Movie review score
5






“Dayu“


KARYA GILROY BEZALIEL EVAN YOEWONO, PEMENANG TUNGGAL LOMBA FOTO http://www.eyeka.asia/





Saya bukan mau cerita-cerita soal fotografi. Saya mau cerita soal bangun pagi, buka koran dan dikejutkan oleh foto ini. Tepatnya, oleh model dalam foto ini. Namanya adalah Ida Ayu Pradnya Laksmi Devi, tapi kami di SMP dulu biasa memanggilnya Dayu, seperti judul foto ini.


Foto Dayu menjadi bahasan di koran pagi itu karena fotografernya memenangkan perlombaan fashion photography yang merupakan kerjasama antara British Council Indonesia dan EYEKA Asia (organisasi internasional penghubung raksasa industri dengan ‘young talented artists, photographers, and video makers’). EYEKA (yang ternyata dibaca: eye and ka) ini pertama berdiri di Perancis, lalu bercabang sampai ke Singapura, Indonesia, dan sebentar lagi ke Australia. Pemenangnya sungguh beruntung karena sayembara ini berhadiah jalan-jalan ke London Fashion Week!!


Mengutip tulisan Arbain Rambey di Kompas Selasa, 3 Februari 2009 lalu:


“Foto ini menyisihkan 1.687 foto lain yang semuanya luar biasa. Karena semua pesaing sangat pekat olah digitalnya, foto ”Dayu” yang tampil sederhana tapi kuat karakternya dan sangat Indonesia ini langsung menyita perhatian juri yang antara lain dua fotografer ternama, Darwis Triadi dan Jerry Aurum.”


Ingatan saya kembali ke masa lalu, ke sebuah SMP swasta di daerah Pulomas. Waktu itu adalah hari pertama sekolah setelah libur kenaikan kelas yang panjang. Hari itu saya dan teman-teman menjadi murid SMP tingkat dua dan masuk kelas baru. Hari itulah saya mengenal Dayu. Dengan tubuh yang sangat tinggi, rambut tebal dan kulit yang hitam legam, ia jadi berbeda dari semua murid di sekolah ini. Ia duduk sendiri di bangku paling depan. Saya sendiri tidak terlalu ‘ngeh’ pada awalnya karena saya masuk kelas itu bersama dua orang sahabat dari kelas sebelumnya, sehingga waktu itu pikiran saya lebih ke mengobrol bareng mereka daripada berkenalan dengan teman baru. Saat bel berdering dan kami harus duduk, saya baru sadar apa yang salah. Bangku sekolah ini ditata dua-dua. Artinya, salah satu dari kami bertiga harus mengalah pergi. Waktu itu hanya ada satu bangku yang kosong-bangku di sebelah Dayu. Ia sendiri tampak duduk tenang, tidak terganggu oleh berisiknya remaja-remaja 2 SMP yang berceloteh, seakan ia memiliki semestanya sendiri. Dan karena bangku Dayu pun tidak jauh dari tempat duduk kroni-kroni saya, maka dengan santai saya apakah bangku di sebelah Dayu kosong (sebenarnya ini basa-basi banget karena jelas-jelas bangku itu kosong), duduk di sebelahnya dan berkenalan.


Sejak itu kami berempat berteman.


Saya baru pernah punya teman seperti Dayu. Dayu sangat berbeda dari semua teman yang ada di lingkungan saya sebelumnya. Jika foto di atas disebut memiliki karakter yang kuat, saya rasa Dayu punya andil juga dalam membentuk karakter foto itu. Dayu adalah teman yang menyenangkan dan meski saya tidak pernah melihat dia melakukan hal-hal seperti memegang ular berbisa atau lompat dari jurang, saya merasakan keberanian menguar dari dirinya.


Saya begitu terkesan oleh Dayu selama masa SMP. Saya juga nggak tahu kenapa. Kami sering pulang bareng karena Dayu kerap nebeng di mobil antar jemput saya untuk di-drop di ujung jalan sekolah kami. Tidak seperti teman-teman lain yang rumahnya dekat dengan sekolah dan selalu diantar jemput, rumah Dayu amat jauh di Bekasi dan tiap hari ia menempuh perjalanan naik bis sendiri plus jalan kaki yang lumayan (bisnya nggak turun pas di depan sekolah). Ia tampil lebih bersahaja dibanding teman-teman lain, tapi sepertinya Dayu memang tidak membutuhkan apa-apa lagi untuk melengkapi dirinya. Meski berbeda, saya tidak ingat Dayu pernah minder. Ia selalu menegakkan kepalanya dan tidak pernah terpengaruh omongan orang. Terkadang Dayu bercerita tentang Bali, pura, makna namanya, juga tentang anjing Bali.


