BAB 1

LATAR BELAKANG

Jalanan sering bersikap tidak ramah bagi mereka yang terburu-buru. Siang itu saya hampir terlambat untuk sebuah janji yang sangat penting, dan celakanya jalanan macet berat. Mobil saya merayap pelan tanpa harapan. Jam pulang kantor? Bukan. Jam berangkat kantor? Bukan. Jam makan siang? Juga bukan.

Lama setelahnya saya baru menyadari apa yang terjadi. Sepasang mobil yang mengalami kecelakaan terparkir ringsek di pinggir jalan-bukan di jalanan tempat mobil saya merayap, melainkan di jalur sebelah yang berlawanan arah.

Memang bukan berita baru. Kecelakaan mobil, demonstrasi, dan kawan-kawannya selalu membuat macet, di semua jalur. Jalur pertama: terhalang, jalur kedua: kepingin nonton. Begitulah kita. Kita ingin menjadi yang pertama untuk tahu. Setelah itu? Kita ingin bercerita. Bayangkan apa yang akan saya bicarakan setelah sampai nanti dan bertemu dengan teman saya “Eh, tau nggak, tadi gue liat apa di jalan…”

Sebenarnya rasa penasaran alami ini tidak selalu hal yang buruk. Saat saya mengerjakan paper ini, ledakan bom terjadi di Hotel JW Marriot dan Ritz-Carlton. TV dan radio ramai oleh informasi simpang-siur, tidak ada yang jelas. Ahkirnya, siapa yang menyediakan gambar-gambar eksklusif peristiwa ini? Para karyawan Mega Kuningan yang baru tiba di tempat kerjanya dan segera mendekati lokasi setelah mendengar suara ledakan.

Semester lalu, dosen saya bercerita kalau manusia tidak dirancang untuk menyimpan rahasia. Jika kita memegang sebuah informasi berharga, bohong besar kalau bibir kita tidak pernah ‘gatal’ ingin berkicau. Menyimpan rahasia dalam waktu lama (katanya) bisa membuat kita tersiksa. Kalau menurut Dan Gillmor, “we are a society of voyeur and exhibitionist.” Ah, jangan-jangan itu salah satu faktor yang membuat popularitas Citizen Journalism makin meroket hari-hari ini.

Apa itu Citizen Journalism? Saya akan menceritakan kembali apa yang dikatakan oleh Wikipedia. Pada dasarnya, Citizen Journalism (atau sering juga disebut Street/Participatory/Public/Grassroots Journalism/Jurnalisme Partisipasi) adalah sebuah konsep dimana anggota masyarakat memainkan peran aktif dalam mengumpulkan, menganalisa dan menyebarkan informasi atau berita. Public atau citizen journalism juga dikaitkan dengan hyperlocalism karena komitmennya yang luar biasa pada isu-isu lokal, yang ‘kecil-kecil’ (untuk ukuran media besar), sehingga luput dari liputan media mapan.

Dari definisi ini saja, kita dapat mengetahui bahwa siapapun bisa menjadi jurnalis dalam konteks Citizen Journalism. Belakangan jumlah dan perkembangan jurnalisme partisipasi memang meroket-menurut saya, ada dua faktor yang memicunya:

  • Perkembangan teknologi informasi
    Hampir setiap orang sudah memiliki peralatan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang citizen journalist berkat kemajuan teknologi yang ramah untuk konsumen tapi juga memiliki fitur canggih ala profesional-biasanya disebut alat ‘prosumer’ alias professional for consumer. Contohnya: kamera digital pocket. Bahkan, kalaupun gambar Anda nggak bagus-bagus amat, jika memang memiliki news value yang dahsyat, stasiun TV tidak akan keberatan untuk membelinya. Contoh: video amatir seputar bencana alam yang biasa diputar televisi, yang biasanya blur/pecah dan goyang. Faktor besar lain yang memainkan peranan adalah jaringan internet yang sudah berjasa menyediakan ‘ruang’ untuk mempublikasi hasil karya para citizen journalist tanpa birokrasi yang rumit. Umumnya, yang kita butuhkan hanyalah seutas kabel telepon, modem atau wi-fi gratisan. Sistem ini membuat siapapun bisa ‘memotong kompas’ menuju publikasi secara global-tanpa perlu memikirkan gatekeepers, editor, dan kawan-kawannya karena tiap orang adalah editor bagi tulisannya sendiri.
  • Anjloknya kredibilitas televisi sebagai sumber berita
    Penelitian oleh Roper Organization di tahun 60-an pernah menunjukkan bahwa televisi makin menjadi sumber informasi yang paling dipercaya audience, menggeser koran dan radio yang sudah lebih dulu menguasai pasar. Pemicunya adalah karena kredibilitas kinerja TV dalam mengekspos penembakan Presiden Kennedy, Perang Vietnam, perjuangan Martin Luther King, dan pendaratan pertama manusia di bulan (yang kini malah diragukan kebenarannya). Tapi kini, situasinya sudah berbeda. Muncul julukan ‘pack journalism’ alias tabloidisasi media. Istilah ini merujuk pada fenomena dimana televisi, bahkan stasiun berita, lebih menjual sensasi daripada esensi. Perhatikan berita siang di TV-TV nasional. Semua didramatisir, membuat saya merasa geli. Sebelum masuk ke VT berita utama, diputar semacam ‘video clip’ cuplikan gambar berita lengkap dengan ‘theme song’ yang mendukung atau berita kriminal dengan sound effect semacam film horror Suzanna. Semua pernak-pernik itu justru membuat TV kehilangan kredibilitasnya, karena saluran berita bertingkah norak seperti opera sabun. Seringkali, mungkin karena ‘dikejar setoran’ pemasukan, TV menyajikan berita yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk headline-nya, tapi asal laris. Seperti ekspos pemberitaan seputar Manohara Odelia Pinot (saya tidak habis pikir bagaimana konsumsi acara gosip seperti ini bisa menggeser pemberitaan seputar persiapan Pemilu) atau kebakaran di Soto Lamongan (klip diiringi lagu sedih diputar berulang-ulang). Bukannya memperjelas, tidak jarang televisi justru menimbulkan polemik atau prasangka.

