Movie review score
5

Accredited by BAN PT: SK No. 007/BAN-PT/AK-V/S1/V/2002 An accredited centre of the London Chamber of Commerce and Industry Examinations Board – United Kingdom An approved centre of City & Guilds of London Institute, England Cambridge International Associate Partner of the University of Cambridge International Examinations, United Kingdom

Aku Menonton, Maka Aku Ada

“[Televisi] takkan dapat mempertahankan pasar yang diperolehnya setelah enam bulan pertama. Orang akan segera bosan memandangi kotak jati setiap malamnya.“

-Darryl F. Zanuck, pemimpin 20th Century Fox, 1946-

Apa itu televisi? Apakah ia hanya sebuah ‘kotak kayu’? Layar terang yang meramaikan ruang keluarga kita? Barang penghias rumah? Sumber pertengkaran atas hak milik remote? Microsoft Encarta mendefinisikan televisi sebagai sistem untuk mengirim dan menerima gambar & suara dengan memakai sinyal elektronik yang ditransmisikan via kabel and serat optik, atau juga dengan radiasi elektromagnetik. Sinyal untuk televisi dipancarkan dari sebuah stasiun pusat, yang kita kenal sebagai stasiun televisi.

Ramalan Darryl F. Zanuck terbukti meleset jauh, karena sampai saat ini televisi masih dikenal sebagai bentuk komunikasi massa yang penyebarannya paling luas. Ya, televisi, bukan internet seperti yang mungkin kita sangka. Coba saja kita berkeliling ke desa-desa nelayan di sepanjang Pantura atau desa-desa di daerah pegunungan yang sulit dicapai. Apakah mereka punya komputer (dengan fasilitas internet)? Belum tentu. Apakah ada televisi di sana? Hampir pasti. Minimal satu unit yang bisa ditonton ramai-ramai pada malam hari.

Di era perkembangan internet yang meroket pada masa kini, kita sering lupa bahwa di negara kita, bagaimanapun ia belum menjadi penguasa komunikasi. Statistik menunjukkan, 93 persen penduduk Indonesia menonton televisi setiap hari, dan 35 persen diantaranya mengaku semakin sering menonton televisi karena acaranya mereka nilai makin menarik (sumber: AGB Nielsen, Februari 2007). Bahkan survey oleh lembaga yang sama di berbagai kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bali, dll mengatakan bahwa ternyata televisi pun masih menjadi konsumsi media nomor satu.

Jika kita menengok kembali sejarah lahirnya televisi, maka kita akan dibuat takjub akan betapa kreatif dan jeniusnya manusia jika terdesak perang. Alkisah di awal tahun 1940-an, sebuah teknologi televisi sederhana mulai berkembang-bahkan beberapa stasiun TV mulai mengudara secara eksperimental. Tapi semua masih serba sederhana, serba eksperimental, dan jangan bayangkan kualitas gambar seperti yang kita nikmati sekarang-ensiklopedi Encara memakai istilah ‘crude but recognizable.’

Sebenarnya, jauh sebelum masa itu, sejak tahun 1880an, insinyur Jerman Paul Nipkow sudah mendesain mekanisme televisi yang pertama, dengan bantuan alat yang disebut Nipkow Disk. Teknologi penemuan Nipkow juga turut mendukung proyek siaran televisi ‘coba-coba’ di Amerika Serikat oleh Charles F. Jenkins dan John L. Baird dari tahun 1923 – 1925. Perbaikan di sana-sini terus berjalan sampai era 1930-an. Memang makan waktu agak lama sampai televisi benar-benar ‘matang’ dan populer di tengah publik-salah satu momen yang bersejarah adalah saat siaran publik pertama terjadi di London tahun 1936. Lalu, Amerika menyusul dengan membuat siaran televisi reguler pertama tahun 1939.

Akhirnya, adalah Perang Dunia II yang malah menjadi pecut pemicu majunya teknologi dan industri penyiaran televisi. Pertempuran yang terjadi tahun 1939-1945 pada awalnya membuat semua aktivitas pengembangan televisi membeku. Selain kondisi sosial, ekonomi dan politik yang tidak stabil, para ilmuwan pengembang televisi kena wajib militer. Segi positifnya, setelah perang selesai, tepatnya tahun 1946, terjadilah ‘baby boom’ dan ‘television broadcasting boom’-jika pada yang pertama para tentara pulang dan beranak-pinak, pada ‘television broadcasting boom,’ industri penyiaran televisi berkembang sangat pesat dan cepat. Bagaimana bisa? Rupanya para ilmuwan itu mempelajari teknologi pendukung perang seperti radar, frekuensi tinggi, dll yang dapat dipakai untuk menyempurnakan sistem televisi. Para veteran, yang memiliki keahlian tinggi di bidang ini, langsung direkrut untuk memperkuat industri pembuatan pesawat televisi. Sejak itulah televisi berkembang pesat, dan terus mempertahankan eksistensi dan supremasinya, hingga detik ini.

