PSK

Movie review score
5

Pernah lewat jalanan di depan rel kereta, lurusan stasiun Jatinegara, malem hari?

Saya sering…dan jika kamu juga, mungkin kamu tahu apa yang saya lihat.

Di pinggir trotoar, beberapa perempuan berdiri di pinggir jalan.

Nggak jauh dari tempatnya berdiri, ada seorang pengendara motor yang menunggui.

Mereka ada beberapa, berdiri dengan jarak sekitar beberapa meter satu sama lain, menanti konsumen.

Biasanya orang menyebut mereka PSK.

Hampir setiap minggu malam saya melewati jalanan itu, dan wajah saya pasti menempel di kaca mobil, melihat mereka.

Kenapa ya, saya memiliki ketertarikan yang aneh pada perempuan-perempuan ini.

Sama seperti waria-waria lampu merah-saya sampai hapal, siapa mangkal dimana, pake baju apa hari ini…menurut saya ada sesuatu yang menarik dari para pekerja dengan komoditas yang tidak biasa ini.

Tapi saya nggak tau apa.

Khusus untuk para perempuan Jatinegara, mungkin karena mereka telah sukses mematahkan stereotip PSK di kepala saya.

Saya kebanyakan nonton film atau baca komik, mungkin; di otak saya tergambar PSK sebagai Barbie hidup yang merokok di pinggir jalan dengan syal bulu dan stoking jala.

Tetapi para perempuan Jatinegara tampak seperti perempuan biasa.

Kurus-kurus, memakai kaus atau atasan sejenis, dan jeans.

Mereka tampak seumur saya, bahkan lebih muda.

Sesekali saya melihat sosok yang tampak masih sangat kecil, masih sangat muda.

Dan mata saya menatap dia lebih lama.

Minggu malam datang lagi, kali ini minggu pertama bulan puasa.

Ada yang berbeda malam itu-saya dan kakak saya sedang bermobil menuju jalanan yang biasa ketika kami diserobot dengan kasar oleh serombongan arisan pria heboh.

Mereka bermotor dengan gagah dan penuh kuasa, mungkin karena jalan ini milik mereka.

Panji-panji keagamaan berkibar-kibar; saya jadi inget film hantu Indonesia jaman kecil, yang endingnya selalu sama: hantunya kebakar sama ayat-ayat.

Feeling saya nggak salah.

Mereka ternyata ada di sini untuk tujuan yang sama dengan film hantu.

Para perempuan Jatinegara di ujung jalan yang udah menangkap kehadiran si film hantu itu tampak kocar-kacir.

Sekilas saya membayangkan mereka jadi kelojotan seperti cacing kepanasan di bawah kibaran bendera yang digotong-gotong orang itu.

Saya terpana dan terbengong.

Saya merasa sakit hati, tapi nggak tau kenapa dan untuk siapa.

Mungkin karena saya kehilangan teman-teman minggu malam yang biasa?

Yang jelas, mobil kami mendului mereka dan di ujung jalan yang satunya, masih ada yang mangkal dengan santai, sama sekali tidak sadar akan nasib yang menimpa mereka sebentar lagi atau apa yang sudah menimpa kerabat kerja mereka di ujung jalan satunya.

Ada supply, ada demand…terang kakak saya.

Ia gusar karena seringnya mereka yang kena ciduk.

Halloooo…apa kabar pelanggan setia PSK ABG?

Kemana para pria itu?

Oh, kalo saya nggak salah nebak, mereka lagi di rumah, main ayah-ayahan bersama istri anaknya.

Atau…jangan-jangan….duh, amit-amit….

Semoga mereka nggak lagi di jalanan, merazia orang-orang yang susilanya dinilai agak kurang.

Saya dan kakak saya sejenak sama-sama berpikir ingin menepi sebentar untuk memeringatkan mereka agar lari.

Tapi nggak sedetik ada orang suci di kepala kami yang menegur: hey, kalian mau nolong PSK???

Pikiran saya mendadak kacau dan limbung.

Menolong PSK?

Ah, tiba-tiba saya merasa ditinggalkan oleh kebenaran.

Dimana kebenaran?

Tahu-tahu saja saya udah nggak tahu lagi mana yang benar dan yang salah.

Seambigu itukah kebenaran?

Saya berusaha mencerna peristiwa ini dan mendapati kesimpulan bahwa nggak ada yang namanya kebenaran dan kesalahan.

Apa yang benar dan yang salah itu relatif, dan biasanya patokan itu ditentukan oleh orang yang kebetulan berkuasa untuk membuatnya.

Nggak ada yang 100% benar dan 100% salah.

Dunia ini abu-abu.

Oke, lah.

Titik.

Entah kenapa saya dibuat sedih sama kesimpulan sendiri.

Mobil kami terus berjalan meninggalkan semua itu.

Tapi tidak secepat itu pikiran kami meninggalkan mereka yang di belakang.

Alkisah, satu lampu merah lagi sebelum masuk kompleks perumahan kami.

Di benak saya masih terbayang perempuan-perempuan kocar-kacir dikejar-kejar.

Waria hapalan saya yang biasa hari ini pake baju tipikal PSK di film-film.

Menor, seronok, centil, kenes.

Dia selalu berhasil bikin saya senyum, karena nggak seperti waria lain yang berkesan somse keratu-ratuan, dia ceria dan saya sering liat dia ketawa.

Senyumnya lucu, dia ramah dan sopan.

Terkadang mirip Tina Toon kecil yang terkurung di badan yang salah.

Dia mengamen dengan kecrekan, pernah dia menyanyi dengan kepala dimiringkan, lalu lompat-lompat kecil ke samping seperti kepiting.

Dia lagi ngamen di tiga mobil depan.

Tiba-tiba mobil itu mengeluarkan sekotak nasi untuk dia-hal lumrah di bulan puasa.

Dia memegang dua nasi boks di tangan, senyumnya lebih menyenangkan dari biasa.

Tiba-tiba ia tampak memanggil seseorang.

Nggak lama, dari dalam kegelapan muncul seorang waria lain yang lebih tua.

Waria favorit saya menunjuk-nunjuk nasi boksnya dan mobil yang memberikan nasi itu.

Waria tua itu mengangguk-angguk penuh terima kasih, mereka sama-sama tersenyum pada siapapun yang ada di dalam mobil itu, lalu mereka berbagi nasi boks.

Itu adalah pemandangan terindah yang saya lihat hari ini.

Rasanya seperti ada belitan rantai yang dilepaskan dari dada saya.

Ternyata masih ada kebenaran absolut di dunia ini.

Namanya kasih, dan ia 100% persen benar.

Leave a Reply