Movie review score
5

Ada berita baru dari Fili-dan ada kunjungan kedua ke dokter kulit.

Beberapa hari lalu saya ketemuan sama Fili lagi-makan2 bakmi di mall. Fili tampaknya mendapat pencerahan masalah asmara dari kakak lelakinya.

No more Didi, forever!

How come?

Fili tiba di sebuah titik dimana ia merasa lelah mencintai. Memang mencintai Didi itu bener-bener usaha yang nggak balik modal; boro-boro balik modal, mudarat malah.

Lantas Fili menuturkan kisah Didi pada kakaknya. Lalu di bawah ini adalah ringkasan wejangan dari sang kakak, seperti yang diceritakan ulang Fili ke saya hari itu:

“Kamu itu perempuan, Fil. Di dunia ini perempuan jumlahnya lebih banyak dari laki-laki-kamu nggak punya banyak pilihan.”

Iya, bener tuh Fil! Belum lagi ditambah sekian porsi pria yang homo-homo, habis pasaran kita, Fil!

Saya nggak tahan untuk nggak nyamber.

“Jangan pernah menghabiskan waktu kamu terlalu banyak pada satu pria, Fil.”

Ya ampun Fil, aku kan udah ngomong dari dulu kalo Didi itu aneh! Seandainya aja kakak kamu ada di sini sekarang, sumpah pasti aku ajakin salaman…

“Pokoknya gini, Fil. Saat kamu menyukai seseorang dan melakukan pendekatan sama dia, tanya pada diri kamu sendiri: dia suka sama aku nggak, ya? Kalo nggak, segeralah pergi. Jangan terlalu lama fokus pada satu pria…”

Mmm, menarik, menarik…lucu juga pemikiran seperti itu keluar dari mulut seorang pria. Mungkin simpel aja-ia memakai otak logisnya dan lagi bicara statistik. Tapi mungkin ada satu hal yang agak terlewatkan. Kalo denger pendapat kakaknya Fili, dunia jadi terasa seperti sebuah rat race dimana para wanita berlomba memperebutkan sebuah komoditas bernama pria, yang jumlahnya makin menyusut-antara supply dan demand udah nggak seimbang lagi jumlahnya. Fakta emang bicara kalo jumlah cowok di dunia lebih sedikit dari ceweknya. Hhmmmph…tertarik untuk ikut dalam permainan?

Saya sendiri punya otak yang aneh kalo udah nyangkut urusan cowok. Saat ini saya lagi konsen ke tugas-tugas kampus, mulai mikirin rencana magang semester depan, ngelarin naskah fiksi, ngurus pembukaan perpus gereja, dan yang terpenting dan tergenting adalah membuat proyek film documenter pendek untuk syarat kelulusan ujian internasional. Nah, di tengah rutinitas begini, saya jadi sering lupa kalo lagi naksir seseorang. Awal-awal heboh, terus ditinggal sibuk, eh tau-tau bosen dan hilang deh semua eforia itu. Sekalinya pernah deket sama cowok, mendadak saya kabur jauh-jauh karena ketakutan. Rasa-rasanya saya straight, tapi berhubungan dekat dengan sosok lelaki membuat saya merasa paranoid, tercekik…dan akhirnya saya lari dengan tidak senonoh.

Udah deh, nggak usah ngomongin relationship dulu, masih kecil ini hahaha

Oiya, saya pengen laporan soal kunjungan ke dokter kulit. Gila ya, dengan kesadaran 100% saya datang kembali ke dokter horror itu dan membiarkan dia mencangkuli muka saya.

Rupanya kunjungan saya yang pertama sangat berkesan di hati dokter kulit. Dia langsung mengingat saya sebagai ‘pasien yang menangis.’

Seperti yang udah saya rasain dari awal, kembalinya saya lebih karena gemas dan tertantang. I have to finish what I’ve started. Saya mau liat, bakal sejauh apa ini semua.

Agenda hari ini membereskan jerawat di pipi. Mula-mula sang dokter menawarkan untuk ngerjain satu pipi dulu. Saya yang males mondar-mandir (mondar-mandir ke dokter dan mondar-mandir bayar tagihan) dengan gagah berani meminta kedua pipi saya dihabisin aja sekalian. Lagian dipikir-pikir aneh juga kalo saya kelinteran dengan muka merah sebelah. Hajar, bleh!

Alamak, sakitnya…

Tapi anehnya, saya hanya menangis irit-irit. Mungkin karena saya udah tau apa yang bakal saya hadapi kali, ya. Saya juga udah bertekad nggak mau pake heboh kaya dulu lagi sih.

Dokter kulit saya heran.

“Kamu kok berani sekali, ‘Dik..”

“Hehehe”

“Padahal…sakit ya?”

“Hehehe”

“Tahan ya ‘Dik, tahaan…”

Kurang ajarnya, lama-lama si dokter malah mengingatkan saya betapa menyakitkannya proses ini.

“…ya, kalo mau nangis juga nggak apa-apa, kok. Emang sakit ya… ”

“Mmph”

“Pasti sakit, lah…orang kita aja mencetnya ngeluarin tenaga…ugh,ugh…”

What?? Kata-kata yang sangat menyejukkan suasana…

Bisa-bisanya dia ngomong begitu dengan jarum di muka saya dan sarung tangan karet penuh darah.

Pulang ke rumah, mami histeris dan nggak mau liat muka saya sampe beberapa waktu

Leave a Reply