“Setiap kebudayaan pasti mengalami perubahan atau perkembangan, hanya kebudayaan yang mati saja yang bersifat statis.”


-Soerjono Soekanto-


Sekitar 40 tahun lalu, sosiolog besar Edward T. Hall pernah mengemukakan bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Komunikasi menjadi sebuah kunci agar suatu kebudayaan tidak punah dan di sisi lain kebudayaan adalah ‘ibu’ yang melahirkan komunikasi.


Komunikasi dalam rangka menjaga kebudayaan harus didukung oleh daya cipta bangsanya. Jika Indonesia ingin berkembang budayanya, maka kita sebagai warganya harus menjaga daya cipta yang kita miliki. Tetapi jika melihat tren sinetron epigon dan budaya pop di negeri ini, barangkali yang terlintas di benak kita: apa iya, Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki daya cipta?


Ya, sesungguhnya kita adalah bangsa yang memiliki daya cipta-mari sedikit menengok ke belakang, maka kita akan menemukan sebuah bangsa yang kreatif, hidup, penuh daya cipta, dan tidak ragu untuk menerima perubahan secara cerdas. Ada suatu masa ketika kita tidak menerima budaya luar mentah-mentah; bangsa ini pernah mengolah budaya Arab dan Melayu menjadi Tari Saman, budaya Jawa dan Cina menjadi Lontong Cap Go Meh, budaya Portugis dan Betawi menjadi Orkes Tanjidor, dan masih banyak lagi. Dari contoh di atas kita melihat bangsa yang berubah, beradaptasi, dan hidup. Kita adalah bangsa yang kreatif; Anda dan saya dan satu hal yang tidak akan berubah dari dulu sampai sekarang adalah: perubahan. Perubahan masuk ke negeri kita dengan deras, dari masa ketika Borobudur baru dibangun sampai detik ini. Maka, belajar dari masa lalu, bangsa ini pun harus berani untuk berubah-berubah dengan cerdas, tanpa meninggalkan akar budaya Indonesia yang luhur. Intinya? Kita harus memiliki daya cipta, tidak menelan bulat-bulat semua hal yang ‘disuapkan’ ke mulut kita. Kemampuan mengkombinasikan budaya luar dan budaya lokal akan membuat kita semua menjadi pelopor untuk budaya khas Indonesia. Anda dan saya, kita semua bisa menjadi agen perubahan.




Tapi kenyataannya di negara kita Indonesia, kemampuan daya cipta makin merosot. Fenomena yang menjamur belakangan, kita menerima begitu saja semua unsur budaya luar yang masuk. Seakan kita ini hanya kertas polos yang siap dibentuk nasibnya oleh orang lain. Bangsa kita dicemooh sebagai bangsa peniru oleh-ironisnya-anak mudanya sendiri.


Berangkat dari keprihatinan tersebut, tim SeratusDuaBelas bertekad mengangkat kekayaan budaya Indonesia dan pentingnya daya cipta dalam budaya, dengan format sebuah seminar artistik.


Definisi seminar sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: “Pertemuan atau persidangan untuk membahas suatu masalah di bawah pimpinan ahli (guru besar, pakar)” sedangkan menurut The Free Dictionary:“A meeting for an exchange of ideas; a conference.”


Oleh karena itu dalam seminar yang digarap secara artistik ini kami menampilkan narasumber-narasumber yang dikenal ahli dalam bidangnya, memiliki prestasi sampai ke luar negeri tapi juga tetap mengangkat akar Indonesianya kemanapun mereka pergi. Mereka juga orang-orang yang ahli dalam berkomunikasi, dimana peserta akan dikenalkan pada kekayaan budaya Indonesia dan bagaimana kita dapat memiliki daya cipta untuk mewujudkan budaya khas Indonesia.


Konsep seminar artistik itu sendiri maksudnya adalah sebuah seminar yang diselingi dengan penampilan seni budaya dari berbagai propinsi dan digarap secara terintegrasi menjadi sebuah kesatuan acara yang kuat dan konsisten-dari segi tata panggung, pembahasan materi, sampai hal mendetail seperti isi goody bag dan menu makanan.


Jual Diri Lewat Baju




SBY = biru, JK= kuning, Megawati = merah.


Jaman-jaman kebosanan agaknya sudah berlalu; politisi belakangan ini telah menunjukkan kesadaran yang menyenangkan akan pentingnya fashion-tanpa harus terjebak oleh warna partai.




Dalam dunia ilmu komunikasi, konon bahasa nonverbal menguasai 60% dari keseluruhan komunikasi. Apa itu nonverbal? Hal-hal kecil yang sering tidak kita sadari kehadirannya, tapi tetap meninggalkan efek: senyum, cara duduk, dan juga…barang. Barang? Ya, ada sebuah cabang dalam komunikasi nonverbal yang disebut komunikasi objek-komunikasi melalui objek tertentu, semisal pakaian.


Ah, apalah artinya itu. Ternyata artinya besar, karena kita sebagai manusia, lebih percaya pada hal-hal yang tidak terucapkan. Misalnya saja saat seseorang berkata bahwa dia sedang berduka tetapi bibirnya terus tersenyum. Isyarat mana yang lebih kita percaya?



