani potong sependek ini.

Maka jawaban yang saya beri jadi rupa-rupa; tergantung mood dan kondisi, dari yang filosofis sampe yang paling asal.

”Gue pengen mencoba sesuatu yang baru.”

”Stres dengan masalah kemarinan.”

”Buang sial.”

”Irit sampo, harga-harga lagi naek.”

”Biar adem.”

”Iseng.”

”Abis keciduk tramtib waktu mangkal kemaren malem.”

Terakhir, seorang cowok yang rambutnya lebih panjang dari saya bertanya.

”Pink...abis kemoterapi, ya?”

Mendadak saya baru sadar kalo sepenjuru kampus hanya saya cewek yang rambutnya cepak begini.

Loh, bukannya pixie cut lagi ngetrend ya?

Saya jadi sadar betapa nekadnya saya.

Anehnya, saya nggak nyesel, meski muka saya jadi agak ganteng sekarang.

Mungkin memang sebagian beban saya udah disapu bersih di lantai salon minggu lalu.

Leave a Reply