Nah, dari mana fenomena ini berawal? Bibit-bibit semangat Citizen Journalism sudah bisa dilacak dari ketika Gutenberg menemukan mesin cetak pada tahun 1946 dan membuat informasi bisa diakses dengan lebih mudah untuk semua ‘rakyat jelata.’ Sebelumnya, membaca buku adalah barang yang super mewah, karena buku masih sedikit jumlahnya dan ditulis tangan. Pada saat Gutenberg mencetak Alkitab untuk semua orang, terjadi revolusi dimana firman Tuhan dibebaskan dari kungkungan doktrin penguasa informasi. Semangat yang sama masih terjadi dalam dunia Citizen Journalism masa kini. Alkisah, pada pemilihan presiden AS tahun 2004 (George W. Bush vs John Kerry) masyarakat jenuh dengan pemberitaan media yang dikuasai oleh partai-jika di sini, mungkin kasusnya seperti Metro TV dengan Partai Golkar. Pada saat itulah masyarakat malah mengandalkan blog untuk mendapatkan berita dengan perspektif yang berbeda. Peristiwa ini ikut meledakkan popularitas Citizen Journalism. Pada tahun yang sama, sebuah web bernama AssociatedContent.com diluncurkan, dan ia mengklaim dirinya sebagai “People’s Media Company” karena menjadi media pertama yang memberi bayaran pada pemakainya yang berhasil menerbitkan artikel berkualitas. AssociatedContent lalu disusul oleh WorldVoiceNews.com, situs sejenis yang mengusung moto “Honest and Unfiltered” pada tahun 2008.

Di Indonesia sendiri, Citizen Journalism belum terlalu lama eksis. Pelopornya adalah detik.com, yang terasa ‘indie’ karena memberi alternatif konsumsi berita pada saat pasar Indonesia sudah begitu nyaman oleh media mapan. Tapi jika dipikir-pikir detik.com juga bukan murni citizen journalist. Media yang lebih condong ke Citizen Journalism adalah blog. Bisa dibilang, keberadaan blog di Indonesia saat ini sudah sangat banyak, salah satu blog terbaik adalah perspektif.net (masuk dalam daftar 10 blog terbaik versi Majalah Tempo). Tidak hanya berupa blog, penyebaran foto dan video secara amatir juga sudah menjadi hal yang jamak di sini-foto kecelakaan di jalan tol pagi ini bisa di-upload dalam waktu setengah jam oleh saksi mata yang melintas ke dalam akun Facebooknya. Media besar nasional nampaknya juga mulai menyadari kekuatan Citizen Journalism, terbukti dengan seringnya courtesy video amatir dimasukkan dalam berita dan bahkan Metro TV memiliki acara sendiri yang khusus menayangkan video hasil Citizen Journalism, berjudul i-Witness. Fakta bahwa media mapan Indonesia begitu terbuka pada Citizen Journalism menjadi hal yang unik, mengingat di negara bebas seperti AS saja, Citizen Journalism masih dipandang sebelah mata oleh media besarnya.

Apa saja yang termasuk Citizen Journalism? Jawaban dari pertanyaan ini bisa sangat luas; dari komentar user yang di-post pada berita/blog, video dari handycam pribadi, berita lokal oleh media komunitas, situs web berita independen, situs partisipatoris murni (seperti AssociatedContent atau OhMyNews-nya Korea), mailing list, email berantai, sampai situs penyiaran seperti YouTube dan jejaring sosial seperti Facebook. Untuk mengenal lebih jauh mengenai Citizen Journalism yang katanya sedang menjadi ‘the hottest topic’ di dunia jurnalistik, mari kita lihat ‘senjata’ yang biasa dipakai oleh ‘orang biasa’ untuk menyebarkan berita:

  1. Mailing list dan forum
  2. Blog
  3. Wikipedia
  4. SMS
  5. Ponsel (yang dilengkapi dengan kamera/video.perekam suara), PDA, Blackberry, dan jaringan 3G
  6. Layanan internet broadcasting
  7. Alat elektronik pribadi-seperti handycam, kamera pocket, komputer/laptop

BAB 2

PERMASALAHAN

“Freedom of the press limited to those who own one.”

- AJ Liebling-

Seseorang berjalan melintasi Monas yang ramai oleh wisatawan. Mendadak sebuah kereta wisata terguling dan puluhan anak kecil luka-luka. Orang itu mengambil kamera ponsel dan merekam, lalu ia meng-upload video itu ke blogspotnya. Dalam waktu singkat semua orang sibuk membahas mengenai keamanan fasilitas wisata di blognya.

Semudah itu.

Orang-orang yang tadinya dikenal oleh media sebagai ‘sasaran tembak’ (menurut teori Hypodermic Needle) atau sang konsumen, kini berubah menjadi produsen. Citizen Journalism membawa angin revolusi-mereka yang tadinya tidak didengarkan, kini dianugerahi ‘suara’. Dari anak kecil (tahun 2003, seorang anak menangkap penculiknya berkat kamera ponsel), perempuan tertindas (blog wanita Iran), rakyat negara otoriter (blog rakyat RRC), sampai si perekam Monas di ilustrasi tadi-bisa saja ia tipe karyawan culun yang sering tidak dianggap dalam rapat-rapat. Intinya, semua kelompok masyarakat yang tadinya tidak punya corong untuk mengungkapkan suaranya, yang terlewatkan oleh media besar, entah karena memang sengaja (media seringkali dikontrol pemerintah, pengiklan, dan investor) atau tidak, kini bisa didengar.

Jurnalisme bukanlah lagi ranah yang dikuasai oleh para jurnalis-dan jurnalis juga bukan lagi sekumpulan manusia misterius yang bekerja di balik meja; jurnalis itu bisa jadi Anda dan saya. Citizen Journalism telah membawa perubahan-masalahnya, perubahan tidak selalu diterima dengan mulus. Media besar cenderung bersikap skeptis, pemerintah cenderung bersikap represif. Beberapa kritik yang diterima Citizen Journalism:

  • Masalah profesionalisme – apakah kaum awam bisa menyusun berita dengan benar, mengingat mereka tidak memiliki latar belakang dan pengalaman jurnalistik?
  • Masalah etika – para citizen journalist dinilai tidak memahami kode etik jurnalistik
  • Masalah objektivitas – para citizen journalist dinilai tidak bisa bersikap objektif karena pasti akan memakai sudut pandang pribadinya dalam mengolah informasi

BAB 3

PEMBAHASAN

Pemilihan presiden di Iran tidak berakhir baik-baik. Mousavi merasa dicurangi, kemenangan Mahmoud Ahmadinejad ditentang. Gelombang demonstrasi mahasiswa mulai memanasi kotaTeheran, bentrok dengan aparat tak terhindarkan, korban tewas berjatuhan. Semua wartawan asing yang tadinya diterima dengan tangan terbuka oleh pemerintah untuk meliput ‘demokratisasi di Iran’ mendadak diusir keluar negara. Lalu lintas SMS diblokir, internet sangat lamban, saluran ponsel hanya siang hari. Facebook, YouTube, dan Yahoo! Messenger diblokir. Dua puluh enam wartawan dan blogger Iran dijebloskan ke penjara.