Satu kali, saya mendapat hadiah ulang tahun berupa diary cantik yang bisa diisikan biodata teman-teman. Maka saya mengedarkan diary itu ke seluruh kelas dan meminta mereka mengisinya. Termasuk Dayu. Saya ingat sekali, ketika itu Dayu menuliskan kata ‘model’ di kolom cita-cita. Teman-teman lain menertawai dirinya, terutama cowok-cowok, mereka menganggap Dayu mengada-ada. Dayu tampak sebal, tapi ia tidak menanggapi dengan balas mengejek orang-orang. Ia kembali menyibukkan diri dengan bacaannya, seperti biasa ia tidak bisa diganggu oleh situasi. Saya melihat ketenangan Dayu, keteguhan dirinya, dan otak 2 SMP saya yang waktu itu belum pernah diajak mikir panjang tiba-tiba merinding. Serta-merta saya ngomong aja ke dia: “Yaa, gw percaya, lo bisa jadi model.” Dayu hanya tersenyum dan mengangguk. Ya, itu memang sudah jadi fakta untuk dirinya. Dia tahu apa yang dia mau, dan siap untuk mencapainya.


Menjelang kelulusan, kami semua sibuk oleh berbagai urusan ujian nasional dan tes masuk SMU. Kebetulan saya dan Dayu waktu itu sudah pisah kelas, jadi kami jarang mengobrol juga. Tapi saya nggak bakal lupa hari itu, hari ketika pengumuman ujian masuk SMU sekolah kami keluar. Banyak murid yang mendaftar untuk masuk SMU kami, karena selain cukup bagus, tentunya lebih praktis karena tidak perlu pindah-pindahan. Hari itu, pulang sekolah, saya melihat Dayu berdiri di balkon depan kelasnya, berwajah kalut. Saya belum pernah liat Dayu seperti itu. Saya mendekati Dayu dan mengajaknya bicara. Ternyata ia memikirkan sahabat sekelasnya yang tidak diterima di SMU kami. Dayu bercerita dengan suara gemetar mengenai perjuangan yang sudah dilakukan sahabatnya itu untuk bisa diterima. Saya terperangah dan kebingungan. Saya nggak tahu harus gimana, nggak tahu harus bilang apa. Saya baru pernah berhadapan dengan situasi seperti ini, saya baru liat ada orang yang sesedih ini padahal bukan dia yang mengalami hal buruk. Saya hanya ber ‘ooo’ seperti orang tolol, lalu jadi bingung dan salting sendiri. Dayu telah menghadapkan saya pada sejenis emosi yang namanya empati, dan saya baru belajar tentang makna sesungguhnya dari empati hari itu.Saya baru tahu orang bisa sedih karena sahabatnya sedih.


Ah, masa SMP. Kalo diinget-inget rasanya seperti baru kemarin, tapi kalo dipikir-pikir sebenarnya udah lama juga-orang udah enam tahun berlalu kok. Setelah lulus, Dayu pindah ke Bali dan karena belum jaman HP, kami putus kontak. Sekitar kelas 2-3 SMU saya pernah denger gossip dari cowok-cowok kalo mereka melihat Dayu di acara pemilihan model di TV, ia masuk nominasi untuk mewakili daerah Bali meski nggak menang. Ketika jaman Friendster booming, saya mencoba melacak Dayu, tapi ternyata di Indonesia ada ratusan orang bernama Dayu atau Ida Ayu (ya, iyalahh..). Yaa...selebih itu, nggak pernah lagi saya denger soal Dayu. Dayu tinggal dalam kenangan buku tahunan SMP saja. Dayu terkubur makin dalam diantara segala tugas kuliah. Dayu hampir terlupakan. Sampai suatu pagi di awal Februari, saat dimana saya membuka koran Kompas untuk menemani sarapan pagi.


Dayuuu...where are youuu??


;D

Leave a Reply