Movie review score
5

Sejauh apa kamu akan berkorban untuk merawat kulit wajah? Sejauh facial sebulan sekali? suntik botox? operasi?

Saya tergolong perempuan sembrono yang nggak terlalu peduli dengan perawatan wajah seheboh ‘perempuan normal’ yang saya tahu. Cukup pergi ke mini mart seberang rumah, ambil pencuci muka dan toner, beres perkara.

Sejak masuk remaja bertahun-tahun lalu, muncul titik-titik seperti jerawat tak berwarna di pipi, dagu, dan dahi saya. Saya juga nggak terlalu ambil pusing soal itu, meski teman dekat, kakak, dan ibu menyarankan untuk ke dokter kulit. Saya nggak merasa terganggu oleh bintik-bintik ini.

Bertahun-tahun bintik ini konsisten menghiasi wajah saya, tanpa bergeming. Mereka tidak memerah maupun menghilang. Tidak meradang maupun membaik. Malah, memasuki masa kuliah, kok jadi tambah banyak? Saya mulai sedikit terusik. Aneh.

Ya, sudahlah, satu kali berkat bujukan kakak saya menemaninya ke seorang dokter kulit untuk berobat. Setelah urusan dia beres, giliran muka saya diteropong dengan sebuah lup sebesar tampah. Diagnosa yang keluar: saya berjerawat tapi tidak berpori-pori. Akibatnya ya gini, jerawat itu nggak bisa kemana-mana, nggak bisa keluar. Solusinya mengerikan: ‘isi’ jerawat itu harus dikeluarkan, dengan jarum satu per satu. Coba saya ulang lagi: dengan jarum satu per satu. Saya langsung ngacir-no, thanks deh! Saya nggak mau dibikin susah sama muka sendiri, yang penting masih nggak malu-maluin kok kalo dibawa jalan. Si dokter menyerah dan hanya memberi pengobatan luar dengan berbagai krim. Setelah sekitar sebulan pemakaian, jerawat saya membaik-beberapa menghilang dan mayoritas mengecil. Tapi, setelah obat itu habis, situasi kembali seperti semula. Saya pikir-what the heck-masa hidup saya yang bebas komitmen harus jadi ketergantungan sama obat dokter kulit? I’ll live with it, then. Biarin. Lagian dipikir-pikir perawatan kulit kok mahal banget, mending duitnya buat makan-makan, belanja buku, sama borong DVD bajakan-lebih kerasa gunanya, lebih ngefek.

Sekitar setahunan berlalu, sang ibu makin sering berkomentar soal muka saya. Anak gadis kok mukanya gitu, anak gadis harus dirawat…ia sering menasehati saya, plus berjanji akan memberi suntikan dana untuk perawatan. Sepertinya ia agak cemas harga pasaran anaknya di dunia perjodohan jadi turun.

Belakangan muncul sebuah titik cerah (tentunya bukan di wajah saya); sahabat baik kakak saya mereferensikan seorang dokter kulit yang (katanya) nggak main jarum. Alkisah, di wajahnya mendadak muncul jerawat mirip seperti saya; lalu ia diberi krim dan antibiotik oleh dokter kulit x di daerah y (masih inget persamaan aljabar?) yang sama dengan jerawat lenyap…. dalam semalam!!!! Waw, dokter ini pasti Sangkuriang!!!

Maka saya dan kakak pun bertandang ke tempat praktik the-so-called dr. Sangkuriang ini. Ia berpraktik di sebuah klinik super mewah-super kinclong-super modern di kawasan Kelapa Gading. Sambil menunggu giliran, saya dan kakak mengamati pasien-pasien yang berseliweran. Mayoritas remaja dan ibu-ibu, dan ternyata cukup banyak pasien pria. Saya agak bergidik melihat patung-patung Adonis yang menanti perawatan di sini-yang jelas suatu hari nanti saya nggak bakal mau mendapat suami yang mukanya lebih cantik dari saya. Kakak saya menyadari satu hal lain dari situasi ini-semua manusia di sini sama sekali nggak tampak membutuhkan dokter kulit. saya memandang berkeliling dan…hell, it’s true!

Semua orang di sini lebih cocok ditaruh di lobi hotel atau mall-berkilau, gaya dan…kulitnya sempurna. Saya dan kakak yang santai ber-jeans dengan muka bersih dari make-up malah jadi berasa salah tempat. Ini dokter kulit bukan, sih? Apa yang mereka lakukan di sini? Rasanya yang paling berhak ada di sini itu cuma saya dan kakak saya, deh…ooh, mungkin sebaiknya saya panggil sekuriti untuk mengusir manusia-manusia indah yang kesasar ini? Tapi sebelum saya sempat melaksanakan niat jahat itu, nomor urut saya udah dipanggil.

Maka, masuklah saya ke ruangan dr. Sangkuring. Ternyata ia tampak seperti versi horror dari mamanya Sheila Marcia Joseph. Feeling saya mendadak nggak enak. Mrindingi.

“Difoto dulu yaa?”

Seorang suster mungil menghadang saya dengan kamera digital pocket.

Apaa???

“H-hah?”

“Difoto dulu yaa?”

“Difoto?”

“Iya, biar tahu perkembangannya…”

“Oh, oke.”

