Movie review score
5

Saya mendapat softcopy komik doraemon yang menarik dari seorang teman, yang disebut-sebut sebagai edisi terakhir Doraemon. Kita nggak pernah tahu siapa yang menggambar komik ini, darimana asal persisnya, apakah ini dibuat oleh penerbitan resmi doraemon atau hanya karya fans amatir yang suka berkhayal.

Kami nggak pernah tahu. Softcopy itu saya kopi dari usb teman sekampus, yang mengopinya dari usb kakaknya, yang mengopinya dari usb temannya, yang mendapat itu dari seorang teman lain lagi. Pokoknya asal-usul file ini sudah hilang dalam dunia per-download-an.

Kita semua pasti kenal Doraemon. Bagi saya, doraemon adalah teman masa kecil. Sampai sekarang pun saya dengan otak dewasa saya masih menyukai sosok robot kucing itu. Rasanya juga bukan kebetulan kalau sampai sekarang komik doraemon masih eksis di pasaran-bahkan baru aja sepuluh edisi perdananya dicetak ulang dengan format baru dan dijual per paket. Merchandise doraemon juga masih laku di pasaran.

Aneh sih, tadinya saya pikir doraemon-nya saya akan menjadi seperti Tongki atau Susan. Umurnya hanya satu generasi. Tapi ternyata nggak, Doraemon sudah berjalan melintasi generasi dan masih menjadi sahabat yang sama untuk anak-anak. Dan juga orang dewasa seperti saya, yang pernah mengenal Doraemon waktu kecil dan tidak pernah melupakannya sejak itu.

Kenapa Doraemon abadi? Saya nggak tahu apakah hal yang saya rasakan ini bisa jadi tolok ukur untuk fenomena Doraemon secara keseluruhan. Doraemon adalah sosok juruselamat, yang bisa mengatasi masalah apapun, tanpa harus menjadi marah-marah seperti orangtua atau menyebalkan seperti teman seumur.

Masa kecil seringkali membingungkan, begitu banyak hal yang tidak pasti (tentunya pada skala anak kecil). Siapa sih yang nggak pernah menjadi Nobita pada masa kecilnya? Nilai jelek dimarahi orang tua, teman-teman yang menyebalkan, jenuh sekolah, males ngerjain PR…di saat itu Doraemon seakan masuk menjadi sahabat, menjadi mesias yang menyelamatkan kita dari semua masalah berkat kantung ajaibnya. Kita semua terhanyut dan tertawa bersama Nobita, Doraemon dan teman-teman. Dan mungkin sekarang adik-adik di bawah kita juga sedang melakukan hal yang sama.

Kemarin saya baru baca di Kompas Minggu 22 Februari tentang messianisme. Gejala-gejala sekte, dukun cilik, dan kawan-kawan yang sering kita dengar disebut sebagai gejala messianisme-masyarakat rindu akan sosok juruselamat di tengah situasi krisis yang serba tidak pasti ini. Katanya sih ini gejala yang emang biasa muncul saat hidup lagi nggak pasti, misalnya aja legenda sosok ‘Ratu Adil’ atau ‘Satria Piningit’ (saja ngejanya bener nggak sih?)

Saya kutip dikit kata-kata dari artikel itu, ya

“Secara teologis dan filosofis, ada kerinduan terdalam manusia akan penyelamatan.”

Kutipan di atas berasal dari Sindhunata, dia pernah menulis disertasi tentang pengharapan mesianik masyarakat Jawa abad 19 sampai awal abad 20 waktu kuliah di Jerman.

Mungkinkah hal yang sama juga ada di otak anak-anak? Apakah secara naluriah mereka juga merasakan kerinduan itu?

Ketika manusia dewasa mencari penebusan dari sosok-sosok seperti politikus karismatis, pemuka agama, dukun cilik atau apapun… apakah merasa merasakan ‘penebusan’ dari sosok Doraemon? Ya ampun saya merasa tolol banget menulis seperti ini!

Tapi, saya pikir begitu.

Doraemon memenuhi syarat: baik, lucu, bisa mengatasi semua masalah. (meskipun begitu, kalo suatu hari punya anak, saya berharap sosok sahabat yang lebih dekat dengannya adalah manusia, bukan robot kucing apalagi komputer).

Inilah satu hal yang bikin komik kopian saya menarik. Saya menangis ketika membacanya. Ya, nangis. Bodoh ya, tapi saat saya memandang mata sosok Doraemon lagi setelah sekian tahun melupakannya, tiba-tiba saya jadi anak kelas 4 SD lagi, yang males, lugu, dan cuma mikirin main aja. Ya, waktu itu saya sering berharap Doraemon itu benar-benar ada. Minimal, salah satu alat ajaibnya saja, deh.

Dalam strip-strip komik hitam-putih itu, ceritanya Doraemon rusak sehingga ia mati. Nobita dipaksa untuk hidup tanpa Doraemon. Nobita dipaksa mampu membela diri sendiri, belajar tanpa alat ajaib dsb. Ternyata bagi Nobita, kehilangan terbesarnya bukanlah pada keajaiban masa depan yang dibawa Doraemon, tapi ternyata pada sosok si kucing itu sendiri dan segala kenangan petualangan mereka.

“Setiap kali aku diusili, kamu memikirkan aku seolah itu masalahmu sendiri…aku tidak pernah bilang dengan benar, tapi sebetulnya aku sangat senang, lho.”

Hidup tanpa Doraemon ternyata malah membuat Nobita jadi pintar. Ia rajin belajar sampai-sampai mengalahkan Dekisugi. Lalu, 35 tahun kemudian, Nobita sudah menjadi professor yang terkenal dan istrinya adalah Shizuka. Dekisugi sendiri menjadi presiden. Ternyata semua perjuangan Nobita untuk belajar sampai menjadi professor adalah agar ia bisa menghidupkan kembali Doraemon. Hahaha, kalo udah gini bingung ya, siapa mesiasnya siapa.

Siapa sih yang nggak ingin diselamatkan? Cewek-cewek pasti pernah sekali dalam hidupnya mengkhayalkan ksatria berkuda putih datang menyelamatkannya. Kita rindu presiden yang bisa jadi superman, kita rindu akan sebuah sosok yang bisa membebaskan kita dari semua ketidaknyamanan hidup yang kita rasakan. Tapi mesias sudah pernah datang dan sudah menebus kita. Bagaimana mungkin kita merindukan sosok yang nyata-nyata sudah ada??? Apakah lebih mudah bagi kita untuk mencari sosok lain sebagai mesias, sosok yang lebih sesuai dengan syarat-syarat kita?

Ah, harusnya tulisan ini nggak jadi seaneh ini. Tapi ijinkan saya tutup tulisan ngalor-ngidul ini dengan sebuah permainan kata-kata: Tidak semua yang tidak kelihatan itu tidak ada.

Leave a Reply