Sebenarnya apa sih, yang istimewa dari televisi? Yang pasti ia adalah media penyebar informasi yang sangat dominan-jika buku menstimuli indra visual kita dan radio menstimuli indra pendengaran alias auditori kita, televisi menggabungkan keduanya sehingga pengalaman yang didapat konsumennya lebih maksimal. A picture speaks a thousand words.

Waktu pun terus berjalan-televisi yang tadinya hitam putih jadi berwarna. Pesawat yang tadinya ‘gemuk’ jadi makin langsing, layar yang cembung kini menjadi flat. Televisi telah melahirkan bintang film, mempopulerkan politisi, menimbulkan kontroversi, membuka aib orang, menyebarkan budaya pop, dan masih banyak lagi. Bagi kita semua, mungkin ia memberitakan gosip terbaru, mengajar kita memasak, membawa kita melihat negara lain, memutarkan video klip musisi favorit dan barangkali juga menjadi seorang teman.

Sama seperti hal besar lain di dunia ini, televisi datang bersama konsekuensi negatif dan positif. Mari kita mulai dari yang bagus dulu-televisi memberi informasi, mirip seperti internet pada jamannya, hiburan, membantu mengembangkan budaya, juga bisa menjadi sarana pendidikan-meski fungsinya yang satu ini kurang populer dibanding fungsi rekreasinya.

Begitu disukainya televisi sampai-sampai di masa internet seperti sekarang pun orang masih meletakkan televisi (dalam rupa yang lebih compact, tentunya) dalam mobil maupun telepon genggam mereka. Televisi nggak ada matinya.

Tapi nenek kita berpesan: segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Terlalu banyak televisi memang akan merusak mata dan meroketkan tagihan listrik-tapi dampak yang lebih dahsyat justru tidak bisa dilihat dengan mata. Sebagai ‘biang’ televisi, Amerika Serikat menjadi penguasa dunia melalui imperialisme budaya. Siaran-siaran televisi yang sarat dengan budaya barat menyebar ke berbagai penjuru dunia, dan membuat anak muda di belahan benua mengadaptasi budaya MTV mentah-mentah (dalam hal ini saya tidak sepenuhnya menyalahkan Amerika dan industrinya sih-pada dasarnya tiap orang punya pilihan dan tiap orang seharusnya bisa berpikir kritis). Bukannya munafik kalau saya bilang begini, karena toh nyatanya saya memakai celana jeans setiap hari dan kecanduan Dunkin’ Donuts. Tapi yang paling disayangkan dari fenomena ini, entah kenapa diterimanya budaya luar selalu diiringi dengan ditinggalkannya budaya lokal. Sedih sekali melihat grup lawak Srimulat mati suri padahal serial Friends masih ditayangkan ulang di TV Kabel sampai sekarang. Fenomena ini tidak terbatas hanya untuk kaum ABG, televisi juga bisa memiliki dampak negatif terhadap anak berusia lebih muda-masih ingat kasus anak kecil yang membunuh temannya karena acara Smack Down? Atau anak-anak yang meniru bahasa kasar sinetron? Ibu-ibu yang diedukasi oleh acara infotainment untuk menghakimi orang tidak mereka kenal? Bapak-bapak yang memelihara hobi menonton komedi tengah malam?

