Movie review score
5

Geliat Suap di Kompleks Perumahan

Tradisi Bertahun-tahun yang Sudah Dianggap Hal Biasa oleh Warga

Oleh Olivia Elena Hakim

Ingatkah Anda akan masa-masa ketika kompleks perumahan masih berisi rumah tinggal dan bukan tempat usaha? Beberapa tahun belakangan lingkungan tempat tinggal sudah banyak yang dirombak menjadi ruang usaha-bengkel, salon, warnet, kafe, dan tempat menggelar dagangan. Meskipun hal ini merupakan pelanggaran terhadap perda DKI, toh para pelaku usaha tetap melanggang dengan mudahnya. Mungkin ini adalah cerita lama bagi lingkungan rumah Anda sendiri.


Melihat kusutnya tata ruang kota Jakarta, Sepertinya perda no. 7 tahun 1991 tentang Bangunan Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, yang terang-terangan melarang penggunaan rumah tempat tinggal untuk kantor atau tempat usaha (terutama pasalnya yang ke 5 dan 27) hanya menjadi angin lalu.

Celakanya, dari semua responden yang diwawancarai, ternyata hanya satu orang yang mengetahui adanya perda itu (dan satu orang itu pun tetap membuka kantor di rumahnya).

Bukannya pemda tidak mensosialisasikan perda ini sama sekali-di sejumlah pemukiman, terdapat reklame cukup besar yang berisi peringatan akan perda tersebut. Bahkan jika kita masih ingat dengan kasus

Pondok Indah beberapa waktu yang lalu, Dewan Kelurahan sampai memasang spanduk-spanduk mencolok sebesar enam meter dan papan peringatan bertuliskan "Peliharalah Lingkungan Perumahan. Rumah Dilarang Dijadikan Tempat Usaha". Tidak berhenti sampai kelurahan, pengurus RW pun ikut berinisiatif membuat spanduk sejenis. Sutiyoso, Gubernur DKI yang menjabat waktu itu pun turut angkat bicara "Kalau namanya permukiman, ya tidak boleh digunakan sebagai tempat usaha."

Bagaimana pendapat para pelaku usaha di kompleks perumahan mengenai perda ini?

”Saya tidak mampu membiayai tempat usaha yang lain.”

”Saya ini janda yang harus membesarkan anak saya, ya saya bisanya ini....”

”Wah, nggak ada tempat lain.”

”Ah, biarin aja.”

Mungkin ’biarin aja’ memang menjadi kata yang tepat.

Toh, usaha mereka tetap berjalan, ada maupun tidak ada perda. Mereka-mereka yang membuka usaha atau kantornya di kompleks perumahan pun seakan tak pernah ’tersentuh’ oleh pemda.

Benarkah itu?

KUHP

Siang itu, sebuah mobil itu tampak berjalan lambat-lambat di sebuah kompleks perumahan di Kapuk Raya, Cengkareng. Jelas sekali ia sedang mencari-cari alamat. Ia pun berhenti di

Pemukiman alih fungsi yang menjadi bengkel motor di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

depan sebuah rumah tinggal yang dijadikan tempat usaha kue kering. Sekitar tiga-empat orang berpakaian safari turun dan masuk ke dalam-tak lama mereka kembali ke mobilnya tanpa membawa kue kering sedikit pun. Mobil itu pun berlalu.

”Mereka adalah orang-orang yang mau meninjau untuk mengurus ijin usaha.” ujar Mira (50 tahun), pemilik rumah tersebut.

”Saya bayar mereka...beberapa ratus ribu,lah.” lanjutnya.

Lain dengan kisah Mira yang hanya sekali itu didatangi oknum, Dodo (60 tahun), yang membuka toko kelontong “Srikandi” di rumahnya di Kelapa Gading berkata bahwa tiap satu bulan sekali pasti ia didatangi oknum yang ‘meminta’ uang.

“Orangnya selalu sama, itu-itu saja.” ujarnya. Namun ketika ditanya berapa jumlah yang ia berikan, Pak Dodo enggan memberikan jawaban.

Ada juga Anton Hakim (56 tahun), seorang pemborong bangunan dan supplier peralatan kantor yang mem-permak bagian samping rumahnya di Kelapa Gading menjadi kantor; tempat ia menjalankan bisnis sehari-hari. Ijin bangunannya? Tentu saja rumah tinggal. Bagaimana bisa?