Demikian juga dengan pakaian. Sebagai salah satu instrumen komunikasi nonverbal, ia mampu mengkomunikasikan hal-hal yang tadinya abstrak (pemikiran, cara pandang, atau pendapat pemakainya) menjadi konkrit dan kasat mata. Pakaian memiliki kekuatan untuk mengkomunikasikan citra yang ingin ditimbulkan pemakainya dalam waktu sekejap-coba bayangkan orang yang memakai setelan Chanel untuk wawancara kerja.



Nah, saya yakin seiring dengan makin populernya ilmu komunikasi, para politisi kita sudah paham betul dengan besarnya konsekuensi sehelai baju. Apalagi pada masa-masa PEMILU seperti sekarang-saatnya para politisi dilihat dan saling lihat-lihatan. Rasanya bukan kebetulan kalau JK memilih batik merah dalam pertemuan dengan PDIP kemarin malam. Barangkali bukan kebetulan juga kalau Bu Mega memakai terusan etnik warna emas/batik nuansa coklat tiap kali ‘makan bersama’ dengan Sri Sultan . Saya pribadi sih merasa pakaian politisi makin menarik untuk diamati akhir-akhir ini.
Kalau begitu…kira-kira apa ya, yang dikomunikasikan oleh pakaian-pakaian para politisi di TPS kemarin?













Fcourtesy: okezone.com




Megawati and the gank kompak memakai warna-warna basic, dan yang mengejutkan…tidak merah! Baju ini sangat sempurna untuk Megawati yang memiliki jenis tubuh buah pir-ditandai dengan pinggul yang lebar. Jika dulu ia masih sering memakai setelah dua potong dengan warna bawahan lebih terang, kini pakaiannya tampak dipikirkan lebih matang (entah oleh dirinya sendiri atau oleh stafnya). Garis baby doll di atas perut dan bawahan warna gelap menyamarkan bentuk pinggul yang lebar dengan sangat apik. Puan Maharani juga patut mendapat acungan jempol tangan dan kaki karena celana high-waistednya yang super chic dan dinamis, menggambarkan kaderisasi darah muda di PDIP, tapi juga tidak kekurangan nasionalisme melalui atasan batik modern. Perpaduan yang keren.


Menurut saya, Megawati memang harus mengurangi pemakaian warna merah pada dirinya. Iya, saya tahu itu ‘kewajiban’ partai, tetapi merah adalah warna yang bersifat panas, dan ia agak berisiko. Perhatikan saja foto Megawati saat mengenakan baju full merah dengan lipstick merah langganannya itu-kesan yang ditimbulkan: galak dan meriah. Belakangan di kampanye-kampanye PDIP, ia mulai lebih banyak menggunakan hitam, warna yang masih serasi dengan lambang partainya. Memang agak terlalu panas untuk kampanye di ruangan terbuka, tapi kesan yang ditimbulkan lebih enak.


Lalu, kembali ke TPS. Apakah kiranya yang membuat Megawati melepas atribut merahnya di hari pencontrengan? Apakah ini pertanda bahwa PDIP siap berkoalisi karena ia sudah mendapat firasat akan kekalahan partainya? Terbukti, PDIP dikalahkan oleh rival beratnya, Demokrat, bahkan di TPS tempat Megawati mencontreng. Terbukti pula, hari-hari ini PDIP sibuk sekali melakukan pertemuan ini-itu dengan berbagai pihak. Warna putih melambangkan kemurnian dan sikap netral-sehingga baju yang dikenakan Megawati ini membangkitkan citra rileks dan tidak terlalu party-oriented. Sepertinya memang PDIP sudah berpikir soal koalisi dari jauh-jauh hari.


Mari kita tinggalkan Megawati dengan blus-blusnya dan beralih ke ‘lawan mainnya.’ Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY pastilah presiden paling fashionable yang pernah dimiliki Indonesia-tepatnya, ia dan istrinya. Sebenarnya saya agak geli membayangkan lemari pakaian mereka berdua yang pasti isinya penuh dengan baju kembaran. Tapi usaha ‘rempong’ untuk tampil kompak ini patut diacungi jempol-pakaian mereka yang selalu serasi seperti menggambarkan kesolidan pemerintahan SBY, seakan baju mereka berkata “Tenang saja rakyatku, semua baik-baik saja, buktinya kami masih sempat janjian pake baju kembaran.”




Meski begitu, tanpa Bu Ani sekalipun, Presiden SBY tetap tergolong modis untuk ukuran om-om seusianya. Masih ingat baju koko SBY yang penjualannya di Tanah Abang nyaris menyaingi baju koko Uje? Presiden SBY memiliki bentuk tubuh ‘bulky’-semua serba besar, seperti porsi tubuh kaukasia. Maka, baju-baju dengan motif/aksen di dada yang sering ia pakai merupakan pilihan yang sangat tepat, karena mengurangi kesan lebar pada torsonya. Misalnya saja baju yang ia pakai saat memilih kemarin:



Fcourtesy: detiknews.com


Nah, ini baru contoh garis vertikal yang merampingkan-tapi sayangnya, ke TPS memakai baju warna partai itu…benar-benar ketinggalan jaman! Kesan yang ditimbulkan: konservatif, kaku, tapi juga anggun dan elegan. Pakaian yang mencerminkan posisi SBY yang memang di atas angin dan sifatnya yang memang kalem. Di sisi lain, peletakkan pena warna emas di kantung mencerminkan sikap siap sedia, seakan mau mengatakan bahwa pemakainya adalah orang yang penuh persiapan untuk situasi tak terduga (kehabisan bolpen di TPS, misalnya).











