Movie review score
5

Tadi saya lagi kusut ngantri busway di Harmoni.

Sialnya, saya dan beberapa orang sial lain kebagian ngantri di luar; di depan pintu otomatis halte-alhasil, bisa nggak dateng-dateng, kitanya garing angin-anginan.

Jalanan di depan congor kami lagi macet gila-muncul sebuah mobil jenasah meramaikan suasana Senin siang yang terik dan berdebu, nggak lupa plus para patwal yang mondar-mandir di tengah kemacetan tanpa hasil yang berarti. Bus-bus besar menyusul di belakang mobil jenasah dalam jumlah yang menakjubkan.

Rombongan orang mati.

Duh, kenapa sih harus Senin siang begini? Udah tau Jakarta lagi bundet-bundetnya hari gini...batin saya.

Tapi juga, emangnya pernah ada waktu yang cukup tepat untuk mati? Kalo bicara soal mati, kayaknya emang nggak akan pernah ada waktu yang tepat untuk itu; karena kita bicara menyangkut hal yang orang nggak mau pikirin. Waktunya nggak pernah tepat untuk mati.

Kelahiran sekarang mungkin bisa dikira-kira tanggalnya berkat caesar. Tapi sampai hari ini kita belum bisa ngatur kematian.

Padahal...who knows, mungkin ada orang yang lebih suka mati deket-deket weekend biar teman-temannya yang ngantor bisa ngelayat semua (dan sumbangannya juga lebih lumayan). Atau mungkin justru ada orang yang pengen mati pas long weekend biar jalanan Jakarta lengang dan keluarganya nggak perlu sewa patwal.

Ah, omongan saya mulai berantakan-pasti otak saya udah overdosis CO2.

Mumpung macet dan rombongan itu nyangkut tak berdaya, iseng saya membaca tulisan di badan ambulan- YPK Tabitha.

Wah, jangan-jangan orang GKI, nihh...

Lalu saya ganti membaca tulisan yang ditempel di kaca bis-khusus keluarga, khusus kawan dan sahabat...

Bis-bis itu penuh dengan manusia.

Kotak-kotak bis itu seperti menggambarkan kumpulan orang yang ada dalam kehidupan saya dan Anda, ya enggak?

Pernah ngebayangin, siapa aja yang ada dalam bis itu kalo kita mati nanti?

Bis mana yang lebih penuh sesek, teman atau keluarga?

Ah, sepertinya klasifikasi ini akan lebih ganjil pada pemakaman saya karena karena keluarga dan sahabat itu tidak selalu menjadi dua hal yang berbeda.

Keluarga saya adalah sahabat saya.

Saya punya teman yang hampir menjadi seperti ‘kakak kedua’ saya.

Tapi ada juga anggota keluarga yang seperti orang asing saja bagi saya.

Ah pusing-untung orang mati udah nggak perlu ngurusin orang hidup.

Bis-bis terus beriringan tanpa henti-sepertinya rombongan ini ibarat Ulil si Ular centil deh panjangnya.

Mmm…It must be somebody-batin saya.

Saya teringat kunjungan terakhir saya ke rumah duka untuk melayat nenek teman gereja saya.

Rumah duka penuh sesak dan jalanan di luar sampai macet gila-dan tentunya itu bukan karena nenek teman saya itu yang hanya menyewa satu ruang sempit di pojok.

Semua ruang yang ada di rumah duka malam itu dipakai untuk persemayaman seorang jenderal Batak di ruangan sebelah. Bunga-bunga menggunung, tamu-tamu VIP berdatangan, lagu-lagu menyayat dan tangisan bergaung kemana-mana sehingga kotbah pendeta saya di ruang pojok kami perlu subtitle rasanya.

Rombongan besar siang hari itu juga serupa dengan kehebohan di rumah duka malam itu.

Mendiang rupanya punya teman segambreng.

