Movie review score
5

Menjual Manusia

Serba-Serbi Iklan Politik di Indonesia

oleh Olivia Elena Hakim

Harga BBM diturunkan. Diturunkan. Diturunkan. Saya Prabowo Subianto, mari kita dukung petani lokal. Sembilan-sembilan-sembilan-sembilan-pilih sembilan. Megawati Soekarnoputri kembali membawa kontrak politik. Hari-hari ini masyarakat dihujani oleh iklan politik-baik melalui media cetak maupun elektronik. Informatif atau justru menyesatkan?

PEMILU legislatif tinggal seminggu lagi. Sebagai pemilih pemula sekaligus mahasiswa komunikasi, saya menemukan bahwa manusia ternyata merupakan komoditas yang paling menarik untuk dipasarkan. Memakai iklan dan kemasan tertentu, politisi menjadi produk massal yang bersaing memperebutkan konsumen.

Media Massa: Informan yang Efektif?

Kalau mengikuti sejarah, sebenarnya cara yang lebih populer digunakan oleh para politisi dalam berkampanye adalah dengan pendekatan langsung di lapangan. Mereka berorasi di podium, melakukan kunjungan ke tempat-tempat warga dan terlibat dalam kegiatan amal. Perkembangan media massa yang cukup massif di tahun 90-an memberi dampak besar pada metode kampanye politisi; kini kita ketahui, iklan-iklan politik tumbuh subur bagaikan penyakit di musim pancaroba. Tahun 1998 saja, tercatat lebih dari $467 juta dikucurkan untuk pembiayaan iklan politik di Amerika Serikat-masuk dalam 30 besar pemasang iklan tahun itu. Negara adikuasa ini memang sudah mengenal keterlibatan agen periklanan secara profesional dalam dunia politik sejak 1950-an.

Apa sih, kegunaan iklan politik dengan media spot ads di televisi seperti yang banyak kita lihat sekarang? Mari kita perhatikan. Dalam sebuah spot ads standar berdurasi 15-60 detik, identitas kandidat mendapat penekanan, citra beliau didongkrak, dan citra lawan diinjak. Seringkali hubungan baik kandidat dengan komunitasnya juga ditonjolkan dan yang cukup penting adalah mengkomunikasikan pendapat kandidat mengenai sebuah isu (seperti SBY dengan harga BBM-nya atau Jusuf Kalla dengan pembangunan). Dalam waktu singkat, semua informasi ini bisa diperoleh dengan jelas, tanpa harus berpanas-panas menonton orasi lapangan atau terkantuk-kantuk memelototi siaran berita. Spot ads ini juga menjadi media yang sangat efektif untuk kandidat-kandidat ‘kelas berat’ yaitu para capres. Tidak seperti caleg atau calon anggota DPD, mereka harus dikenal dan menjangkau pemilih dari Sabang sampai Merauke. Hanya televisilah yang mampu mencapai manusia sebanyak itu dalam waktu yang bersamaan. Televisi juga dinilai sebagai media paling efektif untuk merespons kampanye negatif dari para pesaing.

Sisi Lain

Memang dibandingkan Amerika, iklan politik profesional via media massa di negara kita masih menjadi fenomena yang baru. Tapi efeknya luar biasa. Jika di Amerika iklan-iklan itu hanya berperan seperti suplemen tambahan (karena konvensi partai, dialog langsung dan acara debat menjadi bahan pertimbangan yang lebih besar di sana) di Indonesia iklan-iklan ini memiliki dampak lebih drastis. Bisa dibilang inilah menu utama yang dikonsumsi mentah-mentah oleh para calon pemilih kita. Berdasarkan survei nasional putaran IV Reform Institute, iklan televisi menjadi faktor eksternal teratas yang memengaruhi pilihan pemilih. Dari 2.520 responden yang disurvei, 35,11% di antaranya menyatakan iklan televisi sangat memengaruhi pilihan mereka untuk memilih salah satu partai. Hal itu diungkapkan peneliti Reform Institute Kholid Novianto, di Kantor Reform Institute, Jakarta Selatan. Setelah iklan, ternyata baliho, spanduk, stiker, dan bendera partai/caleg juga akan memengaruhi pilihan masyarakat (22,06%). “Iklan koran dan majalah pengaruhnya relatif kecil, hanya 2,88% responden yang menyatakan terpengaruh media itu. Sedangkan faktor anjuran keluarga cukup besar yaitu 34,19 persen,” jelas Kholid.