Di tengah situasi itu, perhatian dunia tersedot oleh rekaman video ponsel berdurasi 40 detik mengenai kematian seorang gadis berusia 27 tahun bernama Neda Agha-Soltan akibat terjangan peluru di tempat demonstrasi, yang lolos lewat situs jejaring sosial Twitter. Para citizen journalist dari dalam Iran pun meluncurkan banyak berita lain ke dunia luar, mayoritas lewat Twitter. Salah satu yang paling terkenal adalah Persiankiwi, yang setelah beberapa lama menuliskan berita tiba-tiba menghilang, diduga diciduk oleh pemerintah. Peristiwa ini membuka mata dunia pada situasi sebenarnya di Iran dan fakta bahwa kaum perempuan ikut terlibat aktif dalam aksi protes di Iran (setelah kita tahu bahwa kaum perempuan di Iran tidak mendapat perlakuan yang setara dengan laki-laki).

Mengapa Citizen Journalism seakan menjadi ‘juruselamat’ di tengah situasi-situasi represif, seperti di Iran, RRC, dan Saudi Arabia? Menurut Charles Berger dalam Uncertainty Reduction Theory-nya; “High level of uncertainty causes increases in information-seeking behavior.” Situasi yang tidak menentu justru akan meningkatkan rasa penasaran kita-dan jangan mengira negara otoriter saja yang bersikap represif pada para citizen journalist-pemerintah Singapura dan Perancis juga dikenal suka ‘mencampuri’ bidang ini.

Bahkan, di negara bebas seperti Amerika, Citizen Journalism kerap berbenturan dengan media besar. Salah satu kasus yang mencolok adalah Kevin Sites, seorang wartawan CNN yang dipaksa oleh kantornya untuk berhenti menulis di blog pribadinya. Beberapa kasus lain juga terjadi di negara yang sama. Anehnya, ada semacam sikap dualisme oleh media besar dan pemerintah terhadap Citizen Journalism-sikap ‘benci tapi butuh.’ Contohnya:

  • Februari 2003, setelah pesawat ulang-alik Colombia meledak, NASA mengumumkan ke masyarakat, mencari siapapun yang memiliki foto terkait peristiwa itu untuk membantu investigasi. Ratusan orang merespons.
  • Seminggu sebelum perang Irak 2003, stasiun TV BBC meminta foto-foto seputar konflik itu pada pemirsanya. BBC mendapat foto-foto esay yang bagus dari ratusan penontonnya.

Seharusnya, melihat antusiasme masyarakat dalam mengakses informasi dari para citizen journalists, media mapan sadar untuk mengurangi ‘gengsinya.’ Mereka sering menaruh curiga pada kredibilitas Citizen Journalism, mengecap mereka sebagai tidak akurat-bahkan hoax. Memang, kemungkinan itu ada pada dunia Citizen Journalism, tapi Dan Gillmor dalam bukunya “We The Media” mengatakan bahwa internet bersifat ‘self-correcting,’ atau ‘self-editing’ dalam hal fakta maupun moral yang terkandung dalam sebuah informasi di internet. Audience kita bukan lagi audience pasif yang kekurangan informasi seperti pada jaman propaganda media ala Hypodermic Needle Theory. Ini adalah era masyarakat informasi, yang sudah ‘diramalkan’ kedatangannya oleh Alvin Toffler sejak lama. Masyarakat informasi adalah bagian dari ‘gelombang ketiga’ (gelombang pertamanya adalah masyarakat agrikultur sedangkan gelombang kedua adalah masyarakat industri) dimana masyarakat sangat bergantung pada informasi dan memiliki kebutuhan akan informasi-tentu saja dengan komputer & internet sebagai media andalan.

Gillmor mencontohkan, saat ia menulis di blog, pembacanya biasa akan mengomentari kesalahan yang ada pada tulisannya, atau mengemukakan pendapatnya yang berlawanan. Demikian juga dalam hal Wikipedia-semua orang yang melihat kesalahan dalam sebuah artikel dapat turut mengedit sampai akhirnya Wikipedia kini dikenal sebagai sumber informasi online yang terpercaya dan netral-bahkan pada saat ia membahas topik kontroversial. Semua orang memiliki informasinya; mereka bisa saling mengoreksi dan menilai sendiri, mana informasi yang benar dan mana yang melantur. Kelebihan dari Citizen Journalism mengatasi risiko yang dikandungnya.

Di sisi lain, media mapan juga bukan jaminan kejujuran. Banyak foto yang bisa dimanipulasi lewat program Photoshop di media cetak (seperti kasus foto Senator John Kerry dengan Jane Fonda yang membuat mereka seakan berdemonstrasi bersama menentang perang Vietnam), juga kasus serupa di media elektronik seperti saat reporter Metro TV salah menginformasikan bahwa Gunung Merapi telah meletus. Media besar tidak lolos dari kekurangan: media elektronik terkena tabloidisasi, media cetak membutuhkan waktu (lebih) lama untuk menyajikan informasi, media online memang sangat instan-tapi juga sering ‘kurang bergizi’ dalam hal konten.

Sesungguhnya, semua ‘ribut-ribut’ seputar Citizen Journalism ini tidak akan membuat heran Marshall McLuhan, meski yang bersangkutan telah meninggal pada tahun 1980. Sejak tahun 1960-an ia sudah membagi sejarah peradaban manusia ke dalam 4 tahap:

  • Tribal Age
    Zaman sebelum ada tulisan, sehingga semua komunikasi dilakukan secara lisan dan indra pendengaran menjadi dominan. Disebut juga ‘dunia yang akustik.’
  • Literacy Age
    Alfabet ditemukan, sehingga tulisan berkembangdan indra penglihatan mulai memainkan peranan.
  • Print Age
    Mesin cetak Gutenberg ditemukan. Komunikasi pada masa ini menjadi lebih leluasa dan menyebar cepat, indra penglihatan menjadi dominan
  • Electronic Age
    Inilah masa dimana kita hidup sekarang. Aneka teknologi komunikasi ditemukan (dari telegraf sampai internet) sehingga dunia ini menjadi sebuah ‘global village’ lagi-sebuah desa global dimana manusia bebas berkomunikasi seakan tidak ada jarak geografis. ‘Desa akustik’ di masa Tribal seakan muncul lagi karena indra pendengaran mulai berperan dan ‘keributan’ di satu tempat dengan cepat bisa diketahui di tempat lain.

Kemajuan teknologi (komunikasi) telah mengubah ruang sosial kita. Kita semua adalah bagian dari dunia yang terus bergerak dengan dinamis, dan pilihan untuk menjadi audience yang aktif ada di tangan kita. Mengapa media besar terus mengkritisi mutu Citizen Journalism, padahal yang namanya berita itu dibuat untuk masyarakat, bukan untuk media?