Faktor kedua yang menjadi efek negatif televisi adalah persaingan bisnis. Industri televisi adalah sebuah bisnis raksasa beromzet miliaran rupiah-apa sih tidak akan dilakukan untuk membahagiakan konsumen saat Anda punya kesempatan untuk meraup uang sebanyak itu? Perhatikan fenomena di televisi kita: stasiun X memutar acara mistik dan sukses-lalu semua stasiun lain akan segera membuat acara dengan format serupa pada jam yang sama pula. Hal semacam itu sudah kita lihat pada fenomena sinetron, komedi, dan acara musik remaja. Itu masih dalam skala ‘internal’-belum lagi acara luar negeri yang terang-terangan dijiplak PH lokal demi konsumsi televisi: sinetron Candy, Intan, Cincin, Wulan, dan masih banyak lagi. Kualitas tontonan menurun-padahal bisa dikatakan televisi adalah ‘guru’ bangsa ini. Ya, seperti dikatakan hasil survey tadi, masih banyak manusia yang ‘kecanduan’ televisi di negara ini-dan kita semua sedang dididik televisi menjadi bangsa yang tidak kreatif dan malas berpikir. Bagaimanapun, duduk-duduk di depan televisi seharian bukan sesuatu yang produktif, seperti komentar satir Andy Warhol: “When I got my first television set, I stopped caring so much about having close relationships.”
Sebenarnya, apa sih yang ingin dilihat orang pada layar kaca? Dari hasil perenungan dalam busway yang bergoyang, saya menemukan jawabnya: diri mereka sendiri. Ya, orang ingin melihat diri mereka sendiri. Masih ingat cerita Dewa Narcissus dalam mitologi Yunani? Suatu kali sang dewa yang tampan berjalan-jalan di pinggir sungai. Ia menunduk dan terkejut mendapati wajah yang begitu indah memandangnya balik dari permukaan air. Narcissus membungkuk dan menatap; Narcissus jatuh cinta setengah mati pada wajahnya sendiri dan begitu sedih karena wajah itu tidak pernah memberi jawab atas tiap ucapannya, bahkan malah memburam saat Narcissus menyentuhnya. Akhirnya Narcissus hanya terduduk di tepi sungai dan menatapi wajahnya sendiri sampai mati.

Dongeng yang bagus. Tapi hal serupa sedang terjadi pada manusia dan televisi. Jaman artis gemerlapan seperti bidadari sudah berlalu-reality show, interactive talk show, game show, dan acara sejenis sedang meraja. Apa yang bisa kita analisa dari semua itu? Acara-acara itu melibatkan orang biasa, yang sehari-hari kita temui di jalan. Saya masih ingat saat kampus melakukan kunjungan ke Trans TV-hari sudah malam, tapi ibu-ibu masih mengantri untuk menjadi penonton acara talkshow. Kini, sosok yang terlihat dan ingin dilihat orang dalam layar kacanya adalah sosok yang semirip mungkin dengan dirinya sendiri, dan bukan tidak mungkin, lama-kelamaan sosok itu menjadi dirinya sendiri. Ambil contoh kasus suksesnya SuperMama SelebShow di Indosiar beberapa waktu lalu. Sebagai sebuah kontes menyanyi, skill pesertanya betul-betul kurang kalau tidak mau disebut menggelikan. Tapi apa yang ingin dilihat pemirsa? Sosok ibu para peserta yang polos, apa adanya, terkadang bawel. Ibu mereka sendiri.

Puncak dari fenomena ini: narsis.TV, Gong Show, dan The Box. Jika Anda harus punya talent tertentu untuk masuk Gong Show, dalam kasus The Box Anda hanya perlu memiliki hal yang menarik untuk dikatakan atau tidak tahu malu. Narsis.TV adalah perkembangan terbaru yang cukup unik-karena konsepnya adalah menggabungkan online social media dan on-air traditional media. Unggah video Anda di situsnya, lalu jika menarik akan ditayangkan di Global TV. Judul acara ini benar-benar tepat menggambarkan fenomena di baliknya. Nah, mungkin saja suatu hari giliran Anda dan saya yang akan mendapat kesempatan untuk duduk di depan televisi dan melihat diri kita sendiri di dalamnya-itu sudah bukan hal mustahil lagi sekarang, pertanyaannya hanya satu: mau tidak? Sepertinya saya harus mengakhiri esai ini dengan sebuah ‘ramalan’ yang lebih tepat daripada yang tertulis di awal esai.

In the future everyone will be famous for 15 minutes.
-Andy Warhol-

Sumber:

  • Ensiklopedia Encarta (Microsoft® Student 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008)
  • Broadcasting, Cable, The Internet, and Beyond-An Introduction to Modern Electronic Media. (New York: McGraw Hill, 2000)
  • The 7 Habits of The Highly Effective Teens (Jakarta: Binarupa Aksara, 2001)
  • www.kapanlagi.com
  • www.tempointeraktif.com
  • www.brainyquotes.com
  • www.wikipedia.com

Leave a Reply