Tetapi menurut Arbi Sanit, pakar politik Universitas Indonesia, fenomena sejumlah tokoh politik yang mengiklankan dirinya di media massa justru merupakan bentuk kecurangan kepada masyarakat. Sebab, lewat iklan itu masyarakat tak dapat menilai kapasitas seseorang. Ia menilai, di negara kita iklan membuat orang dapat berubah citra dalam waktu singkat. Seharusnya, orang itu juga harus membuktikan kemampuannya.

Bisa jadi pendapatnya ini dipicu oleh fenomena Partai Gerindra. Ia berumur paling belia dibandingkan partai lain, namun ‘berkat’ iklan politik yang jor-joran, popularitas partai berlambang garuda ini meroket secara instan, bersamaan dengan bosnya, Prabowo Subianto. Berdasarkan survei Center for Strategic International Studies (CSIS) tentang Perilaku Pemilih Menuju Pemilu 2009, Iklan Partai Gerindra dinilai paling sering dilihat dan disukai masyarakat. Survei tersebut menunjukkan 64,1% pernah melihat iklan Partai Gerindra dan 36% menyukainya.

Mari kita beralih ke polling yang dilakukan lembaga lain, yaitu lembaga riset Taylor Nelson Sofress (TNS). Hasil polling terhadap 2.000 orang yang diambil secara random di 200 kecamatan di 30 provinsi bersama dalam dua tahap, Juli dan September, memberi kejutan pada sejumlah pengamat politik. Hasilnya menyebutkan, dalam lima besarnya, 34% responden pada bulan September memilih Susilo Bambang Yudhoyono, 22% memilih Megawati Soekarnoputri, 15% Prabowo Subianto, serta 4% masing-masing untuk Sultan Hamengku Buwono X dan Wiranto. Untuk lima besar di partai, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mendapat 25%, Partai Demokrat 24%, Partai Gerindra 13%, Partai Golkar 11%, dan 5% untuk Partai Keadilan Sejahtera. Sekali lagi, perlu kita perhatikan fakta bahwa Gerindra adalah partai yang baru berusia satu tahun.

Menurut Taufik Baharudin, pengajar ilmu manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga Presiden Direktur National Leadership Center (NLC), hasil polling tersebut belum menunjukkan arah Pemilu 2009. Namun, ia mengaku terkejut dengan munculnya nama seperti Prabowo Subianto bersama Partai Gerindra yang diminati responden. Padahal, partai tersebut masih baru dan pertama kali bertanding pada pemilu tahun ini.

Memang seharusnya kita ingat, yang namanya iklan ya tetap iklan. Sesuatu yang sangat bisa untuk diatur-bentuk publisitas paling aman asal punya dana. Pebisnis Amerika Roberto Guiza mengatakan, “We don't know how to sell products based on performance. Everything we sell, we sell on image.”

Kualitas Iklan Politik

Pasti kita semua pernah melihatnya sendiri. Iklan-iklan politik telah memasuki ruang-ruang kehidupan kita sejak awal tahun ini: dari ruang publik (stiker di angkot, reklame di jalan, dll) sampai ruang privat kita (televisi di rumah, radio di mobil, dll). Beberapa menggelikan dan membuat kita merasa terganggu, tapi tidak terpungkiri memang ada iklan-iklan yang bagus.

Jika pada masa lalu iklan politik terasa seperti propaganda pemerintah yang langsung membuat kita antipati, kini iklan-iklan itu tersaji dengan lebih apik, profesional, rapi dan tidak ‘kasar.’ Simak iklan-iklan Gerindra dan Hanura-bintang baru di pasaran politik kita. Asas dasar periklanan komersial terpenuhi: AIDA (attention, interest, desire, dan kemungkinan besar action). Iklan tersebut berhasil menarik perhatian kita dengan mengangkat isu yang relevan, membuat hati kita tersentuh, dan...menurut teorinya sih, pada akhirnya akan menggerakkan kita ke dalam aksi nyata. Mencontreng mereka di TPS tanggal 9 April nanti.