BAB 4

KESIMPULAN

Kemarin, kelas kami mengadakan kunjungan ke Kedutaan Republik Zimbabwe untuk mengenal lebih jauh kebudayaan mereka. Staf yang mendampingi kami menutup pertemuan dengan sebuah pesan yang menarik untuk dipikirkan. Menurutnya, penduduk Asia (dalam hal ini Indonesia) dan Afrika (dalam hal ini Zimbabwe) biasa mengenal satu sama lain dari perspektif ‘asing’, alias media barat seperti CNN, ABC, BBC, dan media-media online. Itu sebabnya kita sering memberi citra buruk satu sama lain, karena yang biasa diekspos oleh media barat hanyalah berita buruk tentang negara berkembang. Maka, menurutnya, kita perlu mengisi jurang informasi di antara kedua benua. Tercetus dalam benak saya, tugas itu dapat diemban dengan baik oleh para citizen journalist.

Kenapa tidak? Citizen Journalism telah berhasil ‘memerdekakan’ orang-orang yang sebelumnya tidak dapat mengekspresikan suaranya, karena terdiskriminasi oleh media mapan. Berkat Citizen Journalism, sumber informasi tidak lagi terpusat di media-media besar. Kita sudah menyinggung contoh kasus di Irak, Amerika, Indonesia, dsb. Rakyat tertindas bisa menyuarakan kebenarannya menembus blokade negara, korban bencana bisa membuka mata dunia akan kondisi lingkungannya, wanita yang terkungkung dalam budaya patrilineal keras bisa membuat nasibnya diketahui dunia. Citizen Journalism telah membentuk sejarah, dan sejarah itu bukan lagi HIS-story. Kisah itu adalah kisah kita semua, tanpa ada yang terlewat atau dilewatkan. Tanpa ada yang tertutup atau ditutupi.

Paradigma konfilk sosial memandang dunia ini sebagai dua kutub magnet yang saling melawan; mungkin memang Citizen Journalism bisa dipandang dari perspektif itu. Ia lahir sebagai‘buah’ dari pertentangan antara si kapitalis dan si proletar, antara pihak yang menguasai fasilitas dan rakyat yang tidak punya ‘hak milik.’ Kini, dengan bangkitnya teknologi untuk semua orang, mendadak si proletar memiliki kekuasaan atas alat-alat yang diperlukan untuk berkomunikasi secara luas.

Masih menurut Dan Gillmor, teknologi memang membuat rahasia makin sulit untuk dipendam. Maka sebaiknya media besar merangkul Citizen Journalism, bukannya bersikap antipati. Mari optimis dengan tidak melihat Citizen Journalism sebagai ancaman atas sumber berita ‘bermutu,’ tapi lebih ke jalan menuju jurnalisme yang lebih baik. Citizen Journalism dan media mapan sesungguhnya bisa saling melengkapi, bukannya saling menggantikan. Kenyataannya, kini seringkali audience punya lebih banyak informasi daripada pihak media-alangkah baiknya jika ia dilibatkan dalam proses pembuatan berita untuk jurnalisme yang lebih berkualitas. Ratu Rania dari Kerajaan Jordania saja sudah memiliki akun YouTube yang ia pakai untuk berdialog dengan penduduk dunia. Bukannya tidak mungkin siaran berita masa depan akan menjadi lebih mirip dialog daripada seminar atau kuliah, dimana produsen dan konsumen terus bertukar posisi. Segala sesuatu itu mungkin, apalagi mengingat masyarakat yang kelak akan menjadi penentu media adalah mereka yang usianya berada di bawah kita: para digital natives, yang tidak mengenal dunia tanpa akses internet 24 jam. Pastinya kita akan melihat perkembangan yang lebih banyak lagi di waktu mendatang-atau lebih baik lagi, kita akan terlibat di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Asnawi, Sahlan. 2002. Teori Motivasi dalam Pendekatan Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Studia Press

Panuju, Redi. 1997. Sistem Komunikasi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gillmor, Dan. 2004. We The Media: Grassroot Journalism, by the People, for the People. New York: O’Reilly Media.

Griffin, EM. 1997. A First Look at Communication Theory. New York:The McGraw-Hill Companies, Inc.

Gonick, Larry. 2007. Kartun (Non) Komunikasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

www.wikipedia.com

www.rumahkiri.net

http://daisyawondatu.wordpress.com/2006/10/11/citizen-journalism/

http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/middleeast/iran/5549955/Iran-protest-news-travels-fast-and-far-on-Twitter.html

Rahman, Mustafa ABD. Minggu, 5 Juli 2009. “Geliat Kebebasan Generasi Ketiga Iran.” Jakarta: Kompas.

Alatas, Alireza. 29 Juni – 5 Juli 2009. “Menggugat Kedigdayaan Sang Iman.” Jakarta: Tempo.


Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation.






“Setiap kebudayaan pasti mengalami perubahan atau perkembangan, hanya kebudayaan yang mati saja yang bersifat statis.”


-Soerjono Soekanto-


Sekitar 40 tahun lalu, sosiolog besar Edward T. Hall pernah mengemukakan bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Komunikasi menjadi sebuah kunci agar suatu kebudayaan tidak punah dan di sisi lain kebudayaan adalah ‘ibu’ yang melahirkan komunikasi.


Komunikasi dalam rangka menjaga kebudayaan harus didukung oleh daya cipta bangsanya. Jika Indonesia ingin berkembang budayanya, maka kita sebagai warganya harus menjaga daya cipta yang kita miliki. Tetapi jika melihat tren sinetron epigon dan budaya pop di negeri ini, barangkali yang terlintas di benak kita: apa iya, Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki daya cipta?


Ya, sesungguhnya kita adalah bangsa yang memiliki daya cipta-mari sedikit menengok ke belakang, maka kita akan menemukan sebuah bangsa yang kreatif, hidup, penuh daya cipta, dan tidak ragu untuk menerima perubahan secara cerdas. Ada suatu masa ketika kita tidak menerima budaya luar mentah-mentah; bangsa ini pernah mengolah budaya Arab dan Melayu menjadi Tari Saman, budaya Jawa dan Cina menjadi Lontong Cap Go Meh, budaya Portugis dan Betawi menjadi Orkes Tanjidor, dan masih banyak lagi. Dari contoh di atas kita melihat bangsa yang berubah, beradaptasi, dan hidup. Kita adalah bangsa yang kreatif; Anda dan saya dan satu hal yang tidak akan berubah dari dulu sampai sekarang adalah: perubahan. Perubahan masuk ke negeri kita dengan deras, dari masa ketika Borobudur baru dibangun sampai detik ini. Maka, belajar dari masa lalu, bangsa ini pun harus berani untuk berubah-berubah dengan cerdas, tanpa meninggalkan akar budaya Indonesia yang luhur. Intinya? Kita harus memiliki daya cipta, tidak menelan bulat-bulat semua hal yang ‘disuapkan’ ke mulut kita. Kemampuan mengkombinasikan budaya luar dan budaya lokal akan membuat kita semua menjadi pelopor untuk budaya khas Indonesia. Anda dan saya, kita semua bisa menjadi agen perubahan.