F courtesy: beritasore.com


JK sukses mengikuti tren dengan tidak memakai baju bernuansa partai ke TPS-tapi rupanya sang istri berpikiran lain. Jilbab yang terlalu serasi warnanya malah mengurangi kharisma Ibu Mufidah. Dia tampak berusaha tampil terlalu formal, sedang sang suami malah santai dalam batik lengan pendek. Pilihan batik JK sangat tepat dengan profil tubuhnya yang kecil, karena seringkali kemeja lengan panjang membuat kesan ia seakan ‘tenggelam’ dalam bajunya. Dengan pakaian ini, JK tampak seperti pejabat berwibawa yang sedang menghabiskan long weekendnya dalam suasana santai. Ia tampak bersahabat dan ramah.












F courtesy: media indonesia




Barangkali Wiranto sadar akan citra hitamnya di masa lalu, dan lantas memilih kemeja putih untuk ke TPS. Atau barangkali ia janjian dengan Megawati? Yang jelas pakaian ini sukses menimbulkan kesan bersih dan ramah pada dirinya. Pakaian yang kaku terkanji ini juga menyiratkan kedisiplinan dan sifat perfeksionis pemiliknya. Ditambah lagi, senyum sekarang lebih sering menghiasi mukanya ketimbang jaman orde baru dahulu…citra baru berkat konsultan baru, mungkin?









F courtesy: vivanews.com dan detiknews.com


Hari-hari ini, Prabowo sering sekali memakai batik nuansa merah-putih, termasuk saat ke TPS. Padahal ia sudah sangat cocok dengan baju safari lengan pendek yang jadi trademark-nya selama masa kampanye. Batik lengan panjang ini tampak terlalu ‘berat’ untuk dikenakan ke TPS-apalagi kelihatannya Prabowo kepanasan di TPS. Motif-motif batiknya malah membuat kesan penuh dan membuat tubuhnya tampak makin besar.Meski begitu, harus diakui batik ini sebenarnya bagus sekali. Barangkali Prabowo ingin menyatakan sikapnya yang nasionalis, tetap cinta Indonesia meski sempat kabur ke luar negeri pasca reformasi. Bahasa nonverbalnya menyatakan sikap ambisius dan keyakinan yang besar pada apa yang ia kerjakan. Ia tampak seperti murid ranking satu di sekolah kita dulu-sempurna tanpa cacat cela, selalu punya jawaban untuk setiap situasi, dan sedikit arogan.












F courtesy: kompas.com


Apa yang mau dikomunikasikan Sri Sultan lewat batiknya yang ‘ramai’ ini? Sepertinya ia mau mengatakan sikapnya yang bisa masuk partai manapun, bisa koalisi dengan siapapun, tidak jelas dan membingungkan, seperti motif batiknya.










F courtesy: detik.com


Soetrisno Bachir menempuh jalan aman dengan batik santai. Nggak ada yang salah sih, tetapi membosankan. Warna yang dipilih pun tampak kusam, membuat SB jadi dekil. Sepertinya ia tidak menyiapkan pakaian tertentu untuk ke TPS. Sang istri sebaliknya tampak sempurna-tidak berlebihan, tidak kelewat cuek, tampak berkelas dari ujung kaki ke ujung kepala. Sangat tidak kompak.



Sebuah studi yang dikutip dalam buku Pengantar Ilmu Komunikasi-nya Deddy Mulyana menyatakan bahwa orang cenderung meniru perilaku orang lain yang pakaiannya mencerminkan status lebih tinggi. Konon, sang peneliti menguji orang-orang yang melanggar lampu lalu lintas dengan menyeberang jalan sembarangan. Ternyata, saat seseorang berseragam militer atau berpakaian necis melakukan hal itu, orang-orang di belakangnya kontan mengikuti. Jika memang begitu aturan mainnya, mari kita bertanya pada diri sendiri: siapa yang mau kita ikuti? Ijinkan saya menutup tulisan ini dengan sebuah peribahasa Latin:



“Uestis Uirum Reddit.” - Pakaian menjadikan orang.











































Menjual Manusia

Serba-Serbi Iklan Politik di Indonesia

oleh Olivia Elena Hakim

Harga BBM diturunkan. Diturunkan. Diturunkan. Saya Prabowo Subianto, mari kita dukung petani lokal. Sembilan-sembilan-sembilan-sembilan-pilih sembilan. Megawati Soekarnoputri kembali membawa kontrak politik. Hari-hari ini masyarakat dihujani oleh iklan politik-baik melalui media cetak maupun elektronik. Informatif atau justru menyesatkan?

PEMILU legislatif tinggal seminggu lagi. Sebagai pemilih pemula sekaligus mahasiswa komunikasi, saya menemukan bahwa manusia ternyata merupakan komoditas yang paling menarik untuk dipasarkan. Memakai iklan dan kemasan tertentu, politisi menjadi produk massal yang bersaing memperebutkan konsumen.