Dengan pose memegang kartu status, saya diambil pasfotonya-situasi ini sungguh konyol dan setengah mati saya menahan gelak tawa saya tapi semua orang begitu serius sehingga saya yang jadi nggak enak body. Tapii…please, deh; saya ke dokter kulit dan hal pertama yang mereka lakukan adalah meminta saya berpose narapidana seperti ini?

Setelah itu, dengan pose berbaring dr. mama SMJ menganalisa mukanya memakai lampu yang menyilaukan. Celakanya, analisa dia sama dengan dokter sebelumnya. Ternyata jenis jerawat saya beda dengan teman kakak saya itu; kalau dia namanya jerawat eksim yang muncul karena reaksi cuaca panas, sedangkan saya adalah jerawat milium yang muncul entah karena apa. Nasib, mungkin. Dan lagi-lagi saya mendengar kata itu: dengan jarum satu per satu.

Apaa? Apaaaaa?????

Saya siap-siap cabut ketika kakak saya malah menyemangati dokter itu untuk menyiksa saya.

“Iya, udah lama tuh begitu…emang harus dikeluarin semuanya..”

Saya menatap kakak dengan pandangan putus asa memohon.

Tidaak…tidaaak…

“Ayolah biar beres…”

Dokter dan suster itu menutup mata saya, mengolesi muka saya dengan alkohol dan mulai melakukan ritual sadistic itu.

Sakitnya bukan main dan saya menangis tersedu-sedu. Capek-capek pulang ujian dari kampus…kenapa saya nggak istirahat aja sihh di rumah???

Setelah proses itu selesai (saking banyaknya dan karena saya mengingatkan dr. mama SMJ bahwa saya ada presentasi besok, pengangkatan milium saya dicicil jidat dulu), saya masih nggak bisa berhenti nangis, badan saya gemetar dan mendadak AC ruang praktik terasa sedingin kutub. Dalam keadaan seperti itu, dr. mama SMJ masih sibuk menjelaskan rutinitas perawatan pasca pengangkatan milium yang super ribet-saya berusaha mencerna tapi otak saya nggak bias diajak mikir, jadi saya iya-iya saja.

“Nah, pagi-pagi cuci muka pake x, astringentnya yang ini di seluruh wajah dan moisturizer…tapi hari ini dan besok jangan pake astringent dulu, langsung moisturizer aja setelah cuci muka…”

“I-iya..”

“Siangnya, di kampus, kamu cuci muka ya…pake pencuci muka ini, itu…”

“I-iya..”

“Malam sebelum tidur cuci muka lagi, pake astringent yang biasa, tapi abis itu jangan pake moisturizer lagi, pake astringent khusus jerawat yang ini…”

“I-iya..”

“Astringent yang khusus jerawat pakenya ditepok-tepok di daerah yang yang berjerawat aja..jangan lupa kalo cuci muka pake air dingin yaa..”

“Ap-pa? Oh, iya, iya..”

Saya masih keliatan syok saat ngantri obat di counter bawah. Saya memergoki orang-orang menatap aneh pada luka-luka di dahi saya yang masih basah-rasanya saya jadi naik darah. Welllll…hellooooo??? Ini kan dokter kulit??? Apa anehnya muka saya dipreteli seperti ini? Dasar orang-orang cantik menyebalkan! Benci, benci, benciiii!!! >,<

Kakak saya berusaha menghibur dan menabahkan hati saya dengan mengulang pepatah lama: beauty is pain, beauty is pain, beauty is pain.

Right.

Tapi ini terlalu jauh. Saya nggak pernah membayangkan akan rela melakukan hal ini demi muka. Kenapa setelah pain ini saya malah merasa lebih jelek dari sebelumnya???

Beberapa hari berlalu dan luka itu menghilang. Saya menatap diri saya di cermin dan mendapati dahi saya bersih sama sekali. Rasanya aneh, bintik itu sudah begitu lama ada di sana, sehingga terasa seperti bagian dari diri saya saja. Saya meraba dahi yang rata dan teringat ucapan sahabat sekampus saya, seorang model sekaligus dancer dari Semarang yang rada medok.

“Kalo mau cantik itu emang harus sakit, ngerti?”

Dia sama sekali tidak menunjukkan simpati atas keluhan saya.

Saya juga inget teman lain yang agak-agak se-ideologi sama saya

“Kalo jadi elo, gue nggak bakalan balik, deh.”

Saya teringat janji kunjungan berikutnya untuk melakukan pengangkatan milium di pipi.

Untuk apa saya melakukan ini? Apakah saya tidak puas dengan diri saya sendiri dan ingin jadi cantik? Apakah tanpa milium di wajah saya jadi lebih cantik? Apakah kalau saya ‘cantik’ hidup akan jadi lebih mudah? Semua masalah saya hilang?

Selama ini saya cukup puas dengan diri saya yang seperti ini-ordinary girl, nggak cantik tapi juga (moga-moga) nggak jelek. In fact, saya belum pernah ketemu perempuan yang jelek.

Tapi ada sesuatu yang menggelitik dalam diri saya untuk menuntaskan pengobatan ini. Sesuatu yang menantang saya.

Ah, saya bingung.

Should I go back???

Leave a Reply