Tapi kenyataannya di negara kita Indonesia, kemampuan daya cipta makin merosot. Fenomena yang menjamur belakangan, kita menerima begitu saja semua unsur budaya luar yang masuk. Seakan kita ini hanya kertas polos yang siap dibentuk nasibnya oleh orang lain. Bangsa kita dicemooh sebagai bangsa peniru oleh-ironisnya-anak mudanya sendiri.


Berangkat dari keprihatinan tersebut, tim SeratusDuaBelas bertekad mengangkat kekayaan budaya Indonesia dan pentingnya daya cipta dalam budaya, dengan format sebuah seminar artistik.


Definisi seminar sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: “Pertemuan atau persidangan untuk membahas suatu masalah di bawah pimpinan ahli (guru besar, pakar)” sedangkan menurut The Free Dictionary:“A meeting for an exchange of ideas; a conference.”


Oleh karena itu dalam seminar yang digarap secara artistik ini kami menampilkan narasumber-narasumber yang dikenal ahli dalam bidangnya, memiliki prestasi sampai ke luar negeri tapi juga tetap mengangkat akar Indonesianya kemanapun mereka pergi. Mereka juga orang-orang yang ahli dalam berkomunikasi, dimana peserta akan dikenalkan pada kekayaan budaya Indonesia dan bagaimana kita dapat memiliki daya cipta untuk mewujudkan budaya khas Indonesia.


Konsep seminar artistik itu sendiri maksudnya adalah sebuah seminar yang diselingi dengan penampilan seni budaya dari berbagai propinsi dan digarap secara terintegrasi menjadi sebuah kesatuan acara yang kuat dan konsisten-dari segi tata panggung, pembahasan materi, sampai hal mendetail seperti isi goody bag dan menu makanan.


Jual Diri Lewat Baju




SBY = biru, JK= kuning, Megawati = merah.


Jaman-jaman kebosanan agaknya sudah berlalu; politisi belakangan ini telah menunjukkan kesadaran yang menyenangkan akan pentingnya fashion-tanpa harus terjebak oleh warna partai.




Dalam dunia ilmu komunikasi, konon bahasa nonverbal menguasai 60% dari keseluruhan komunikasi. Apa itu nonverbal? Hal-hal kecil yang sering tidak kita sadari kehadirannya, tapi tetap meninggalkan efek: senyum, cara duduk, dan juga…barang. Barang? Ya, ada sebuah cabang dalam komunikasi nonverbal yang disebut komunikasi objek-komunikasi melalui objek tertentu, semisal pakaian.


Ah, apalah artinya itu. Ternyata artinya besar, karena kita sebagai manusia, lebih percaya pada hal-hal yang tidak terucapkan. Misalnya saja saat seseorang berkata bahwa dia sedang berduka tetapi bibirnya terus tersenyum. Isyarat mana yang lebih kita percaya?



Demikian juga dengan pakaian. Sebagai salah satu instrumen komunikasi nonverbal, ia mampu mengkomunikasikan hal-hal yang tadinya abstrak (pemikiran, cara pandang, atau pendapat pemakainya) menjadi konkrit dan kasat mata. Pakaian memiliki kekuatan untuk mengkomunikasikan citra yang ingin ditimbulkan pemakainya dalam waktu sekejap-coba bayangkan orang yang memakai setelan Chanel untuk wawancara kerja.



Nah, saya yakin seiring dengan makin populernya ilmu komunikasi, para politisi kita sudah paham betul dengan besarnya konsekuensi sehelai baju. Apalagi pada masa-masa PEMILU seperti sekarang-saatnya para politisi dilihat dan saling lihat-lihatan. Rasanya bukan kebetulan kalau JK memilih batik merah dalam pertemuan dengan PDIP kemarin malam. Barangkali bukan kebetulan juga kalau Bu Mega memakai terusan etnik warna emas/batik nuansa coklat tiap kali ‘makan bersama’ dengan Sri Sultan . Saya pribadi sih merasa pakaian politisi makin menarik untuk diamati akhir-akhir ini.
Kalau begitu…kira-kira apa ya, yang dikomunikasikan oleh pakaian-pakaian para politisi di TPS kemarin?













Fcourtesy: okezone.com




Megawati and the gank kompak memakai warna-warna basic, dan yang mengejutkan…tidak merah! Baju ini sangat sempurna untuk Megawati yang memiliki jenis tubuh buah pir-ditandai dengan pinggul yang lebar. Jika dulu ia masih sering memakai setelah dua potong dengan warna bawahan lebih terang, kini pakaiannya tampak dipikirkan lebih matang (entah oleh dirinya sendiri atau oleh stafnya). Garis baby doll di atas perut dan bawahan warna gelap menyamarkan bentuk pinggul yang lebar dengan sangat apik. Puan Maharani juga patut mendapat acungan jempol tangan dan kaki karena celana high-waistednya yang super chic dan dinamis, menggambarkan kaderisasi darah muda di PDIP, tapi juga tidak kekurangan nasionalisme melalui atasan batik modern. Perpaduan yang keren.


Menurut saya, Megawati memang harus mengurangi pemakaian warna merah pada dirinya. Iya, saya tahu itu ‘kewajiban’ partai, tetapi merah adalah warna yang bersifat panas, dan ia agak berisiko. Perhatikan saja foto Megawati saat mengenakan baju full merah dengan lipstick merah langganannya itu-kesan yang ditimbulkan: galak dan meriah. Belakangan di kampanye-kampanye PDIP, ia mulai lebih banyak menggunakan hitam, warna yang masih serasi dengan lambang partainya. Memang agak terlalu panas untuk kampanye di ruangan terbuka, tapi kesan yang ditimbulkan lebih enak.