Media Massa: Informan yang Efektif?

Kalau mengikuti sejarah, sebenarnya cara yang lebih populer digunakan oleh para politisi dalam berkampanye adalah dengan pendekatan langsung di lapangan. Mereka berorasi di podium, melakukan kunjungan ke tempat-tempat warga dan terlibat dalam kegiatan amal. Perkembangan media massa yang cukup massif di tahun 90-an memberi dampak besar pada metode kampanye politisi; kini kita ketahui, iklan-iklan politik tumbuh subur bagaikan penyakit di musim pancaroba. Tahun 1998 saja, tercatat lebih dari $467 juta dikucurkan untuk pembiayaan iklan politik di Amerika Serikat-masuk dalam 30 besar pemasang iklan tahun itu. Negara adikuasa ini memang sudah mengenal keterlibatan agen periklanan secara profesional dalam dunia politik sejak 1950-an.

Apa sih, kegunaan iklan politik dengan media spot ads di televisi seperti yang banyak kita lihat sekarang? Mari kita perhatikan. Dalam sebuah spot ads standar berdurasi 15-60 detik, identitas kandidat mendapat penekanan, citra beliau didongkrak, dan citra lawan diinjak. Seringkali hubungan baik kandidat dengan komunitasnya juga ditonjolkan dan yang cukup penting adalah mengkomunikasikan pendapat kandidat mengenai sebuah isu (seperti SBY dengan harga BBM-nya atau Jusuf Kalla dengan pembangunan). Dalam waktu singkat, semua informasi ini bisa diperoleh dengan jelas, tanpa harus berpanas-panas menonton orasi lapangan atau terkantuk-kantuk memelototi siaran berita. Spot ads ini juga menjadi media yang sangat efektif untuk kandidat-kandidat ‘kelas berat’ yaitu para capres. Tidak seperti caleg atau calon anggota DPD, mereka harus dikenal dan menjangkau pemilih dari Sabang sampai Merauke. Hanya televisilah yang mampu mencapai manusia sebanyak itu dalam waktu yang bersamaan. Televisi juga dinilai sebagai media paling efektif untuk merespons kampanye negatif dari para pesaing.

Sisi Lain

Memang dibandingkan Amerika, iklan politik profesional via media massa di negara kita masih menjadi fenomena yang baru. Tapi efeknya luar biasa. Jika di Amerika iklan-iklan itu hanya berperan seperti suplemen tambahan (karena konvensi partai, dialog langsung dan acara debat menjadi bahan pertimbangan yang lebih besar di sana) di Indonesia iklan-iklan ini memiliki dampak lebih drastis. Bisa dibilang inilah menu utama yang dikonsumsi mentah-mentah oleh para calon pemilih kita. Berdasarkan survei nasional putaran IV Reform Institute, iklan televisi menjadi faktor eksternal teratas yang memengaruhi pilihan pemilih. Dari 2.520 responden yang disurvei, 35,11% di antaranya menyatakan iklan televisi sangat memengaruhi pilihan mereka untuk memilih salah satu partai. Hal itu diungkapkan peneliti Reform Institute Kholid Novianto, di Kantor Reform Institute, Jakarta Selatan. Setelah iklan, ternyata baliho, spanduk, stiker, dan bendera partai/caleg juga akan memengaruhi pilihan masyarakat (22,06%). “Iklan koran dan majalah pengaruhnya relatif kecil, hanya 2,88% responden yang menyatakan terpengaruh media itu. Sedangkan faktor anjuran keluarga cukup besar yaitu 34,19 persen,” jelas Kholid.

Tetapi menurut Arbi Sanit, pakar politik Universitas Indonesia, fenomena sejumlah tokoh politik yang mengiklankan dirinya di media massa justru merupakan bentuk kecurangan kepada masyarakat. Sebab, lewat iklan itu masyarakat tak dapat menilai kapasitas seseorang. Ia menilai, di negara kita iklan membuat orang dapat berubah citra dalam waktu singkat. Seharusnya, orang itu juga harus membuktikan kemampuannya.

Bisa jadi pendapatnya ini dipicu oleh fenomena Partai Gerindra. Ia berumur paling belia dibandingkan partai lain, namun ‘berkat’ iklan politik yang jor-joran, popularitas partai berlambang garuda ini meroket secara instan, bersamaan dengan bosnya, Prabowo Subianto. Berdasarkan survei Center for Strategic International Studies (CSIS) tentang Perilaku Pemilih Menuju Pemilu 2009, Iklan Partai Gerindra dinilai paling sering dilihat dan disukai masyarakat. Survei tersebut menunjukkan 64,1% pernah melihat iklan Partai Gerindra dan 36% menyukainya.