Di tengah kepulan CO2, saya memicingkan mata ke dalam bis berlabel ’Khusus Kawan dan Sahabat’

Kompak amat, semua orang pake kemeja putih-putih? Nggak ada yang putih kapur ato broken white?

Oh my Gawd.

Ternyata itu seragam-seragam SMU.

Berarti...kemungkinan besar saya baru dilewati oleh seseorang yang mati muda.

Ngilu dada saya-selalu begitu kalo saya mendengar seseorang mati muda.

Mungkin karena saya ketika SMU dulu, dua kali saya mengalami kematian teman saya.

Dua orang gadis, begitu muda,begitu fun, begitu aktif, semua orang berpikir hidup masih jauh terbentang di hadapan mereka.

Hari ini mereka tertawa-tawa di kelas...lalu esok tiba dan bangkunya sudah kosong.

Salah satu dari mereka, sebut aja Princess-karena dia memang seperti putri.

Dia pernah menjadi teman sebangku saya di tingkat 1.

Hubungan kami cukup baik, satu hari kami ke-gep nyontek di quiz Biologi.

Sejak itu saya menjauh darinya-hubungan kami merenggang.

Saya nggak pernah memaafkan dia karena saat itu dia yang sedang meminta jawaban dari saya dan saya merasa reputasi saya sebagai ’murid lempeng’ hancur sudah.

Di tingkat 3 kami sekelas lagi-dia sering menyapa saya, tapi saya sok cuek.

Lalu hati saya mulai mengetuk-ngetuk minta perhatian:

udah deh, maafin aja...

iya, iya...ah, entar aja...

mau sampe kapan? Cepat ato lambat kamu harus membereskan urusan kalian loh…

ah! Entar deh? Kan tahun ajaran baru aja mulai..

Iya, tahun ajaran belum lama berjalan.

Terus saya berdiri di depan kamar mayat dan melihat rambut panjang Princess tergerai dari atas meja jenasah yang terbuat dari besi dingin.

Ini semua terlalu aneh untuk dicerna oleh otak saya.

Kemarin kan dia baik-baik saja?

Dia kan baru merayakan ulang tahun ke 17 yang super glam?

Kotak makan dan buku-bukunya bahkan masih ada di loker kelas.

Apa yang dia perbuat di sini? Dia seharusnya di luar, ikut pensi dan dateng ke education fair, mengumpulkan brosur-brosur universitas, menentukan jurusan dan menyiapkan diri untuk ujian nasional?

Apa yang dia lakukan di sini?

Kenapa dia di sini?

Dunia saya limbung dan saya rasanya remuk melihat ibu dan neneknya yang tampak hancur.

Ternyata orang emang bisa mati kapan aja.

Dan ternyata kesempatan saya untuk menyapa dia lebih dulu nggak pernah kesampaian.

Bis bergeser.

Suasana dalam bis keluarga tampak lebih lengang.

Orang-orang memakai baju hitam, beberapa mondar-mandir bagi-bagi makanan...dan tampak lelah.

Saya pengen nangis pas ngeliat seorang ibu yang bersandar di pinggir kaca bis, menatap jalanan.

Bukan ekspresi emosi.

Bukan ekspresi penuh tangis.

Hanya mata gelap yang nggak melihat apa-apa di hadapannya.

Rombongan raksasa itu berhasil lewat juga.

Tapi sialnya busway saya kok belum nongol-nongol?

Saya jadi teringat pemakaman para lansia kenalan orangtua saya.

Sepi.

Sederhana.

Nggak terlalu banyak tangis-mungkin lansia meninggal itu memang lebih wajar, ya?

Tapi yang saya selalu bingungkan, kenapa orang makin tua itu seperti makin nggak punya temen?

Di pemakanannya yang ada keluarga dan teman keluarganya.

Temannya mendiang ada di mana?

Seakan orang makin tua itu makin tidak punya teman...

Ah, apa iya?

Leave a Reply