Lalu, kembali ke TPS. Apakah kiranya yang membuat Megawati melepas atribut merahnya di hari pencontrengan? Apakah ini pertanda bahwa PDIP siap berkoalisi karena ia sudah mendapat firasat akan kekalahan partainya? Terbukti, PDIP dikalahkan oleh rival beratnya, Demokrat, bahkan di TPS tempat Megawati mencontreng. Terbukti pula, hari-hari ini PDIP sibuk sekali melakukan pertemuan ini-itu dengan berbagai pihak. Warna putih melambangkan kemurnian dan sikap netral-sehingga baju yang dikenakan Megawati ini membangkitkan citra rileks dan tidak terlalu party-oriented. Sepertinya memang PDIP sudah berpikir soal koalisi dari jauh-jauh hari.


Mari kita tinggalkan Megawati dengan blus-blusnya dan beralih ke ‘lawan mainnya.’ Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY pastilah presiden paling fashionable yang pernah dimiliki Indonesia-tepatnya, ia dan istrinya. Sebenarnya saya agak geli membayangkan lemari pakaian mereka berdua yang pasti isinya penuh dengan baju kembaran. Tapi usaha ‘rempong’ untuk tampil kompak ini patut diacungi jempol-pakaian mereka yang selalu serasi seperti menggambarkan kesolidan pemerintahan SBY, seakan baju mereka berkata “Tenang saja rakyatku, semua baik-baik saja, buktinya kami masih sempat janjian pake baju kembaran.”




Meski begitu, tanpa Bu Ani sekalipun, Presiden SBY tetap tergolong modis untuk ukuran om-om seusianya. Masih ingat baju koko SBY yang penjualannya di Tanah Abang nyaris menyaingi baju koko Uje? Presiden SBY memiliki bentuk tubuh ‘bulky’-semua serba besar, seperti porsi tubuh kaukasia. Maka, baju-baju dengan motif/aksen di dada yang sering ia pakai merupakan pilihan yang sangat tepat, karena mengurangi kesan lebar pada torsonya. Misalnya saja baju yang ia pakai saat memilih kemarin:



Fcourtesy: detiknews.com


Nah, ini baru contoh garis vertikal yang merampingkan-tapi sayangnya, ke TPS memakai baju warna partai itu…benar-benar ketinggalan jaman! Kesan yang ditimbulkan: konservatif, kaku, tapi juga anggun dan elegan. Pakaian yang mencerminkan posisi SBY yang memang di atas angin dan sifatnya yang memang kalem. Di sisi lain, peletakkan pena warna emas di kantung mencerminkan sikap siap sedia, seakan mau mengatakan bahwa pemakainya adalah orang yang penuh persiapan untuk situasi tak terduga (kehabisan bolpen di TPS, misalnya).











F courtesy: beritasore.com


JK sukses mengikuti tren dengan tidak memakai baju bernuansa partai ke TPS-tapi rupanya sang istri berpikiran lain. Jilbab yang terlalu serasi warnanya malah mengurangi kharisma Ibu Mufidah. Dia tampak berusaha tampil terlalu formal, sedang sang suami malah santai dalam batik lengan pendek. Pilihan batik JK sangat tepat dengan profil tubuhnya yang kecil, karena seringkali kemeja lengan panjang membuat kesan ia seakan ‘tenggelam’ dalam bajunya. Dengan pakaian ini, JK tampak seperti pejabat berwibawa yang sedang menghabiskan long weekendnya dalam suasana santai. Ia tampak bersahabat dan ramah.












F courtesy: media indonesia




Barangkali Wiranto sadar akan citra hitamnya di masa lalu, dan lantas memilih kemeja putih untuk ke TPS. Atau barangkali ia janjian dengan Megawati? Yang jelas pakaian ini sukses menimbulkan kesan bersih dan ramah pada dirinya. Pakaian yang kaku terkanji ini juga menyiratkan kedisiplinan dan sifat perfeksionis pemiliknya. Ditambah lagi, senyum sekarang lebih sering menghiasi mukanya ketimbang jaman orde baru dahulu…citra baru berkat konsultan baru, mungkin?









F courtesy: vivanews.com dan detiknews.com


Hari-hari ini, Prabowo sering sekali memakai batik nuansa merah-putih, termasuk saat ke TPS. Padahal ia sudah sangat cocok dengan baju safari lengan pendek yang jadi trademark-nya selama masa kampanye. Batik lengan panjang ini tampak terlalu ‘berat’ untuk dikenakan ke TPS-apalagi kelihatannya Prabowo kepanasan di TPS. Motif-motif batiknya malah membuat kesan penuh dan membuat tubuhnya tampak makin besar.Meski begitu, harus diakui batik ini sebenarnya bagus sekali. Barangkali Prabowo ingin menyatakan sikapnya yang nasionalis, tetap cinta Indonesia meski sempat kabur ke luar negeri pasca reformasi. Bahasa nonverbalnya menyatakan sikap ambisius dan keyakinan yang besar pada apa yang ia kerjakan. Ia tampak seperti murid ranking satu di sekolah kita dulu-sempurna tanpa cacat cela, selalu punya jawaban untuk setiap situasi, dan sedikit arogan.












F courtesy: kompas.com


Apa yang mau dikomunikasikan Sri Sultan lewat batiknya yang ‘ramai’ ini? Sepertinya ia mau mengatakan sikapnya yang bisa masuk partai manapun, bisa koalisi dengan siapapun, tidak jelas dan membingungkan, seperti motif batiknya.










F courtesy: detik.com


Soetrisno Bachir menempuh jalan aman dengan batik santai. Nggak ada yang salah sih, tetapi membosankan. Warna yang dipilih pun tampak kusam, membuat SB jadi dekil. Sepertinya ia tidak menyiapkan pakaian tertentu untuk ke TPS. Sang istri sebaliknya tampak sempurna-tidak berlebihan, tidak kelewat cuek, tampak berkelas dari ujung kaki ke ujung kepala. Sangat tidak kompak.



Sebuah studi yang dikutip dalam buku Pengantar Ilmu Komunikasi-nya Deddy Mulyana menyatakan bahwa orang cenderung meniru perilaku orang lain yang pakaiannya mencerminkan status lebih tinggi. Konon, sang peneliti menguji orang-orang yang melanggar lampu lalu lintas dengan menyeberang jalan sembarangan. Ternyata, saat seseorang berseragam militer atau berpakaian necis melakukan hal itu, orang-orang di belakangnya kontan mengikuti. Jika memang begitu aturan mainnya, mari kita bertanya pada diri sendiri: siapa yang mau kita ikuti? Ijinkan saya menutup tulisan ini dengan sebuah peribahasa Latin:



“Uestis Uirum Reddit.” - Pakaian menjadikan orang.











































Menjual Manusia

Serba-Serbi Iklan Politik di Indonesia

oleh Olivia Elena Hakim

Harga BBM diturunkan. Diturunkan. Diturunkan. Saya Prabowo Subianto, mari kita dukung petani lokal. Sembilan-sembilan-sembilan-sembilan-pilih sembilan. Megawati Soekarnoputri kembali membawa kontrak politik. Hari-hari ini masyarakat dihujani oleh iklan politik-baik melalui media cetak maupun elektronik. Informatif atau justru menyesatkan?