Mari kita beralih ke polling yang dilakukan lembaga lain, yaitu lembaga riset Taylor Nelson Sofress (TNS). Hasil polling terhadap 2.000 orang yang diambil secara random di 200 kecamatan di 30 provinsi bersama dalam dua tahap, Juli dan September, memberi kejutan pada sejumlah pengamat politik. Hasilnya menyebutkan, dalam lima besarnya, 34% responden pada bulan September memilih Susilo Bambang Yudhoyono, 22% memilih Megawati Soekarnoputri, 15% Prabowo Subianto, serta 4% masing-masing untuk Sultan Hamengku Buwono X dan Wiranto. Untuk lima besar di partai, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mendapat 25%, Partai Demokrat 24%, Partai Gerindra 13%, Partai Golkar 11%, dan 5% untuk Partai Keadilan Sejahtera. Sekali lagi, perlu kita perhatikan fakta bahwa Gerindra adalah partai yang baru berusia satu tahun.

Menurut Taufik Baharudin, pengajar ilmu manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga Presiden Direktur National Leadership Center (NLC), hasil polling tersebut belum menunjukkan arah Pemilu 2009. Namun, ia mengaku terkejut dengan munculnya nama seperti Prabowo Subianto bersama Partai Gerindra yang diminati responden. Padahal, partai tersebut masih baru dan pertama kali bertanding pada pemilu tahun ini.

Memang seharusnya kita ingat, yang namanya iklan ya tetap iklan. Sesuatu yang sangat bisa untuk diatur-bentuk publisitas paling aman asal punya dana. Pebisnis Amerika Roberto Guiza mengatakan, “We don't know how to sell products based on performance. Everything we sell, we sell on image.”

Kualitas Iklan Politik

Pasti kita semua pernah melihatnya sendiri. Iklan-iklan politik telah memasuki ruang-ruang kehidupan kita sejak awal tahun ini: dari ruang publik (stiker di angkot, reklame di jalan, dll) sampai ruang privat kita (televisi di rumah, radio di mobil, dll). Beberapa menggelikan dan membuat kita merasa terganggu, tapi tidak terpungkiri memang ada iklan-iklan yang bagus.

Jika pada masa lalu iklan politik terasa seperti propaganda pemerintah yang langsung membuat kita antipati, kini iklan-iklan itu tersaji dengan lebih apik, profesional, rapi dan tidak ‘kasar.’ Simak iklan-iklan Gerindra dan Hanura-bintang baru di pasaran politik kita. Asas dasar periklanan komersial terpenuhi: AIDA (attention, interest, desire, dan kemungkinan besar action). Iklan tersebut berhasil menarik perhatian kita dengan mengangkat isu yang relevan, membuat hati kita tersentuh, dan...menurut teorinya sih, pada akhirnya akan menggerakkan kita ke dalam aksi nyata. Mencontreng mereka di TPS tanggal 9 April nanti.

Jelas sekali kalau parpol-parpol berdana besar ini didukung advertising agency dan konsultan komunikasi yang kuat. Tapi bagaimana nasib para caleg, single fighter kita? Promosi manusia di tingkat ini justru lebih seru-dengan dana yang tidak terlalu besar dan dukungan yang tidak seprofesional parpol nasional, mereka berjuang semampunya menarik hati pemilih. Biasanya para caleg ini bermain di kelas percetakan: kaus, stiker, spanduk, dan kroco-kroconya. Seringnya iklan-iklan mereka dengan jujur menguak keluguan dan sifat manipulatif; pada akhirnya mayoritas jadi sampah, korban vandalism, atau bahan tertawaan. Para caleg kita rupanya minder tapi pede. Saking mindernya, foto tokoh lain sering dicatut di spanduk dengan ukuran lebih besar dari fotonya sendiri (dari Barrack Obama, David Beckham, ‘papanya Cynthia Lamusu,’ foto ayah-ibunya, sampai…hewan koleksi Ragunan seperti harimau dan monyet). Lebih jauh lagi, foto mereka sendiri juga diutak-atik dahsyat dengan photoshop. Sering saya terkaget-kaget melihat sosok asli seorang caleg dibandingkan dengan gambar spanduknya. Kelihatannya muda, padahal sudah tua. Mukanya jadi putih, padahal aslinya hitam. Caleg pria pipinya seperti pakai blush on. Ah, pemalu sekali mereka…tapi juga cukup pede untuk mengajukan diri menjadi public officer.

Banyak juga yang memakai strategi soft selling; tidak terang-terangan jual diri, tapi membuat semcam iklan layanan sosial. Dari yang mengajak tersenyum lebar pakai contoh foto gorila sampai meningkatkan harkat diri bangsa dengan cara…makan pakai tangan kanan. Jelas dia nggak bakal dipilih oleh WNI-WNI kidal.

Sepertinya memang benar apa kata Leo Burnett, tokoh periklanan Amerika: If you don't get noticed, you don't have anything. Yang penting menarik perhatian dulu. Benar kan, makin kita benci suatu iklan, makin kita ingat iklan tersebut? Maka sebaiknya kita jangan terlalu sering mengolok-olok kepolosan seorang caleg, bisa-bisa…kita malah memilih dia. Kualat.