”KUHP.”

”Apa itu?”

Anton Hakim tampak geli. ”Kasih uang habis perkara.”

Ia menuturkan, perijinan kantornya yang akan dibuka di rumah dapat dikabulkan dengan mulus setelah membayarkan uang sejumlah Rp 500.000,- ke petugas dinas tata kota.

Sejak itu pun petugas pemda tidak pernah ada yang mengusik-usik status bangunannya.

Lebih lanjut, Anton Hakim menunjukkan sertifikat Surat Keterangan Domisili Perusahaannya.

Dalam sertifikat itu, status peruntukkan bangunannya tampak sengaja dikosongkan oleh petugas kelurahan.

”Ya, kalau diisi kan melanggar peraturan...”

Dangdutan di Taman

Masih di kisaran Kelapa Gading, sore itu saya bertemu dengan ketua RT setempat yang enggan disebutkan namanya.

”Sebenarnya, dinas tata kota kita membagi daerah-daerah di Jakarta ke dalam tiga kelompok: kelompok permukiman, kelompok dagang/usaha/kantor, dan kelompok fasum-fasos (fasilitas umum/sosila seperti:posyandu, puskesmas, taman terbuka, dll). Pada dasarnya, tanah yang memang sudah diperuntukkan untuk permukiman atau fasum/fasos, tidak boleh digunakan untuk kegiatan lain-semua sudah ada tempatnya.”

Lebih lanjut lagi, ketua RT menunjukkan taman warga yang terletak di dekat jalan utama.

Malam itu, taman yang biasa menjadi arena bermain anak-anak di siang hari telah dipenuhi oleh jajaran warung tenda dan gerobak kaki lima yang bising ditingkahi musik dangdut.

”Beginilah keadaannya selama bertahun-tahun. Mereka bebas menggelar dagangannya, tanpa takut akan ditertibkan,” ujarnya.

”Setiap sebulan sekali, semua pedagang ini membayar orang kecamatan dan ketua RW agar usahanya bisa terus berjalan mulus” sambung ketua RT dengan separuh berbisik.

Rahmat (40 tahun), pemilik salah satu warung tenda di sana mengakui, ”Beginilah usaha di Jakarta...kalau situasi mengharuskan kita bayar, ya kita bayar.”

Ditertibkan P2B

”Membuat tempat usaha atau kantor di rumah sama sekali tidak boleh!” tegas Rohendi (53 tahun), seorang staf pengawas dari dinas P2B (Penataan dan Pengawas Bangunan) saat dihubungi di kantornya yang terletak di kecamatan Kebayoran Lama. Dia sendiri sering bertugas turun ke lapangan untuk menindak bangunan-bangunan yang ’nakal’ seperti itu.

”Jika staf kami menemui hal seperti itu pasti akan kami laporkan ke atasan dan pemilik bangunan itu sendiri akan kami beri surat peringatan.”

Saat disinggung mengenai isu pemberian sejumlah uang, ia pun berkata ”Saya tidak mau berkomentar mengenai hal itu-yang jelas, saat ini staf kami sedang berkonsentrasi menertibkan bangunan semacam itu.”

”Apa betul orang itu memang oknum dari pemda atau kecamatan? Bisa saja mereka sengaja menyamar untuk melakukan pungutan liar.”

Berkembang Terus

Ah, bicara soal suap.

Ternyata suap bukanlah hal yang terjadi di ’atas’ sana; proyek-proyek besar, pejabat tinggi dan pengusaha raksasa.

Suap itu ada di sini-mungkin di sebelah rumah Anda atau di depan mata anak Anda.

Keeseokan harinya saya bertemu dengan Melinda Liong (50 tahun), seorang ibu rumah tangga yang berencana merombak halaman samping rumahnya untuk tempat berjualan roti.

”Memang ini melanggar peraturan...tapi ini Jakarta, Dik. Di sini orang meludah dan buang sampah sembarangan. Di sini orang menyeberang jalan dan nyetop angkot seenaknya. Apa sih, yang nggak boleh di sini?”

Hmmm...terdengar seperti pekerjaan rumah untuk gubernur baru kita!

Leave a Reply