PEMILU legislatif tinggal seminggu lagi. Sebagai pemilih pemula sekaligus mahasiswa komunikasi, saya menemukan bahwa manusia ternyata merupakan komoditas yang paling menarik untuk dipasarkan. Memakai iklan dan kemasan tertentu, politisi menjadi produk massal yang bersaing memperebutkan konsumen.

Media Massa: Informan yang Efektif?

Kalau mengikuti sejarah, sebenarnya cara yang lebih populer digunakan oleh para politisi dalam berkampanye adalah dengan pendekatan langsung di lapangan. Mereka berorasi di podium, melakukan kunjungan ke tempat-tempat warga dan terlibat dalam kegiatan amal. Perkembangan media massa yang cukup massif di tahun 90-an memberi dampak besar pada metode kampanye politisi; kini kita ketahui, iklan-iklan politik tumbuh subur bagaikan penyakit di musim pancaroba. Tahun 1998 saja, tercatat lebih dari $467 juta dikucurkan untuk pembiayaan iklan politik di Amerika Serikat-masuk dalam 30 besar pemasang iklan tahun itu. Negara adikuasa ini memang sudah mengenal keterlibatan agen periklanan secara profesional dalam dunia politik sejak 1950-an.

Apa sih, kegunaan iklan politik dengan media spot ads di televisi seperti yang banyak kita lihat sekarang? Mari kita perhatikan. Dalam sebuah spot ads standar berdurasi 15-60 detik, identitas kandidat mendapat penekanan, citra beliau didongkrak, dan citra lawan diinjak. Seringkali hubungan baik kandidat dengan komunitasnya juga ditonjolkan dan yang cukup penting adalah mengkomunikasikan pendapat kandidat mengenai sebuah isu (seperti SBY dengan harga BBM-nya atau Jusuf Kalla dengan pembangunan). Dalam waktu singkat, semua informasi ini bisa diperoleh dengan jelas, tanpa harus berpanas-panas menonton orasi lapangan atau terkantuk-kantuk memelototi siaran berita. Spot ads ini juga menjadi media yang sangat efektif untuk kandidat-kandidat ‘kelas berat’ yaitu para capres. Tidak seperti caleg atau calon anggota DPD, mereka harus dikenal dan menjangkau pemilih dari Sabang sampai Merauke. Hanya televisilah yang mampu mencapai manusia sebanyak itu dalam waktu yang bersamaan. Televisi juga dinilai sebagai media paling efektif untuk merespons kampanye negatif dari para pesaing.

Sisi Lain

Memang dibandingkan Amerika, iklan politik profesional via media massa di negara kita masih menjadi fenomena yang baru. Tapi efeknya luar biasa. Jika di Amerika iklan-iklan itu hanya berperan seperti suplemen tambahan (karena konvensi partai, dialog langsung dan acara debat menjadi bahan pertimbangan yang lebih besar di sana) di Indonesia iklan-iklan ini memiliki dampak lebih drastis. Bisa dibilang inilah menu utama yang dikonsumsi mentah-mentah oleh para calon pemilih kita. Berdasarkan survei nasional putaran IV Reform Institute, iklan televisi menjadi faktor eksternal teratas yang memengaruhi pilihan pemilih. Dari 2.520 responden yang disurvei, 35,11% di antaranya menyatakan iklan televisi sangat memengaruhi pilihan mereka untuk memilih salah satu partai. Hal itu diungkapkan peneliti Reform Institute Kholid Novianto, di Kantor Reform Institute, Jakarta Selatan. Setelah iklan, ternyata baliho, spanduk, stiker, dan bendera partai/caleg juga akan memengaruhi pilihan masyarakat (22,06%). “Iklan koran dan majalah pengaruhnya relatif kecil, hanya 2,88% responden yang menyatakan terpengaruh media itu. Sedangkan faktor anjuran keluarga cukup besar yaitu 34,19 persen,” jelas Kholid.

Tetapi menurut Arbi Sanit, pakar politik Universitas Indonesia, fenomena sejumlah tokoh politik yang mengiklankan dirinya di media massa justru merupakan bentuk kecurangan kepada masyarakat. Sebab, lewat iklan itu masyarakat tak dapat menilai kapasitas seseorang. Ia menilai, di negara kita iklan membuat orang dapat berubah citra dalam waktu singkat. Seharusnya, orang itu juga harus membuktikan kemampuannya.

Bisa jadi pendapatnya ini dipicu oleh fenomena Partai Gerindra. Ia berumur paling belia dibandingkan partai lain, namun ‘berkat’ iklan politik yang jor-joran, popularitas partai berlambang garuda ini meroket secara instan, bersamaan dengan bosnya, Prabowo Subianto. Berdasarkan survei Center for Strategic International Studies (CSIS) tentang Perilaku Pemilih Menuju Pemilu 2009, Iklan Partai Gerindra dinilai paling sering dilihat dan disukai masyarakat. Survei tersebut menunjukkan 64,1% pernah melihat iklan Partai Gerindra dan 36% menyukainya.

Mari kita beralih ke polling yang dilakukan lembaga lain, yaitu lembaga riset Taylor Nelson Sofress (TNS). Hasil polling terhadap 2.000 orang yang diambil secara random di 200 kecamatan di 30 provinsi bersama dalam dua tahap, Juli dan September, memberi kejutan pada sejumlah pengamat politik. Hasilnya menyebutkan, dalam lima besarnya, 34% responden pada bulan September memilih Susilo Bambang Yudhoyono, 22% memilih Megawati Soekarnoputri, 15% Prabowo Subianto, serta 4% masing-masing untuk Sultan Hamengku Buwono X dan Wiranto. Untuk lima besar di partai, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mendapat 25%, Partai Demokrat 24%, Partai Gerindra 13%, Partai Golkar 11%, dan 5% untuk Partai Keadilan Sejahtera. Sekali lagi, perlu kita perhatikan fakta bahwa Gerindra adalah partai yang baru berusia satu tahun.

Menurut Taufik Baharudin, pengajar ilmu manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga Presiden Direktur National Leadership Center (NLC), hasil polling tersebut belum menunjukkan arah Pemilu 2009. Namun, ia mengaku terkejut dengan munculnya nama seperti Prabowo Subianto bersama Partai Gerindra yang diminati responden. Padahal, partai tersebut masih baru dan pertama kali bertanding pada pemilu tahun ini.