Uang Berbicara Berkampanye

Di luar segala pro-kontra seputar iklan politik, ada satu fakta yang tidak terelakkan: uang. Biaya pemasangan spot ads di televisi sangat mahal, apalagi pada saat prime time. Pada skala yang lebih lokal (dan lebih cekak), para caleg pun berjuang untuk memasang materi-materi kampanye mereka di printed media (reklame, kaus, spanduk, dan…angkot. Sebulan Rp 80.000, ngomong-ngomong). Biaya yang menjulang tinggi ini tentunya memengaruhi budget politk tiap kandidat. Mereka harus menggalang dana secara berkelanjutan jika ingin karir politiknya tetap sehat walafiat. Kritikus mengatakan bahwa faktor ‘u’ ini telah mencemari demokrasi karena kandidat terpilih memiliki ‘utang nyawa’ pada kontributor mereka yang kaya-raya. Ada juga komentar agar pemilik media menyediakan spot mereka secara gratis untuk kepentingan ini, yang langsung ditolak mentah-mentah oleh jaringan televisi dan radio.

Biaya pemasangan iklan bagi partai-partai besar di tingkat nasional sepertinya memang tidak menjadi masalah. Harian Kompas 8 Maret 2009 lalu memaparkan daftar dana kampanye para parpol. Angka yang keluar cukup fantastis-seperti yang sudah ditebak, Gerindra memiliki dana terbesar 15,694 miliar disusul Demokrat 7,027 miliar dan Hanura 5,002 miliar.

Tapi, tentunya tidak semua parpol dan caleg seberuntung trio itu. Ada parpol-parpol cilik yang dana kampanyenya dibawah 4 juta, bahkan rekor dipecahkan oleh Partai Karya Perjuangan dengan dana satu juta perak saja. Masalahnya, seberapapun dana yang tersedia, mereka semua memiliki kebutuhan yang sama untuk berkampanye. Maka, tidak heran kalau belakangan kita mendengar berita soal caleg-caleg yang menempuh ‘jalur alternatif’ demi mendapat uang untuk kampanye: dari menjarah kebun sawit, mencuri motor, sampai jualan ganja. Ck,ck,ck…kreatif.

Pro-kontra seputar iklan politik mungkin masih akan bergulir sepanjang tahun ini, apalagi menjelang pemilu capres. Pasti bakal makin banyak tontonan seru untuk pengamat komunikasi politik. Sebuah iklan, entah itu menjual produk, jasa, atau manusia, memang bisa menyesatkan sekaligus informatif pada saat yang sama. Iklan memang bukanlah ilmu pasti-melainkan sebuah seni. Seni persuasi. Maka, sebelum Anda bingung menentukan pilihan, ijinkan saya membantu dengan sebuah tips dari pepatah Afrika kuno: A good thing sells itself.

Olivia Elena Hakim

2006100384

MC10-11B

Accredited by BAN PT: SK No. 007/BAN-PT/AK-V/S1/V/2002 An accredited centre of the London Chamber of Commerce and Industry Examinations Board – United Kingdom An approved centre of City & Guilds of London Institute, England Cambridge International Associate Partner of the University of Cambridge International Examinations, United Kingdom

Aku Menonton, Maka Aku Ada

“[Televisi] takkan dapat mempertahankan pasar yang diperolehnya setelah enam bulan pertama. Orang akan segera bosan memandangi kotak jati setiap malamnya.“

-Darryl F. Zanuck, pemimpin 20th Century Fox, 1946-

Apa itu televisi? Apakah ia hanya sebuah ‘kotak kayu’? Layar terang yang meramaikan ruang keluarga kita? Barang penghias rumah? Sumber pertengkaran atas hak milik remote? Microsoft Encarta mendefinisikan televisi sebagai sistem untuk mengirim dan menerima gambar & suara dengan memakai sinyal elektronik yang ditransmisikan via kabel and serat optik, atau juga dengan radiasi elektromagnetik. Sinyal untuk televisi dipancarkan dari sebuah stasiun pusat, yang kita kenal sebagai stasiun televisi.

Ramalan Darryl F. Zanuck terbukti meleset jauh, karena sampai saat ini televisi masih dikenal sebagai bentuk komunikasi massa yang penyebarannya paling luas. Ya, televisi, bukan internet seperti yang mungkin kita sangka. Coba saja kita berkeliling ke desa-desa nelayan di sepanjang Pantura atau desa-desa di daerah pegunungan yang sulit dicapai. Apakah mereka punya komputer (dengan fasilitas internet)? Belum tentu. Apakah ada televisi di sana? Hampir pasti. Minimal satu unit yang bisa ditonton ramai-ramai pada malam hari.

Di era perkembangan internet yang meroket pada masa kini, kita sering lupa bahwa di negara kita, bagaimanapun ia belum menjadi penguasa komunikasi. Statistik menunjukkan, 93 persen penduduk Indonesia menonton televisi setiap hari, dan 35 persen diantaranya mengaku semakin sering menonton televisi karena acaranya mereka nilai makin menarik (sumber: AGB Nielsen, Februari 2007). Bahkan survey oleh lembaga yang sama di berbagai kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bali, dll mengatakan bahwa ternyata televisi pun masih menjadi konsumsi media nomor satu.

Jika kita menengok kembali sejarah lahirnya televisi, maka kita akan dibuat takjub akan betapa kreatif dan jeniusnya manusia jika terdesak perang. Alkisah di awal tahun 1940-an, sebuah teknologi televisi sederhana mulai berkembang-bahkan beberapa stasiun TV mulai mengudara secara eksperimental. Tapi semua masih serba sederhana, serba eksperimental, dan jangan bayangkan kualitas gambar seperti yang kita nikmati sekarang-ensiklopedi Encara memakai istilah ‘crude but recognizable.’