Jelas sekali kalau parpol-parpol berdana besar ini didukung advertising agency dan konsultan komunikasi yang kuat. Tapi bagaimana nasib para caleg, single fighter kita? Promosi manusia di tingkat ini justru lebih seru-dengan dana yang tidak terlalu besar dan dukungan yang tidak seprofesional parpol nasional, mereka berjuang semampunya menarik hati pemilih. Biasanya para caleg ini bermain di kelas percetakan: kaus, stiker, spanduk, dan kroco-kroconya. Seringnya iklan-iklan mereka dengan jujur menguak keluguan dan sifat manipulatif; pada akhirnya mayoritas jadi sampah, korban vandalism, atau bahan tertawaan. Para caleg kita rupanya minder tapi pede. Saking mindernya, foto tokoh lain sering dicatut di spanduk dengan ukuran lebih besar dari fotonya sendiri (dari Barrack Obama, David Beckham, ‘papanya Cynthia Lamusu,’ foto ayah-ibunya, sampai…hewan koleksi Ragunan seperti harimau dan monyet). Lebih jauh lagi, foto mereka sendiri juga diutak-atik dahsyat dengan photoshop. Sering saya terkaget-kaget melihat sosok asli seorang caleg dibandingkan dengan gambar spanduknya. Kelihatannya muda, padahal sudah tua. Mukanya jadi putih, padahal aslinya hitam. Caleg pria pipinya seperti pakai blush on. Ah, pemalu sekali mereka…tapi juga cukup pede untuk mengajukan diri menjadi public officer.

Banyak juga yang memakai strategi soft selling; tidak terang-terangan jual diri, tapi membuat semcam iklan layanan sosial. Dari yang mengajak tersenyum lebar pakai contoh foto gorila sampai meningkatkan harkat diri bangsa dengan cara…makan pakai tangan kanan. Jelas dia nggak bakal dipilih oleh WNI-WNI kidal.

Sepertinya memang benar apa kata Leo Burnett, tokoh periklanan Amerika: If you don't get noticed, you don't have anything. Yang penting menarik perhatian dulu. Benar kan, makin kita benci suatu iklan, makin kita ingat iklan tersebut? Maka sebaiknya kita jangan terlalu sering mengolok-olok kepolosan seorang caleg, bisa-bisa…kita malah memilih dia. Kualat.

Uang Berbicara Berkampanye

Di luar segala pro-kontra seputar iklan politik, ada satu fakta yang tidak terelakkan: uang. Biaya pemasangan spot ads di televisi sangat mahal, apalagi pada saat prime time. Pada skala yang lebih lokal (dan lebih cekak), para caleg pun berjuang untuk memasang materi-materi kampanye mereka di printed media (reklame, kaus, spanduk, dan…angkot. Sebulan Rp 80.000, ngomong-ngomong). Biaya yang menjulang tinggi ini tentunya memengaruhi budget politk tiap kandidat. Mereka harus menggalang dana secara berkelanjutan jika ingin karir politiknya tetap sehat walafiat. Kritikus mengatakan bahwa faktor ‘u’ ini telah mencemari demokrasi karena kandidat terpilih memiliki ‘utang nyawa’ pada kontributor mereka yang kaya-raya. Ada juga komentar agar pemilik media menyediakan spot mereka secara gratis untuk kepentingan ini, yang langsung ditolak mentah-mentah oleh jaringan televisi dan radio.

Biaya pemasangan iklan bagi partai-partai besar di tingkat nasional sepertinya memang tidak menjadi masalah. Harian Kompas 8 Maret 2009 lalu memaparkan daftar dana kampanye para parpol. Angka yang keluar cukup fantastis-seperti yang sudah ditebak, Gerindra memiliki dana terbesar 15,694 miliar disusul Demokrat 7,027 miliar dan Hanura 5,002 miliar.

Tapi, tentunya tidak semua parpol dan caleg seberuntung trio itu. Ada parpol-parpol cilik yang dana kampanyenya dibawah 4 juta, bahkan rekor dipecahkan oleh Partai Karya Perjuangan dengan dana satu juta perak saja. Masalahnya, seberapapun dana yang tersedia, mereka semua memiliki kebutuhan yang sama untuk berkampanye. Maka, tidak heran kalau belakangan kita mendengar berita soal caleg-caleg yang menempuh ‘jalur alternatif’ demi mendapat uang untuk kampanye: dari menjarah kebun sawit, mencuri motor, sampai jualan ganja. Ck,ck,ck…kreatif.

Pro-kontra seputar iklan politik mungkin masih akan bergulir sepanjang tahun ini, apalagi menjelang pemilu capres. Pasti bakal makin banyak tontonan seru untuk pengamat komunikasi politik. Sebuah iklan, entah itu menjual produk, jasa, atau manusia, memang bisa menyesatkan sekaligus informatif pada saat yang sama. Iklan memang bukanlah ilmu pasti-melainkan sebuah seni. Seni persuasi. Maka, sebelum Anda bingung menentukan pilihan, ijinkan saya membantu dengan sebuah tips dari pepatah Afrika kuno: A good thing sells itself.

Olivia Elena Hakim

2006100384

MC10-11B

Leave a Reply