Memang seharusnya kita ingat, yang namanya iklan ya tetap iklan. Sesuatu yang sangat bisa untuk diatur-bentuk publisitas paling aman asal punya dana. Pebisnis Amerika Roberto Guiza mengatakan, “We don't know how to sell products based on performance. Everything we sell, we sell on image.”

Kualitas Iklan Politik

Pasti kita semua pernah melihatnya sendiri. Iklan-iklan politik telah memasuki ruang-ruang kehidupan kita sejak awal tahun ini: dari ruang publik (stiker di angkot, reklame di jalan, dll) sampai ruang privat kita (televisi di rumah, radio di mobil, dll). Beberapa menggelikan dan membuat kita merasa terganggu, tapi tidak terpungkiri memang ada iklan-iklan yang bagus.

Jika pada masa lalu iklan politik terasa seperti propaganda pemerintah yang langsung membuat kita antipati, kini iklan-iklan itu tersaji dengan lebih apik, profesional, rapi dan tidak ‘kasar.’ Simak iklan-iklan Gerindra dan Hanura-bintang baru di pasaran politik kita. Asas dasar periklanan komersial terpenuhi: AIDA (attention, interest, desire, dan kemungkinan besar action). Iklan tersebut berhasil menarik perhatian kita dengan mengangkat isu yang relevan, membuat hati kita tersentuh, dan...menurut teorinya sih, pada akhirnya akan menggerakkan kita ke dalam aksi nyata. Mencontreng mereka di TPS tanggal 9 April nanti.

Jelas sekali kalau parpol-parpol berdana besar ini didukung advertising agency dan konsultan komunikasi yang kuat. Tapi bagaimana nasib para caleg, single fighter kita? Promosi manusia di tingkat ini justru lebih seru-dengan dana yang tidak terlalu besar dan dukungan yang tidak seprofesional parpol nasional, mereka berjuang semampunya menarik hati pemilih. Biasanya para caleg ini bermain di kelas percetakan: kaus, stiker, spanduk, dan kroco-kroconya. Seringnya iklan-iklan mereka dengan jujur menguak keluguan dan sifat manipulatif; pada akhirnya mayoritas jadi sampah, korban vandalism, atau bahan tertawaan. Para caleg kita rupanya minder tapi pede. Saking mindernya, foto tokoh lain sering dicatut di spanduk dengan ukuran lebih besar dari fotonya sendiri (dari Barrack Obama, David Beckham, ‘papanya Cynthia Lamusu,’ foto ayah-ibunya, sampai…hewan koleksi Ragunan seperti harimau dan monyet). Lebih jauh lagi, foto mereka sendiri juga diutak-atik dahsyat dengan photoshop. Sering saya terkaget-kaget melihat sosok asli seorang caleg dibandingkan dengan gambar spanduknya. Kelihatannya muda, padahal sudah tua. Mukanya jadi putih, padahal aslinya hitam. Caleg pria pipinya seperti pakai blush on. Ah, pemalu sekali mereka…tapi juga cukup pede untuk mengajukan diri menjadi public officer.

Banyak juga yang memakai strategi soft selling; tidak terang-terangan jual diri, tapi membuat semcam iklan layanan sosial. Dari yang mengajak tersenyum lebar pakai contoh foto gorila sampai meningkatkan harkat diri bangsa dengan cara…makan pakai tangan kanan. Jelas dia nggak bakal dipilih oleh WNI-WNI kidal.

Sepertinya memang benar apa kata Leo Burnett, tokoh periklanan Amerika: If you don't get noticed, you don't have anything. Yang penting menarik perhatian dulu. Benar kan, makin kita benci suatu iklan, makin kita ingat iklan tersebut? Maka sebaiknya kita jangan terlalu sering mengolok-olok kepolosan seorang caleg, bisa-bisa…kita malah memilih dia. Kualat.

Uang Berbicara Berkampanye

Di luar segala pro-kontra seputar iklan politik, ada satu fakta yang tidak terelakkan: uang. Biaya pemasangan spot ads di televisi sangat mahal, apalagi pada saat prime time. Pada skala yang lebih lokal (dan lebih cekak), para caleg pun berjuang untuk memasang materi-materi kampanye mereka di printed media (reklame, kaus, spanduk, dan…angkot. Sebulan Rp 80.000, ngomong-ngomong). Biaya yang menjulang tinggi ini tentunya memengaruhi budget politk tiap kandidat. Mereka harus menggalang dana secara berkelanjutan jika ingin karir politiknya tetap sehat walafiat. Kritikus mengatakan bahwa faktor ‘u’ ini telah mencemari demokrasi karena kandidat terpilih memiliki ‘utang nyawa’ pada kontributor mereka yang kaya-raya. Ada juga komentar agar pemilik media menyediakan spot mereka secara gratis untuk kepentingan ini, yang langsung ditolak mentah-mentah oleh jaringan televisi dan radio.

Biaya pemasangan iklan bagi partai-partai besar di tingkat nasional sepertinya memang tidak menjadi masalah. Harian Kompas 8 Maret 2009 lalu memaparkan daftar dana kampanye para parpol. Angka yang keluar cukup fantastis-seperti yang sudah ditebak, Gerindra memiliki dana terbesar 15,694 miliar disusul Demokrat 7,027 miliar dan Hanura 5,002 miliar.

Tapi, tentunya tidak semua parpol dan caleg seberuntung trio itu. Ada parpol-parpol cilik yang dana kampanyenya dibawah 4 juta, bahkan rekor dipecahkan oleh Partai Karya Perjuangan dengan dana satu juta perak saja. Masalahnya, seberapapun dana yang tersedia, mereka semua memiliki kebutuhan yang sama untuk berkampanye. Maka, tidak heran kalau belakangan kita mendengar berita soal caleg-caleg yang menempuh ‘jalur alternatif’ demi mendapat uang untuk kampanye: dari menjarah kebun sawit, mencuri motor, sampai jualan ganja. Ck,ck,ck…kreatif.

Pro-kontra seputar iklan politik mungkin masih akan bergulir sepanjang tahun ini, apalagi menjelang pemilu capres. Pasti bakal makin banyak tontonan seru untuk pengamat komunikasi politik. Sebuah iklan, entah itu menjual produk, jasa, atau manusia, memang bisa menyesatkan sekaligus informatif pada saat yang sama. Iklan memang bukanlah ilmu pasti-melainkan sebuah seni. Seni persuasi. Maka, sebelum Anda bingung menentukan pilihan, ijinkan saya membantu dengan sebuah tips dari pepatah Afrika kuno: A good thing sells itself.

Olivia Elena Hakim

2006100384

MC10-11B