Sebenarnya, jauh sebelum masa itu, sejak tahun 1880an, insinyur Jerman Paul Nipkow sudah mendesain mekanisme televisi yang pertama, dengan bantuan alat yang disebut Nipkow Disk. Teknologi penemuan Nipkow juga turut mendukung proyek siaran televisi ‘coba-coba’ di Amerika Serikat oleh Charles F. Jenkins dan John L. Baird dari tahun 1923 – 1925. Perbaikan di sana-sini terus berjalan sampai era 1930-an. Memang makan waktu agak lama sampai televisi benar-benar ‘matang’ dan populer di tengah publik-salah satu momen yang bersejarah adalah saat siaran publik pertama terjadi di London tahun 1936. Lalu, Amerika menyusul dengan membuat siaran televisi reguler pertama tahun 1939.

Akhirnya, adalah Perang Dunia II yang malah menjadi pecut pemicu majunya teknologi dan industri penyiaran televisi. Pertempuran yang terjadi tahun 1939-1945 pada awalnya membuat semua aktivitas pengembangan televisi membeku. Selain kondisi sosial, ekonomi dan politik yang tidak stabil, para ilmuwan pengembang televisi kena wajib militer. Segi positifnya, setelah perang selesai, tepatnya tahun 1946, terjadilah ‘baby boom’ dan ‘television broadcasting boom’-jika pada yang pertama para tentara pulang dan beranak-pinak, pada ‘television broadcasting boom,’ industri penyiaran televisi berkembang sangat pesat dan cepat. Bagaimana bisa? Rupanya para ilmuwan itu mempelajari teknologi pendukung perang seperti radar, frekuensi tinggi, dll yang dapat dipakai untuk menyempurnakan sistem televisi. Para veteran, yang memiliki keahlian tinggi di bidang ini, langsung direkrut untuk memperkuat industri pembuatan pesawat televisi. Sejak itulah televisi berkembang pesat, dan terus mempertahankan eksistensi dan supremasinya, hingga detik ini.

Sebenarnya apa sih, yang istimewa dari televisi? Yang pasti ia adalah media penyebar informasi yang sangat dominan-jika buku menstimuli indra visual kita dan radio menstimuli indra pendengaran alias auditori kita, televisi menggabungkan keduanya sehingga pengalaman yang didapat konsumennya lebih maksimal. A picture speaks a thousand words.

Waktu pun terus berjalan-televisi yang tadinya hitam putih jadi berwarna. Pesawat yang tadinya ‘gemuk’ jadi makin langsing, layar yang cembung kini menjadi flat. Televisi telah melahirkan bintang film, mempopulerkan politisi, menimbulkan kontroversi, membuka aib orang, menyebarkan budaya pop, dan masih banyak lagi. Bagi kita semua, mungkin ia memberitakan gosip terbaru, mengajar kita memasak, membawa kita melihat negara lain, memutarkan video klip musisi favorit dan barangkali juga menjadi seorang teman.

Sama seperti hal besar lain di dunia ini, televisi datang bersama konsekuensi negatif dan positif. Mari kita mulai dari yang bagus dulu-televisi memberi informasi, mirip seperti internet pada jamannya, hiburan, membantu mengembangkan budaya, juga bisa menjadi sarana pendidikan-meski fungsinya yang satu ini kurang populer dibanding fungsi rekreasinya.

Begitu disukainya televisi sampai-sampai di masa internet seperti sekarang pun orang masih meletakkan televisi (dalam rupa yang lebih compact, tentunya) dalam mobil maupun telepon genggam mereka. Televisi nggak ada matinya.

Tapi nenek kita berpesan: segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Terlalu banyak televisi memang akan merusak mata dan meroketkan tagihan listrik-tapi dampak yang lebih dahsyat justru tidak bisa dilihat dengan mata. Sebagai ‘biang’ televisi, Amerika Serikat menjadi penguasa dunia melalui imperialisme budaya. Siaran-siaran televisi yang sarat dengan budaya barat menyebar ke berbagai penjuru dunia, dan membuat anak muda di belahan benua mengadaptasi budaya MTV mentah-mentah (dalam hal ini saya tidak sepenuhnya menyalahkan Amerika dan industrinya sih-pada dasarnya tiap orang punya pilihan dan tiap orang seharusnya bisa berpikir kritis). Bukannya munafik kalau saya bilang begini, karena toh nyatanya saya memakai celana jeans setiap hari dan kecanduan Dunkin’ Donuts. Tapi yang paling disayangkan dari fenomena ini, entah kenapa diterimanya budaya luar selalu diiringi dengan ditinggalkannya budaya lokal. Sedih sekali melihat grup lawak Srimulat mati suri padahal serial Friends masih ditayangkan ulang di TV Kabel sampai sekarang. Fenomena ini tidak terbatas hanya untuk kaum ABG, televisi juga bisa memiliki dampak negatif terhadap anak berusia lebih muda-masih ingat kasus anak kecil yang membunuh temannya karena acara Smack Down? Atau anak-anak yang meniru bahasa kasar sinetron? Ibu-ibu yang diedukasi oleh acara infotainment untuk menghakimi orang tidak mereka kenal? Bapak-bapak yang memelihara hobi menonton komedi tengah malam?

Faktor kedua yang menjadi efek negatif televisi adalah persaingan bisnis. Industri televisi adalah sebuah bisnis raksasa beromzet miliaran rupiah-apa sih tidak akan dilakukan untuk membahagiakan konsumen saat Anda punya kesempatan untuk meraup uang sebanyak itu? Perhatikan fenomena di televisi kita: stasiun X memutar acara mistik dan sukses-lalu semua stasiun lain akan segera membuat acara dengan format serupa pada jam yang sama pula. Hal semacam itu sudah kita lihat pada fenomena sinetron, komedi, dan acara musik remaja. Itu masih dalam skala ‘internal’-belum lagi acara luar negeri yang terang-terangan dijiplak PH lokal demi konsumsi televisi: sinetron Candy, Intan, Cincin, Wulan, dan masih banyak lagi. Kualitas tontonan menurun-padahal bisa dikatakan televisi adalah ‘guru’ bangsa ini. Ya, seperti dikatakan hasil survey tadi, masih banyak manusia yang ‘kecanduan’ televisi di negara ini-dan kita semua sedang dididik televisi menjadi bangsa yang tidak kreatif dan malas berpikir. Bagaimanapun, duduk-duduk di depan televisi seharian bukan sesuatu yang produktif, seperti komentar satir Andy Warhol: “When I got my first television set, I stopped caring so much about having close relationships.”
Sebenarnya, apa sih yang ingin dilihat orang pada layar kaca? Dari hasil perenungan dalam busway yang bergoyang, saya menemukan jawabnya: diri mereka sendiri. Ya, orang ingin melihat diri mereka sendiri. Masih ingat cerita Dewa Narcissus dalam mitologi Yunani? Suatu kali sang dewa yang tampan berjalan-jalan di pinggir sungai. Ia menunduk dan terkejut mendapati wajah yang begitu indah memandangnya balik dari permukaan air. Narcissus membungkuk dan menatap; Narcissus jatuh cinta setengah mati pada wajahnya sendiri dan begitu sedih karena wajah itu tidak pernah memberi jawab atas tiap ucapannya, bahkan malah memburam saat Narcissus menyentuhnya. Akhirnya Narcissus hanya terduduk di tepi sungai dan menatapi wajahnya sendiri sampai mati.

Dongeng yang bagus. Tapi hal serupa sedang terjadi pada manusia dan televisi. Jaman artis gemerlapan seperti bidadari sudah berlalu-reality show, interactive talk show, game show, dan acara sejenis sedang meraja. Apa yang bisa kita analisa dari semua itu? Acara-acara itu melibatkan orang biasa, yang sehari-hari kita temui di jalan. Saya masih ingat saat kampus melakukan kunjungan ke Trans TV-hari sudah malam, tapi ibu-ibu masih mengantri untuk menjadi penonton acara talkshow. Kini, sosok yang terlihat dan ingin dilihat orang dalam layar kacanya adalah sosok yang semirip mungkin dengan dirinya sendiri, dan bukan tidak mungkin, lama-kelamaan sosok itu menjadi dirinya sendiri. Ambil contoh kasus suksesnya SuperMama SelebShow di Indosiar beberapa waktu lalu. Sebagai sebuah kontes menyanyi, skill pesertanya betul-betul kurang kalau tidak mau disebut menggelikan. Tapi apa yang ingin dilihat pemirsa? Sosok ibu para peserta yang polos, apa adanya, terkadang bawel. Ibu mereka sendiri.

Puncak dari fenomena ini: narsis.TV, Gong Show, dan The Box. Jika Anda harus punya talent tertentu untuk masuk Gong Show, dalam kasus The Box Anda hanya perlu memiliki hal yang menarik untuk dikatakan atau tidak tahu malu. Narsis.TV adalah perkembangan terbaru yang cukup unik-karena konsepnya adalah menggabungkan online social media dan on-air traditional media. Unggah video Anda di situsnya, lalu jika menarik akan ditayangkan di Global TV. Judul acara ini benar-benar tepat menggambarkan fenomena di baliknya. Nah, mungkin saja suatu hari giliran Anda dan saya yang akan mendapat kesempatan untuk duduk di depan televisi dan melihat diri kita sendiri di dalamnya-itu sudah bukan hal mustahil lagi sekarang, pertanyaannya hanya satu: mau tidak? Sepertinya saya harus mengakhiri esai ini dengan sebuah ‘ramalan’ yang lebih tepat daripada yang tertulis di awal esai.

In the future everyone will be famous for 15 minutes.
-Andy Warhol-

Sumber:

  • Ensiklopedia Encarta (Microsoft® Student 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008)
  • Broadcasting, Cable, The Internet, and Beyond-An Introduction to Modern Electronic Media. (New York: McGraw Hill, 2000)
  • The 7 Habits of The Highly Effective Teens (Jakarta: Binarupa Aksara, 2001)
  • www.kapanlagi.com
  • www.tempointeraktif.com
  • www.brainyquotes.com
  • www.wikipedia.com